Aku tak Pernah Mengharap Kau tuk Kembali
Kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, dua orang sahabat, Dena dan Aisyah bertemu dan bermain hampir setiap hari. Permainan khas anak perempuan pada umumnya sebenarnya. Bermain boneka, menanam bunga, bersepeda, makan mangga muda, semua menyenangkan dan tak terlupakan.
Tepat di usia dua puluh tahun, Aisyah dilamar seorang pemuda baik bernama Abu. Dua minggu setelah pesta usai, Aisyah diboyong ke kampung halaman sang suami. Suka atau tidak suka, Aisyah akhirnya meninggalkan ibu dan dua adiknya, mengikuti jalan hidupnya yang baru.
Aisyah cinta kepada Abu, ia tidak ingin berpisah darinya. Lebih dari itu Aisyah tau masa depannya dengan laki-laki itu bisa berubah baik. Ia tidak akan membebani ibunya yang hanya seorang janda, bahkan ia akan mempunyai uang yang banyak. Uang untuk membantu ibu dan kedua adiknya, uang untuk dirinya sendiri, bahkan untuk membangun rumah besar dan membeli mobil seperti yang dicita-citakannya. Yang penting ia tetap menjadi istri Abu, mengikut kemanapun sang suami mengajaknya hidup bersama, dan membesarkan anak-anak mereka.
Pasti WAKTU akan merubah semuanya. Merubah kehidupannya yang sederhana dan serba sulit. Demikian Aisyah bertekad.
Tahun pertama pernikahannya, Aisyah dan suami datang mengunjungi ibunya. Dena pun mendapat kabar menyenangkan ini dan langsung menemui Aisyah.
Aisyah tampak berubah. Tak lagi seperti dulu yang luwes dan penuh canda. Wajahnya masih tetap cantik, tapi ia tampak tertutup dan sangat hormat pada sang suami. Dena mulai merasa kehilangan sahabat masa kecilnya.
Sampai hari ini, saat Dena menikah dengan lelaki biasa dan mempunyai dua orang anak, wajah cantik Aisyah sulit dia lupakan. Ada semacam rindu pada kebahagiaan dan kehangatan masa kecil. Sementara menjalani rumah tangga dengan setumpuk masalah membuatnya tegang dan kesepian. Ia tak pernah mempunyai seorang sahabat lagi selain Aisyah. Ia benar-benar kehilangan hari-harinya yang indah.
Tahun ini Dena melahirkan anak ketiga. Perpisahannya dengan sang suami lima tahun sebelumnya, berujung rujuk. Dena berharap dengan kehadiran si bungsu, rumah tangganya akan membaik. Ia capek terus berkonflik dengan sang suami setiap hari. Ia pun melihat ibunya dari hari ke hari menelan kekecewaan. Membuatnya merasa gagal membahagiakan orang tua.
Suami Dena sebenarnya pun baik. Rajin mencari nafkah dan sayang kepada orang tua Dena. Hanya saja ia cepat merasa cemburu dan terabaikan. Mungkin ia tipe suami yang manja, sementara Dena cukup dingin. Baginya mengasuh tiga anak yang yang masih kecil saja sudah membuatnya sibuk. Ia tak pernah sempat memperhatikan dirinya lagi. Dan tidak pernah merasa sebahagia dulu.
Suatu hari ibu Dena jatuh sakit. Dena semakin sedih. Apa yang bisa dia lakukan untuk membuat ibunya senang. Bukankah anak perempuan selalu mempunyi cita-cita seperti ini. Lalu bagaimana kalau ia gagal?
Berbagai pikiran terus menghantui Dena. Apa yang salah. Apakah ia salah memilih jodoh? Seharusnya ia bersikap sama dengan sahabat masa kecilnya yang menikah dengan Abu, pewaris pabrik tempe terbesar di Bjm. Tetapi suami Dena hanya seorang buruh harian. Terkadang dalam seminggu lebih banyak liburnya. Ia jadi kesulitan membantu orang tuanya sekedar makan. Untuk ketiga anaknya saja kurang. Apalagi untuk membangun sebuah tempat tinggal.
Setahun merasakan sakitnya, akhirnya ibu Dena berpulang menghadap sang pencipta. Berbagai kesedihan semakin menyiksanya. Kini ia tak mempunyai seorang ibu yang menyambutnya hangat setiap kali datang. Seorang ibu yang selalu menginginkan Dena bisa mengangkat derajadnya.
Suatu siang, entah di tahun ke berapa, Aisyah datang lagi menemui ibunya. Ayah Dena sendiri yang menyampaikan kabar bahagia ini. Aisyah bahkan bermaksud mengunjungi ibu Dena. Tapi ia harus pulang dengan rasa tak percaya. Wanita baik yang ingin ditemuinya sudah menyatu dengan tanah. Akhirnya Dena yang menemui Aisyah di rumah orang tuanya.
Sudah terlalu lama jika diingat-ingat. Terakhir keduanya bertemu saat Aisyah baru melalui satu tahun pernikahannya. Sudah sembilan belas tahun yang lalu. Dan pertemuan ini pun terasa canggung.
Dena tak mau kehilangan kesempatan ini. Ia terus berusaha mencari kehangatan di antara dirinya dan Aisyah, seperti dulu. Ia bercerita apa saja agar keduanya bisa mengulang lagi masa-masa yang penuh keceriaan. Aisyah tampak cantik bila tersenyum. Dena suka itu.
Tapi sekali lagi percuma. Aisyah telah berubah menjadi tertutup. Ia hanya duduk manis sambil senyum kecil mendengarkan. Tanpa bisa dipancing berbagi cerita. Dengan sedikit kecewa, akhirnya Dena berpamitan.
Seminggu kemudian melalui pesan whatsapp Dena tau Aisyah akan pergi lagi. Ia dan Abu harus mengurus pabrik tempe mereka.
Sekali lagi Dena dan Aisyah harus berpisah. Dena harus melepaskan sahabat yang gagal ditemuinya beberapa hari yang lalu. Aisyah sedang mengajak keluarganya berbelanja dan pergi dengan mobilnya. Tampaknya Aisyah berusaha membuat senang keluarganya sebelum pulang. Ia memang punya banyak uang. Anak-anak Dena saja mendapat amplop yang isinya cukup banyak.
Sesaat perasaan kecewa kembali merasuki hatinya. Inikah arti melepas seorang sahabat sembilan belas atau dua puluh tahun yang lalu? Seorang sahabat yang mengejar impiannya dan hidup bahagia nun jauh di sana?
Hubungan mereka sebenarnya bisa berlanjut di atas layar ponsel. Terkadang Dena meminta foto anak-anak Aisyah. Aisyah mengirimkannya. Anak pertamanya bernama Mawar, tahun ini masuk perguruan tinggi melaui beasiswa berprestasi. Lalu anak keduanya, entah siapa namanya, masih berusia sembilan tahun.
Tapi komunikasi seperti ini tak berjalan lancar. Sering Dena tak mendapat balasan pertanyaannya. Tampaknya pesan sekedar dibaca oleh Aisyah. Hal ini terjadi beberapa kali. Bahkan pertemanan mereka di media sosial, juga tak berjalan lancar.
Dena merasa kecewa. Sahabat masa kecilnya bukan saja berubah tertutup, tapi juga tak membutuhkan dirinya. Aisyah tak pernah bertanya keadaan Dena dan anak-anaknya. Apalagi saling curhat seperti yang dibayangkannya. Tentang rumah tangga yang kerap membuatnya senewen dan kesepian. Dena butuh seorang teman yang menghiburnya dan membangkitkan semangatnya. Tapi sia-sia.
Di tengah malam yang gerimis, Dena menepis bulir air matanya sendiri. Ia kecewa apapun yang dikatakannya dalam beberapa chat yang dikirimnya tak mendapat respon dari Aisyah. Sepertnya ia yang harus rela dan mengerti. Aisyah sudah menjadi orang lain sekarang. Dan sudah hidup bahagia bersama suami dan anak-anaknya.
Aisyah adalah orang sibuk, sekarang. Juga tertutup. Sudahlah, sekarang ia harus pula bisa menerima. Dena harus rela melepaskan sahabat masa kecilnya.
Aku tak pernah mengharap kau tuk kembali, bila bahagia mahkotamu, bila kedamaian selimutmu, jangan kau kembali...
Demikian Dena menulis dalam lembaran diarynya.
Ia lalu menyimpan buku itu dalam lemari pakaiannya. Beranjak ke tempat tidur lalu memejamkan matanya.
Suara gerimis masih terdengar di luar sana. Dena menunggu sampai ia terlelap dan masuk ke alam mimpi.
Posting Komentar untuk "Aku tak Pernah Mengharap Kau tuk Kembali"