Apesnya Sugik Nur
Apesnya Sugik Nur
Hari ini, ramai pembicaraan polisi menangkap Sugik Nur, atau yang sering disapa Gus Nur. Media sosialnya cukup ramai pengunjung. Miris sebenarnya, ketika pengajian namun isinya caci maki, asu, dhancuk, matamu picek, atau tai, taek, dan sejenisnya. Ini masalah, ketika hal demikian malah menyenangkan publik yang percaya kepadanya.
Kali kedua ia berurusan dengan aparat kepolisian. Dulu pernah kena hukum 18 bulan. Pemidanaan yang sudah seharusnya membuatnya jera. Namun toh masih juga mengulang dan mengulang lagi. Data begitu banyak menyebutkan kasus-kasus yang membuat orang atau lembaga lain merasa tercemar dan tersinggung.
Beberapa hal yang laik untuk dilihat lebih jauh.
Pertama, apakah hanya Sugik Nur yang ceramahnya misuh, caci maki, menjelek-jelekkan pemerintah, atau ormas lain? Bejibun, banyak banget, tidak hanya yang menggunakan agama, tetapi barisan sakit hati, atau juga pecatan ini da itu. Toh mereka masih merajalela dan melanglah buana dengan makiannya.
Kedua, jika itu delik aduan, memang susah. Karena tidak ada yang merasa tercemarkan, tersinggung, dan terhina sehingga tidak ada pelaporan. Jadi apesnya Sugik Nur ada yang melapor dan itu bukan hanya satu pihak, banyak pelapor yang menjadikannya berkasus.
Ketiga, nampaknya ini adalah kasus kedua, dulu kelihatannya dengan masalah yang tidak jauh berbeda. Maka, apa artinya pemidanaan tanpa adanya perubahan sikap yang siginifikan.
Keempat, masalah justru timbul dan malah seolah tidak dianggap persoalan, pendengar dan fansnya yang demikian fanatis, yakin, dan berbondong-bondong untuk mendengarkannya. Kan aneh dan lucu, ketika kegiatan agama, namun malah mengumbar caci maki dan penghinaan pada negara.
Kelima, ada pihak yang mengatakan ini sebagai kriminalisasi ulama. Artinya ada kepentingan lain yang menggunakan segala cara untuk mendeskreditkan pemerintah dan hukum yang ada.
Keenam, tokoh agama, apapun namanya, seharusnya makin membuat orang dekat pada Pencipta dan sesama. Mana ada dekat pada Tuhan kog katanya kotor. Mencaci sesama seolah itu binatang. Sama sekali bukan cerminan tokoh agama, point kelima telah terpatahkan.
Ketujuh, mengapa sampai demikian, poin lima dan enam terjadi?
Pembiaran. Telah sekian lama ceramah agama itu agitasi dan oposan pada pemerintah dan pemanfaatan agama untuk tujuan politik praktis. Atas nama stabilitas politik, semua dibiarkan, bahkan disintegrasi di depan mata sekalipun.
Campur aduk agama-politik. Mengerikan dan sekaligus juga mendua alias munafik. Ketika korupsi merajalela, namun ranah etik, agama, dan moral diam seribu bahasa, ketika kriminal malah agama dijadikan tameng. Mengerikan sejatinya.
Penegakan hukum yang lemah. Tebang pilih dan tidak jelasnya penegakan hukum dengan perilaku yang identik sekalipun. Cek sendiri bagaimana penceramah lain berlomba-lomba untuk menebarkan racun. Agamanya apapun ada tokohnya yang demikian.
Rakyat dan awam masih banyak yang mabuk agama. Malah dinikmati sebagian elit negeri ini, baik elit politik atau elit agama demi kepentingan sesaat dan sesat mereka tentu saja.
Kedelapan, betapa banyaknya orang berpindah agama, dan kemudian menjadi penceramah dengan menjelek-jelekan agama atau kepercayaan lama mereka. Motifnya maaf uang atau ekonomi bukan agama dan spiritualitas. Jika spritual yang dihidupi mereka akan lebih teduh, tenang, dan suka damai.
Tidak caci maki. Namun kadang juga membual dan menafsirkan agama lain dengan seenaknya sendiri. Toh mereka melanglang buana dengan bualan dan tafsir ngaco mereka.
Kesembilan, posisi Sugik Nur lemah. Bandingkan dengan yang lain-lainnya, toh Sugik Nur sampai dua kali di penjara. Apakah ia paling parah, ah tidak juga. Karena ia tidak cukup memiliki jaringan untuk bisa berkelit.
Kesepuluh, masalah hukum yang masih cenderung tebang pilih. Jika memang tidak pantas karena ngaco, yang ngaco lainnya juga ditangkap. Jangan modeldelik aduan, namun jadikan pasal sebagai kriminal. Fitnah, menyesatkan, meresahkan, bukan pencemaran nama baik.
Apa yang sebaiknya dilakukan?
Literasi dan pembinaan agama makin diintensifkan, beri pencerahan pada umat, bedakan, pilah dan pilih mana tokoh agama, penceramah yang benar dan mana yang ngaco. Bagaimana selama ini yang ngaco dan agamanya cetek bisa menjadi tenar dan besar malah dari pada yang asli mengajarkan agama.
Sertifikasi tokoh agama. Penceramah harus sudah lulus sertifikasi, sehingga tidak asal omong. Bahan bicaranya jelas kapasitasnya, bukan membual dan mencaci sana sini sebagai bahan pembelajaran.
Penegakan hukum secara tegas. Siapapun yang melakukan pelecehan, mengajarkan kebencian, dan juga menghasut tangkap. Tidak usah takut atau gentar karena akan adanya tekanan massa.
Masalahnya memang pada pembiaran, dan itu perlu disegerakan, jadi tidak usah melihat yang sudah lewat. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Tidak ada gunanya hanya mengutuk kegelapan, lebih baik nyalakan lilin atau korek sekalipun kecil.
Masalah itu harus diatasi, bukan dilupakan. Masyarakat harus diajak maju, bukan hanya melakukan ritual tanpa perubahan sikap.
Salam Kasih
Susy Haryawan
Posting Komentar untuk "Apesnya Sugik Nur"