Catatan Kegalauan
Apa yang kulakukan setiap harinya, bisa dibilang berpacu dengan waktu. Aku sendiri heran. Pasti ada yang salah.
Di luar sana para istri mencari nafkah membantu suami mereka. Memberi contoh kemandirian pada anak-anaknya. Meng-akselerasi kemajuan rumah tangga. Entah alasan apa lagi.
Membuka mata saat malam masih buta, sekian dari sekian pahlawan keluarga itu membuat adonan aneka jajanan, memasak berbagai macam menu, dengan deadline sesaat sesudah subuh. Ohh!
Wanita memang pejuang yang bertarung dengan kelemahan raga. Tetapi hatinya begitu teguh agar anak-anaknya sejahtera. Tak mengenal lelah, tak mengenal hujan badai. Huff.
Aku pun, membuka mata saat malam belum pulang. Memulainya dengan bersujud dan berdoa. Lalu menghangatkan dapur dengan api kompor.
Ini masih lebih mudah.
Nenek buyut dan seangkatannya, hanya dengan modal tungku perapian, melayani keluarganya. Berteman dengan asap kayu bakar yang membuat mata perih, dan arang yang menempel dimana-mana. Dengan panas api yang terlalu membakar, atau kayu basah yang justru tak mau menyala.
Di sela waktu, aku masih menyapa teman dalam dunia maya. Postingan sebagian mereka apik dan hebat. Menjadikan orang sepertiku kecanduan.
Aku tak punya banyak waktu, rasanya begitu. Aku harus menenggelamkan diri dalam tanggung jawab, karena aku mempunyai jabatan mulia. Aku bukan pekerja, tetapi aku teguh mengabdi. Dan pengabdian selalu punya totalitas. Karena itulah aku tenggelam.
Aku tengah menghibur diriku, mungkin.
Apa yang selama ini kurasakan, seolah tersimpan dalam mesin waktu.
Tentang kepala yang "berasap" karena menghadapi anak-anak yang buanyak maunya. Trus buanyak rewelnya.
Adik beradik yang sedikit-sedikit drama. Aku langsung memutar otak seperti sedang menyelesaikan ujian MATEMATIKA.
Atau pengajaran tentang hidup kepada anak-anak yang belum check list. Tentang disiplin, rasa syukur, sopan santun, sejuta embel-embel. Oh, tidak!
Aku meyakini kacang hijau berubah jadi kecambah pun, perlu waktu dan proses. Apalah lagi bibit beringin menjadi sebuah pohon yang kuat dan mengakar.
Seringkali kubawa dalam untaian doa, mengapa bisa engkau melemahkan ibumu? Putus asa dalam merawat gejolak kanak-kanakmu. Apakah benar engkau cukup menyusahkan?
Aku bangkit dari semua tangis. Engkau adalah tunas yang belum mengeluarkan daun apalagi bunga. Engkau adalah bintang kejora yang menakjubkan, jika waktunya tiba. Dan lihat cintaku menggunung untuk memiliki engkau.
Mengikut slogan badai pasti berlalu, kini kepalaku tak "berasap" lagi.
Seperti bahtera dengan ombak yang tenang. Semua terjadi seperti untaian doa yang dikabulkan.
Anak-anak menunjukkan banyak perubahan baik. Anak-anak membiarkanku menconteng pada pengajaran hidup yang kuyakini. Alhamdulillah.
Biarlah aku berpacu dengan waktu tanpa bisa menjadi lebih.
Aku tak sehebat para istri yang membuka mata saat malam masih buta. Lalu bertarung dalam kelemahan raga.
Biarlah aku hanya menjadi penonton.
Sampai suatu siang yang indah, aku menemukan sebuah keluhan bercampur keinginan seorang ibu luar biasa.
Foto: pribadi |
Duhai seorang sahabat, sudahlah engkau jangan memikirkannya lagi. Jangan menunggu apa yang tak ada padamu.
Jangan kau rindukan seorang bayi, yang mungkin tak tertulis untuk engkau miliki. Nanti kepala engkau pun "berasap"!
Bukankah dengan seorang anak saja dalam pelukanmu, kedua tanganmu menjadi sempurna membelai rambutnya?
Engkau dapat membisik zikir tanpa anak-anak kecil berisik, dan memanjangkan sholatmu.
Dan bila malam tiba, saat anak-anak yang lain menahan ibu mereka agar tetap terjaga, engkau bisa memejam mata begitu saja. Tak ada anak-anak yang bermain hingga jauh malam. Tak ada pula kening anak yang demam dan butuh di-kompres.
Lalu saat pundi-pundi menipis, dengan anak satu saja dalam pelukanmu, tak ada biaya hidup yang harus dikali lipat. Maka wajah engkau tak cepat keriput. Apalagi engkau merawatnya.
Jangan kau rindukan seorang bayi, yang mungkin tak tertulis untuk memecah keheningan rumahmu.
Cukuplah sebuah penerimaan tentang sebuah nasib. Seperti aku yang hanya bisa jadi penonton. Yang tak bisa berpacu dengan waktu membantu suami mencari nafkah. Dan membiarkan hidup berjalan adanya.
Engkau tak perlu merasakan kesepian tanpa menjadi ibu dari anak-anak yang banyak. Karena artinya engkau tak harus memutar otak seperti menyelesaikan ujian MATEMATIKA. Nanti ada-ada saja teriakan dan keluhan yang menghilangkan kesabaran merawat sifat kanak-kanak mereka.
Dan banyak alasan lain yang membuat engkau menangis.
Yuk, sahabat yang hebat, bangkit dari godaan ini.
Percayalah ini sebuah bisikan dalam dada yang memancingmu ingkar. Setan penghuni hati dan pikiran bertugas menjauhkanmu dari sebuah keyakinan.
Pertahankan ujung suratmu bahwa engkau yakin Allah sudah mengatur dan memberi yang terbaik. Jangan biarkan godaan semanis madu mengalahkanmu.
Di dunia ini engkau tak sendiri mengalaminya. Semoga wanita di luar sana juga memenangkan pertarungan pikiran seperti ini.
Jangan kau rindukan seorang bayi, bila hanya membuat jiwa yang bersyukur menjadi tersiksa. Kalah dari godaan selembut sutera.
Posting Komentar untuk "Catatan Kegalauan"