Mencari Sahabat Dwi
Aku punya seorang teman perempuan, yang namanya bagus menurutku. Dwi Handayani.
Ia memang anak kedua dan mempunyai seorang kakak perempuan bernama Eko.
Tetapi nama belakang Handayani yang turut dilekatkan, yang lebih mengundang kekagumanku pada kedua orang tuanya yang memberikan nama.
Mungkin diambil dari bahasa Sansekerta yang lebih sering menyasar pada suku kedua orang tua Dwi.
Itu tentang nama.
Dwi adalah sosok tomboy yang berteman dengan seorang tomboy pula bernama Susana, yang akrab dipanggil Susan.
Lalu aku berada di tengah keduanya dan pure sebagai anak perempuan kala itu.
Beberapa tahun menjalani kegiatan sekolah bersama, lengkap dengan kegiatan ekskul sampai jjs bareng, tak membuat identitasku sedikit pun luntur. Tapi bukan itu masalahnya.
Beberapa lama ini aku mencari alamat Dwi tapi tak menemukan.
Alamat yang kumaksud ini adalah tempat tinggal Dwi sekeluarga setelah pindah dari huniannya yang lama. Sebuah rumah berbentuk unik yang katanya milik orang Cina.
Dwi dan kedua orang tuanya, kakak perempuannya, Eko, dan adik perempuannya yang masih kecil kala itu, Tri, terbilang beruntung karena hanya disuruh menempati cuma-cuma oleh sang Bos.
Tapi juga bukan itu yang mengusik pikiranku.
Melainkan sebuah rumah berlantai dua dengan tiang berwarna merah pucat.
Dinding bangunan dicat putih dan tampak sudah kusam.
Keramik balkon yang putih bersinar pelangi, dari kejauhan sudah menyita mata.
Lalu tiang merah pucat, yang tampak sangat banyak, di bagian atas dan bawah.
Rumah itu dari modelnya, tak mungkn bernilai sangat mahal. Bahkan lebih menyerupai bangunan lama yang tidak terawat.
Tak mempunyai halaman, pagar, apalagi pot-pot bunga yang indah.
Kiri dan kanannya adalah bangunan serupa yang tampak sepi sepanjang jalan Pulau Banda yang lengang.
Rumah ini, pada bagian bawah tampak sangat privat, dengan tidak adanya jendela dan hanya mempunyai satu akses dari pintu samping belakang.
Ruang di lantai bawah tampak besar dan gelap. Hanya kelihatan sebuah tangga dekat pintu masuk. Menurut Dwi, lantai bawah ini adalah gudang.
Kami pun diajak buru-buru naik, seolah tak bisa bertanya apa-apa lagi tentang lantai bawah.
(Tapi aku masih penasaran sampai sekarang)
Di lantai atas, barulah tampak tanda-tanda kehidupan.
Ada si kecil Tri, adik Dwi yang bermain sendiri bersama sejumlah benda berserakan.
Sekilas mataku menangkap benda-benda itu adalah kereta balita, sekeranjang pakaian kering, boneka, gelas dan piring.
Tak mengapa keadaan yang berantakan, karena ibunya sedang memasak di dapur. Kedatangan Dwi tentu untuk membantu ibunya.
Ah si tomboy itu, meski manis dan murah senyum, kelihatan juga selera gegoleran nya ketimbang beberes rumah. Huff..
Dua puluh lima tahun berlalu. Dimanakah si tomboy Dwi kini?
Rumah kedua keluarga Dwi adalah sebuah rumah permanen yang dibangun sedikit di atas bukit. Kali ini letaknya di perkampungan dengan jalan berupa tanah liat yang licin di kala hujan. Kiri dan kanannya adalah rerimbunan semak dan pohon-pohon kebun.
Kali ini ayah Dwi tampak berhasil dengan pencapaian demikian.
Sebagai tulang punggung ia telah menempatkan istri dan ketiga anaknya dalam sebuah rumah pribadi. Tak lagi menumpang berteduh, apalagi di sebuah rumah gudang.
Hmm, mungkin lain kali aku akan mencari lagi.
Jalanan perkampungan yang liat dan licin, kini telah berganti jalan-jalan cor yang rapi. Rumah-rumah penduduk pun telah padat dimana-mana. Aku sudah tak mengenali tempat ini.
Dwi, semoga kita segera bertemu lagi yaa. Di sini, atau pun di tempat lain. Seorang sahabat, tidak akan terlalu mudah untuk melupakanmu😊🍒
Posting Komentar untuk "Mencari Sahabat Dwi"