Rumahku di pinggir hutan.
Kalimat pendek ini sering kuajukan untuk menolak kedatangan mereka. Tapi aku tak bohong. Karena untuk sampai di sini, orang-orang yang berniat datang dengan berbagai keperluan itu, akan merasa kaget nantinya. Mereka tak akan membayangkan medannya sesulit ini.
Tapi tidak untuk anak-anakku. Aku berusaha untuk membuat mereka merasakannya sebagai suatu nikmat. Bukan karena jalan setapak yang berliku dan berat untuk ditempuh, atau perasaan tersisih dari ramainya dunia. Tetapi karena kita mempunyai hidup yang tenang, sekalipun jauh dari berbagai akses.
Foto: dokpri
Sebut saja tempat bermain berupa hamparan pasir yang luas. Serta ekosistem hutan yang gratis untuk dinikmati. Tak muluk-muluk ialah segarnya air alami dari sumber mata air, serta kicauan burung-burung setiap waktu.
Saat pagi tiba, akan ada matahari dari celah daun-daun. Sinarnya lembut menyapu kabut tebal di kejauhan, yang kemudian perlahan menghilang. Menit demi menit perubahan yang kunikmati dari bawah akasia tua.
Tapi menurut si kakak, ia paling suka menatapi lukisan di langit yang tampak membentang. Seperti kuas memulas kesana-kemari.
Foto: dokpri
Lalu bila akan turun hujan, dari kejauhan tampak garis-garis putih jatuh berkelompok. Derunya kedengaran riuh dari sini. Perlahan kelompok garis-garis hujan mendekat menyerbu atap rumah kami.
Hmm, rasa bahagia itu bisa tercipta dari apa saja. Seperti pengakuan anak sulung kami.
Kekagumannya pada alam hanya dari memandang bentangan langit.
Berbeda jika kami harus tinggal di suatu pemukiman dalam gang sempit. Jarak pandang akan mempunyai batas pula.
Anak kedua kami berbeda lagi.
Ia sangat suka memetik bunga liar bersama sang adik.
Ada banyak macam bunga liar di sekitar sini. Mulai dari karamunting sampai bunga terompet. Bahkan bunga-bunga lain yang kami tak tau namanya.
|
Bunga Karamunting |
|
Bunga Akaaia
|
|
Pucuk bunga Kantung Semar |
|
Kantung Semar |
|
Bunga Kemenyan
|
|
Bunga Putri Malu |
Ia terus saja mengumpulkan bunga dan bermain sampai lupa jam belajar online. Lupa matahari telah merangkak senja. Jauh dari rasa bosan saat dalam pelukan alam.
Foto: dokpri
Terlalu banyak beban hidup di luar sana. Kasihan pada mereka yang terkendala selama masa pandemi. Apalagi yang mempunyai beban cicilan setiap bulannya. Aku berusaha lebih banyak bersyukur, membuang nafas bersama angin sore yang lewat.
Tinggal di pinggir hutan seperti ini, aku terus menggali sisi bahagia yang harusnya kami syukuri. Bukan tentang apa yang tidak kami miliki, tetapi tentang apa yang Allah swt sudah berikan.
Bukankah dua tahun ini kami mulai merasa nyaman?
Bibit pohon buah rambutan Garuda, sirsak madu, jeruk, langsat, nangka, markisa, mangga Kweni, jahe merah, kencur, sereh, lombok, ah... semuanya serasa sebuah karunia.
Awalnya mungkin dipenuhi rasa ragu dan pesimis. Bahkan tak tau harus berbuat apa untuk menciptakan perasaan gembira.
Sekelumit rasa enggan dan takut bahkan didramatisir oleh beberapa kali kemunculan anak ular dan ribuan semut lambada.
Tapi syukurlah hewan-hewan yang terlihat berikutnya tak lebih menakutkan. Hanya sebatas biawak liar yang memata-matai ternak ayam kami, serta tupai kecil yang berlarian mencium buah mangga yang baru muncul satu dua.
Kami harus berdamai dengan alam. Berdamai dengan kesunyian yang menetap, dan hanya mendengarkan suara hutan.
Suara nyanyian jangkrik di malam hari serta lagu para burung di pagi hari. Suara biji buah kamonji yang dijatuhkan kelelawar di tengah malam di atap rumah pondok kami, serta kokok ayam di kejauhan saat subuh.
Apa yang tidak kami miliki mungkin sangat banyak. Kemewahan, fasilitas, dan entah apa lagi.
Tapi semuanya tidak akan selesai bila kami hanya akan merutuk.
Sebuah kebahagiaan tidak akan menghampiri bila kami hanya mengeluh dan merasa kurang.
Hal itu pula yang kuajarkan pada anak-anak kami, yang semuanya masih kecil. Masih mencontoh sikap dan ucapan kedua orang tuanya.
Lalu nikmat mana lagi yang kami dustakan?
Percaya saja bahwa hidup kita ada yang mahamengatur. Berbesar hati karena alasan apapun yang mungkin tak sampai oleh akal pikiran yang terbatas.
Akhirnya kulepaskan perasaan bebanku, pada angin yang membawanya pergi. Jauh entah kemana.
Posting Komentar untuk "Pada Angin Pinggir Hutan"