Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Tuanya Fadli Zon

 

Tuanya Fadli Zon

Ternyata tua banget Fadli Zon itu, bagaimana ia lupa Orba tapi ingat masa penjajahan. Tua banget kan ya? Yang biasa bicara  masa penjajahan itu kisaran kini usia 85 ke atas. Lha ibu saya yang 81 saja tidak pernah kog bicara masa prakemerdekaan.

Katanya penangkapan Sugik Nur itu melanggar konstitusi, demokrasi, dan HAM, kek zaman penjajahan. Ah yang bener, coba kita lihat rekam jejaknya sang politikus ini.

Sepanjang menyerang pemerintah dan barisannya, akan dibela mati-matian, pada taraf  tersangka dan pemeriksaan awal. Mat-matian menyemburkan narasi bagaimana mereka adalah korban, dan pemerintah atau kawan-kawan mereka adalah justru tidak dianggap, seolah-olah mereka ini layak menerima keadaan demikian.

Sejarah panjang diberikan Fadli dengan polahnya. Ingat ketika Buni Yani ditangkap, bagaimana ia menarasikan, membuat framing, dan getol menyemburkan pembelaan. Pun kisah Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani. Namun, apakah itu berlanjut ketika menjadi tersangka, apalagi terpidana. Mana ada. Artinya apa?

Membela kepentingan dan mendapatkan asupan amunisi untuk menyerang dan mendeskreditkan pemerintah. Titik, tidak ada yang lebih jauh dari itu.

Demokrasi katanya dilanggar. Lucu dan malah naif, demokrasi itu esensinya berarti ada hak dan kewajiban, serta semua terjamin kebebasan dan haknya. Nah aneh dan lucunya adalah, pada ribet dan ribut ketika menuntut hak, mengedepankan hak, namun tidak mau memenuhi kewajiban. Salah satu kewajiban itu adalah mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Ini kan naif dan kekanak-kanakan, ketika kena kasus menuntut pihak lain untuk memaafkan, mengampuni, demi demokrasi, namun juga memberaki periuk demokrasi yang sama. Munafik kelas langit dengan perilaku mendua demikian.

Kebebasan itu hal mutlak dalam alam demokrasi, namun toh bukan kemudian seenaknya sendiri menglaim kebebasannya. Lha kalau bebas model itu ya silakan ke hutan rimba sana. Kebebasan yang dewasa dan demokratis itu ya bertanggung jawab, karena ada irisan dan ketersinggungan dengan kebebasan yang lain.

Model bebas bablas demikian, apa bedanya dengan binatang, mau kawin asal kawin saja, demokrasi ya tidak demikian. Malah lebih berat karena mengandaikan kedewasaan. Ada uang jatuh tidak akan diambil  karena bukan miliknya.

HAM, lha memangnya NU dengan pimpinan dan anggotanya, sebagaimana analogi Sugik Nur sebagai sopir, kru, dan penumpang, apakah mereka tidak memiliki HAM yang sama sebagaimana Sugik Nur. Lucu juga Fadli cara mikirnya, atau malah pikun?

Jauh lebih tepat, jika Fadli menyoal mengapa pewawancaranya tidak ikut menjadi tersangka? Berani tak, atau karena satu gerbong kemudian diam-diam saja? Lucu saja sih.

Setuju sih UU ITE dan pasal pencemaran nama baik itu ngaco, namun akses Fadli Zon dan kedudukannya kan memungkinkan untuk merevisi dan memperbaiki perundangan itu menjadi lebih baik, bukan memanfaatkan demi kepentingan sesaat dan sesat diri dan kelompoknya.

Ke mana Fadli ketika ibu di Sumatera terkena pidana karena urusan toa? Atau kisah Ahok, atau terpidana yang demikian banyak. Hanya karena tidak satu barisan dengannya, didiamkan dan dianggap baik-baik saja.

Miris, ketika UU dan konstitusi dimanfaatkan demi hasrat dan nafsu elit seperti ini. Tafsir yang seenak udelnya dilakukan demi kepuasan diri sendiri.

Masalah timbul karena elit berperilaku demikian, dan pada posisi yang sama, masyarakat atau akar rumputnya malah membaca, minim literasi, dan hanya suka membaca judul dan sepenggal berita atau bahkan opini. Mengerikan. Sama juga berbicara gajah di tengah serombongan orang buta.

Apakah ini ketidaktahuan? Justru sangat tahu dan paham dengan kondisi berbangsa yang ada. Memanfaatkan keadaan yang demikian.

Syukurnya adalah, masih banyak yang waras dan sadar, sehingga masyarakat makin mencibir perilaku politkus ugal-ugalan demikian. Munafik dan  menunggangi demokrasi, kontitusi, isu HAM, dan sejenisnya.

Ke mana ketika Marsinah hilang? Apakah ia belum lahir, atau malah sudah  terlalu tua? Atau malah keenakan di kursi empuk pejabat tinggi negara? Jangan naif lah, rekam jejak itu demikian terang benderang dan gamblang orang bisa mengulik ke mana-mana dalam hitungan detik sudah menemukan banyak data

Bangsa ini sangat besar, menjanjikan, namun jika politikus model pecundang demikian selalu mendapatkan panggung, harapan dan optimisme Jokowi tahun 2045 menduduki nomor empat dunia bisa kacau. Perilaku kerdil yang selalu saja memberaki periuk nasinya sendiri.

Tua itu bukan soal usia, namun juga perilaku, pemikiran, dan gaya hidup. Orang yang pesimis, hanya menjadi perusak, termasuk pada golongan tua. Enggan berubah, takut bersaing, dan hanya membual tanpa capaian, itulah manusia tua.

Salam Kasih

Susy Haryawan

 

 

Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "Tuanya Fadli Zon"

DomaiNesia