Senjakala Demokrat
Senjakala Demokrat
Sejak masa lalu dengan slogan KATAKAN TIDAK PADA[HAL] KORUPSI, dengan para bintang iklannya dominan masuk bui, noda itu masih begitu kuat. Sama sekali tidak mampu mereka atasi, malah menyusul kemudian Jiwa Sraya nama mereka juga tersangkut cukup kencang. Lokalisasi masalah dan tahun, toh tetap saja publik masih mencatat adanya kaitan.
Masalah korupsi dan dugaan korupsi mengalir liar ke dalam nadi Demokrat, belum bisa sepenuhnya mampu dibersihkan. Apa yang ada bukan semata noda, malah cenderung seperti kerak. Miris sebenarnya, ketika lahir dalam era baru, namun ternyata pola lama yang menguasai dan mampunya seperti itu.
Kasus demi kasus korupsi, main dua kaki dalam banyak kasus, membuat mereka makin dijauhi pemilih. Lihat saja bagaimana angka keterpilihan mereka. Pun pilkada di mana-mana mereka relatif hanya penggembira.
Miris ketika di tengah noda dan kerak korupsi yang membelit jantung Demokrat dan mereka sama sekali tanpa upaya untuk bisa meyakinkan publik. Tidak ada usaha yang layak diyakini bahwa mereka sungguh-sungguh partai yang bersih. Masa lalu korup dan itu tidak lagi.
Kepemimpinan muda, ternyata hanya muda dalam usia dan pengalaman, lainnya sangat tua, bahkan dalam bayang-bayang SBY semata. Sama juga bukan harapan baik ternyata penempatan AHY sebagai ketua umum.
Wajar ketika Ferdinand Hutahaen mengatakan, yang tidak berubah akan tergilas zaman. keputusannya mundur itu tepat. Demokrat menggali kuburnya sendiri. Menuju kepada kesuraman, bukan masa depan gemilang.
Bagaimana sikap mendua mereka yang kini malah ditelanjangi entah oleh siapa. Mereka seolah tidak berdaya menghadapi demikian banyak tudingan dan tuduhan yang berkaitan dengan Omnibus Law dan terutama demo rusuh.
Pembelaan dan penyangkalan yang malah semakin menguatkan bahwa mereka sebenarnya memiliki skenario yang gagal dimainkan dengan relatif mulus, karena kembali soal pengalaman dan jam terbang berpolitik.
Lihat saja bagaimana ketika serangan yang demikian masif menyasar Demokrat sebagai penyandang dana ala media sosial, ini mungkin bisa dinafikan. Lha bagaimana mungkin bisa menyangkal ketika beredar dengan begitu kencangnya, foto dan video mereka ada di lapangan yang kemudian berujung ricuh. Contoh Jogjakarta, ada baju dan orang Demokrat sedang orasi.
Atau video dan photo para punggawa Demokrat menyaksikan melalui layar monitor untuk melihat jalannya demo dan kerusuhan. Mau membantah apa lagi? Eh malah mantu-mantunya dengan sangat polosnya berkicau kalau rakyat merindukan SBY. Mereka tidak tahu bahwa angin sedang tidak baik. Namun karena skenario harus demikian, dengan kepolosannya malah menjadikan posisi Demokrat jadi bahan olok-olokan, selain kemarahan yang sangat besar.
Reaksi SBY yang membantah terlibat pendanaan demo, kemudian mengancam menempuh jalur hukum, toh salah satu elit mereka, mantan ketua dewan, Marjuki Ali mengaku memberikan uang makan kepada mahasiswanya untuk berdemo. Mau membantah apalagi, yang di Jogya juga ada photo, ada bukti keterlibatan mereka, minimal oknum dan baju yang tidak bisa disangkal lagi.
Mengaku dan masih berkelit demo adalah hak, benar, namun ketika merusak dan juga membawa kehancuran namanya tolol, bukan lagi konstitusional. Namanya anarkhi, jangan berlagak amnesia dan pura-pura tidak tahu bahwa psikologi massa bangsa ini mudah tersulut hanya dengan masalah sepele. Lha senggolan nonton dang dut saja gede, apalagi demo yang ada agitasinya.
Demokrat tampaknya masuk pada perangkap yang mereka buat sendiri, api yang membesar membakar mereka, dan upaya perbaikan itu bak minum air laut. Lebih banyak blunder yang mereka berikan dari pada kejelasan.
Ketua umum itu AHY, namun usai meminta maaf, padahal lebaran masih lama, ia seolah hilang. SBY malah lebih banyak menebar serangan bak babi buta ke mana-mana. Lagi-lagi memperlihatkan SBY sebagai ketua secara faktual, meskipun yuridis formal ada di nama AHY. Perilaku yang membuat makin membuat orang enggan dan maaf mual.
Jangan salah, anak muda juga punya cara, belum tentu yang tua mesti benar dan lebih baik. Kontekstual jauh lebih mumpuni yang muda. Ini yang SBY abaikan. AHY hanya diam saja, dan itu adalah masalah besar.
Senjakala itu makin mendekat. Tiga point utama yang perlu dicermati Demokrat;
Pertama, soal KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI belum mampu sedikitpun diperbaiki. Kerak ini sangat mengerikan jika kembali berjaya. Susah melihat mereka bisa meroket, apalagi kapasitas AHY ternyata masih level amatiran seperti ini.
Kedua, soal tudingan dan terkena pelabelan bohir atau penyandang dana demo rusuh, melihat pola pendekatan dan emosional mereka, tidak akan mampu mengurangi saja. Apalagi membersihkan diri. Memangnya dengan ancaman mau memidanakan penuding ini menyelesaikan masalah? Sama sekali tidak. Sepele, dijawab kalau tidak, mengapa harus meradang dan menanggapi dengan sangat berlebihan? Selesai.
Ketiga, kapasitas AHY yang selalu tertutupi oleh bayang-bayang SBY, dan bahkan kini bukan lagi bayangan, malah sosok asli SBY menutup laku dan rupa AHY. Lha bagaimana bisa melihat AHY kalau SBY terus yang di depan.
Mantan presiden masih merasa presiden, mantan ketum masih serasa ketum, post power syindrom sekaligus tantrum. Ribet men uripmu Pak, pensiunlah dengan bahagia.
Salam Kasih
Susy Haryawan
Aduh katakan tidak, ngingetin sama angelina mantan terindah hehe
BalasHapusha ha ha itu msih lekat
HapusWahhh analisis yang bagus mas Susy
BalasHapusKatakan TIDAK 😊 semoga betul tidak ya om
BalasHapusBelum mamppu melepaskan stigma itu
HapusMakasih
BalasHapus