Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Bandung vs Gedung Sate

Sebelum tidur saya pastikan alarm membangunkan saya jam 5 pagi untuk bersiap lari pagi di kota yang dikenal sebagai Paris Van Java ini. Besoknya tepat jam 5:45 pagi saya sudah berdiri di lobi hotel dengan semangat dan sedikit pemanasan, lalu meluncur cusss dengan musik berdendang di telinga.

Terlihat beberapa orang mengarah ke jalur yang sama, mereka yang bersepeda pun wuusssh melewati saya. Jalanan tampak sepi di hari minggu pandemi ini tapi bersyukur jadi lebih leluasa untuk kita yang sedang berolahraga. 
 
Depan lapangan Gasibu, Bandung-Jawa Barat (Dok. Pribadi)
 
Setelah 1.5 kilometer tiba di depan depan gedung sate yang terkenal sejak jaman belanda. Iyalah bagaimana tidak, gedung yang dibangun di jaman hindia belanda ini tertulis sebagai "bangunan terindah di Indonesia" oleh D.Ruhl dalam bukunya Bandoeng en haar Hoogvlakte 1952. Banyak kalangan arsitek dan ahli bangunan menyatakan Gedung Sate adalah bangunan monumental yang anggun mempesona dengan gaya arsitektur unik mengarah kepada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa, (Indo Europeeschen architectuur stijl), sehingga tidak mustahil bila keanggunan Candi Borobudur ikut mewarnai Gedung Sate.

Gedung Sate, Bandung-Jawa Barat (Dok. Pribadi)

Gedung Sate sejak tahun 1980 dikenal dengan sebutan Kantor Gubernur karena sebagai pusat kegiatan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang sebelumnya Pemerintahan Provinsi Jawa Barat menempati Gedung Kerta Mukti di Jalan Braga Bandung. Khusus di hari minggu ini lingkungan Gedung Sate dijadikan pilihan tempat sebagian besar masyarakat untuk menyisihkan waktu untuk berbagai aktifitas disini; para pelari, pecinta sepeda, para pecinta kuliner tak luput juga keluarga yang datang untuk sekadar duduk-duduk menikmati udara segar kota Bandung dipagi hari.
 
Penjual sate di depan lap. Gasibu, Bandung-Jawa Barat (Dok. Pribadi)
 
Duuh, target kilometer belum tercapai, lanjutlah saya berlari menuju jalan Juanda yang dikenal orang sebagai jalan Dago. Beruntung di hari minggu adalah hari bebas berkendara, leluasa lah saya berlari sepanjang jalan Dago yang terkenal dikalangan pelancong dengan factory outlet dan toko oleh-oleh. Melewati salah satu factory outlet yang terkenal di Bandung terlihat menunjukan spanduk sedang diskon menghabiskan stok barang karena akan tutup, terlintas sedih karena pandemik ini benar-benar sedang menguji pemilik usaha. 

Jalan Juanda (Dago), Bandung-Jawa Barat (Dok. Pribadi)

Tiba di persimpangan jalan Merdeka, saya berbelok ke arah jalan legendaris RE Martadinata alias jalan Riau, sambil melihat para wanita sosialita pengguna sepeda dengan merk yang sedang happening yang harganya tidak sehat dikantong. Dengan nafas yang terengah-engah saya sudah mendekati area belakang gedung sate, mata dimanja dengan warna hijau dan udara yang masih cenderung adem, tanpa disadari sudah hampir memasuki jam 7 pagi. Kembali ke arah hotel dengan semangat 45 dan perut mulai menabuh genderang menunjukan indikasi lapar. Tak lupa saya lakukan jepretan terakhir di jalan yang terlihat masih sepi.

Bandung-Jawa Barat (Dok. Pribadi)

--- 
Wella @2020
----
Semua gambar di artikel ini merupakan jepretan pribadi


Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

7 komentar untuk "Bandung vs Gedung Sate"

DomaiNesia