Revolusi Akhlak dan Revolusi Akal-Akalan
Revolusi Akhlak dan Revolusi Akal-Akalan
Beberapa hari lalu, salah satu elit FPI mengatakan, kalau pemimpin mereka, Rizieq Shihab akan kembali untuk memimpin revolusi. Kata-kata yang sangat mungkin mengandung unsur makar ini disikapi dengan sigap KSP. Polisi diserahi tugas untuk menerjemahkan apakah ada unsur pelanggaran hukum.
Tiba-tiba, ada sebuah bantahan tidak langsung, itu plitiran media semata. Tidak ada ungkapan itu. Padahal dua hari sebelumnya sudah beredar surat dari FPI sebagai bagian dari siaran pers dari mereka. Ya sudahlah, yang jelas, bahwa kepulangannya pun akhirnya batal, prank lagi.
Mengenai revolusi menjadi terabaikan dan fokus pada kepulangan. Sudah saya katakan lebih dulu, dalam artikel berbeda, jika kepulangan ini pasti akan ada alasan lagi. Betul Duta Besar RI di KSA mengatakan, tidak ada kepulangan RS. Lagi dan lagi, malah ada tuntutan dan tuduhan Duta Besar RI yang menghambat kepulangan salah satu warga RI itu. Meminta kepada presiden untuk memecat duta besar.
Entah dari pada otak para anggota apalagi elit ormas ini, ketika bisa sesaat dan seketika mendua seperti ini. Berteriak-teriak ganti Jokowi, dalam waktu bersamaan meminta Jokowi meminta memecat utusan pemerintah yang dianggap menjadi penghambat sang junjungan. Ormas dan orang-orang paling aneh.
Tiba-tiba elit lain mengatakan revolusi akhlak yang mau dipimpin Rizieq Shihab. Apa makna dan maksud dari ini?
Salah satu politikus Golkar mengatakan, mulailah dari diri sendiri dulu. Hal dan permintaan yang wajar. Mengapa? Suka atau tidak, reputasi RS sebagai residivis itu masih ada dan tidak bisa dihapuskan. Tahanan berkali-kali, dan itu kriminal, bukan tahanan politik.
Ketika menyiapkan artikel ini, membaca dalam tayangan media sosial, bagaimana era Orba yang sangat kental dengan represinya, tahanan politik itu demikian banyak. Persidangan hanya akal-akalan, yang dilakukan juga belum tentu benar demikian. Hanya karena persaingan bisnis atau politis sangat mungkin menjadi pesakitan bahkan hilang tak berbekas.
Toh, satupun dari para pesakitan politik itu, bahkan ada yang sampai berkali-kali, tidak ada satupun yang kabur atau lari ke luar negeri. Bagaimana Veronika Koman atau Rizieq Shihab melakukan itu. jika benar demi bangsa dan negara yang lebih baik, tentu tidak akan pergi. Pun jika penegak hukum tidak bisa dipercaya masih ada lembaga lain yang bisa menjadi tempat mengadu.
Apa artinya jika demikian? Hanya mencari sensasi namun tidak berani bertanggung jawab. Jika tidak terlalu kasar untuk mengatakan hanya mencari uang dan menjadi makelar kepentingan pihak lain. miris jika demikian.
Kembali pada topik pilihan revolusi akhlak dan akal-akalan. Ini hanya memperhalus, bahwa ketika revolusi tanpa embel-embel jelas itu adalah makar. Mempersulit keberadaan RS, bukan malah membantu. Kelihatan dengan jelas, jika FPI dengan segala aksi dan kelompoknya bak anak ayam kehilangan induk. Omong asal dan malah membuat susah. Klarifikasi media memelintir hanya menjadi bulan-bulanan. Lahirlah revolusi akhlak.
Revolusi akhlak akan menjadi sarana berkelit dan bersembunyi di balik revolusi mental Pak Jokowi, pada 2014 yang lalu didengungkan. Identik dan sama, namun apakah benar, mereka, atau RS bisa menjadi pionir berakhlak dengan baik?
Sudah disebutkan di atas. Residivis, benar bahwa orang yang sudah masuk tahanan itu keluar menjadi bersih kembali. Lha apakah itu sudah ditunjukkan dengan baik selama ini? abaikan soal chatt mesum, yang sangat mungkin itu permainan atau konspirasi. Perilaku dan ucapan, tindak tanduknya apakah sudah berakhlak?
Kedua, tidak bertanggung jawab. Bagaimana ia pergi dengan mengatasnamakan ibadah pula, namun aslinya adalah melarikan diri. Jika tidak bersalah ya hadapi. Mengapa lari? Jika benar-benar beribadah tidak akan menebarkan racun, dari tanah suci pula. Berapa kali saja ia menyuarakan nada sumbang dan bahkan tidak berdasar.
Ketiga, akhlak yang mana mau dijadikan rujukan, ketika selalu saja mengambinghitamkan pihak lain. Ini jauh lebih parah dari sekadar tidak bertanggung jawab sebagaimana point dua. Abai tanggung jawab itu tanpa merugikan pihak lain. Ketika sudah mencari kambing hitam, jelas lebih buruk lagi. Sudah jahat tidak bertanggung jawab, menyalahkan pihak lain.
Lihat saja berapa kali menyalahkan pemerintah, duta besar, menuduh sana sini, dan semuanya berujung pada omong kosong. Model demikian yang akan menjadi panglima memperbaiki akhlak? Jika satu dua kali itu salah dan wajah khilaf, namun ketika berkali ulang namanya karakter dan budaya yang amat susah diperbaiki, apalagi tidak merasa itu salah.
Keempat, lihat saja penghormatan pada bangsa dan negara serta simbol-simbolnya, pun pada agama. Religiusitas dan keagamaan hanya menjadi kedok semata. Apakah benar agamis, bisa dicek d dan lihat dari reputasi sehari-hari. Orang semakin agamis, akan semakin bertanggung jawab dan rendah hati. Sulit membayangkan orang beragama mendalam suka kekerasan, kebencian, dan cenderung grusa-grusu, bandingkan dengan Buya Syafie di dalam bertutur kata dan berbicara, itulah beragama yang mendalam
Salam Kasih
Susy Haryawan
Posting Komentar untuk "Revolusi Akhlak dan Revolusi Akal-Akalan"