Aku Tunggu di Gerbang Akhirat (Bagian Tujuh)
Dokpri. |
Bagian Tujuh
~~
“Iya, trus?”
“Bapak berikan Baju Gamis beserta kerudung merah marun itu beserta dengan sisa uang Rp.500 ribu itu kepada Perempuan itu. Nama perempuan yang selama ini menjadi Guru ngaji anak-anak kecil di lingkungan Pasar itu Mila.”
“Alhamdulillah ya Pak, semoga bermanfaat dan bisa mendatangkan pahala buat bu Noormah di alam baka sana,”
“Noormah belum meninggal dunia.”
“Loh, kok. Tadi kata Bapak bu Noormah sudah meninggal dunia dan sudah di kebumikan di Kandis sana?”
“Betul, tapi hanya jazadnya saja yang sudah di kebumikan, sedangkan Noormah sendiri sampai saat ini masih berada di dunia ini.”
“Maksudnya?”
“Noormah terkadang masih suka mendatangi Bapak di Rumah.”
“Rumah yang dimana? Rumah yang disini apa rumah yang di Kandis?”
“Rumah yang disini,”
“Trus tetangga-tetangga Bapak tau kalau bu Noormah itu sebenarnya sudah meninggal dunia?”
“Mereka enggak bisa melihat Noormah, hanya Bapak yang bisa melihatnya, biasanya sebelum masuk ke dalam rumah, Noormah selalu mengucapkan salam terlebih dahulu dan sebelum Bapak menjawab salamnya dan menyuruhnya masuk, dia nggak mau masuk ke dalam Rumah,”
“Oh gitu, pake acara ngetuk pintu juga?”
“Nggak, hanya suaranya saja yang terdengar di luar rumah, tapi nanti kalau udah Bapak jawab dan bilang, “Masuklah Mak,” Noormah tiba-tiba saja sudah berdiri di dalam rumah, senyum-senyum sama Bapak, kayak biasa,”
“Waduh! Bapak nggak takut dengan kehadiran bu Noormah yang sudah jelas-jelas meninggal dunia?”
“Takut kenapa? Noormah kan istri Bapak?”
“Iya, ya… Eh, tapi kan bu Noormah sudah meninggal dunia?”
“Cuma beda alam saja, sebenarnya Noormah masih ada,”
“Hemm,,”
“Kamu gak percaya?”
“Entahlah Pak, sejauh aku berjalan sampai kita ketemu di tempat ini, baru pertamakalinya aku mendengarkan cerita aneh seperti ini,”
Tiba-tiba lelaki tua yang mengenakan Kaos oblong berwarna coklat yang terlihat sudah sedikit kumal itu tersenyum sambil menatap ke arahku, lalu meminta Rokok sebatang, setelah membakar dan menghisap dalam-dalam dia menghembuskan asapnya secara perlahan-lahan. Tiba-tiba saja dia berkata sambil menatap lurus kedua mataku,
“Dulu Noormah paling suka dengan Rokok merk ini,”
“Dulu bu Noormah merokok sewaktu masih hidup?”
“Iya, dan Rokok kesukaannya itu persis seperti Rokok ini”
“Ooo gitu?”
Entah kenapa tiba-tiba saja bulu tengkukku meremang berdiri saat Lelaki tua di sebelahku ini mengatakan bahwa merk Rokok kesukaan Noormah itu sama dengan merk Rokok kesukaanku saat ini.
“Bapak jalan dulu, nanti singgahlah ke rumah Bapak,”
“Iya Pak, terima kasih, rumah Bapak dimana?”
Lelaki tua yang tadi memperkenalkan dirinya bernama Abdul Majid itu menunjuk ke arah barisan Bukit-bukit yang menjulang tinggi.
“Rumah bapak berwarna biru, cuma ada satu Rumah berwarna biru di ujung jalan ini dan bapak tinggal disitu seorang diri,”
“Baik, Pak. Nanti insyaallah aku singgah kalau tidak kemalaman sampai disitu,”
“Iya, Bapak jalan dulu,”
“Iya, Pak. Hati-hati di jalan.”
Setelah pak Tua itu berlalu dari hadapanku, kuputuskan untuk kembali melanjutkan perjalananku menyurusuri Hutan Larangan ini.
~~
Hari sebenarnya masih belum terlalu sore, tapi karena kulihat langit mulai menghitam, maka kuputuskan untuk singgah dan sekalian berteduh di rumah berwarna biru, jika memang hujan turun lebih cepat dari perkiraanku.
Siang tadi, lelaki tua yang sempat duduk lama denganku itu, telah menceritakan semua perjalanan hidupnya hingga bisa sampai ke tempat ini, mengatakan bahwa Rumah Semi Permanen berwarna biru ini adalah tempat tinggalnya.
~~
Di antara hembusan angin yang bertiup kencang hingga menggugurkan dedauan sebagai pertanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan, ketukanku pada pintu Rumah berwarna biru sambil mengucapkan salam itu baru di respon oleh penghuninya ketika hujan mulai turun dengan lebatnya di tempat ini.
Di antara gemuruh suara air hujan dan kilatan cahaya petir di bawah langit yang menghitam, terdengar sahutan suara seseorang dari dalam Rumah. Terdengar suara seseorang yang sepertinya tengah berusaha membuka pintu Rumah Semi Permanen berwarna biru langit ini.
Pintu Rumah ini terbuka, kulihat bukanlah Lelaki tua yang siang tadi menawarkan untuk singgah ke tempat kediamannya siang tadi kepadaku, tapi seorang wanita paruh baya yang kulihat tengah mengenakan Baju Gamis lengkap dengan kerudung panjang yang semuanya berwarna merah marun.
Kutatap wanita paruh baya di depanku, usianya sekitar 50 tahun tapi masih menyisakan sisa-sisa kecantikan masa mudanya dulu.
Di antara hembusan angin yang bertiup kencang, semua bulu-bulu halus di tubuhku meremang berdiri, saat membalas senyuman wanita berkulitnya kuning langsat yang memiliki mata sedikit sipit, bertubuh tinggi semampai yang kuperkirakan tinggi tubuhnya sekitar 163 di depanku.
Sambil tersenyum, Wanita paruh baya yang masih menyisakan sisa-sisa kecantikan masa mudanya itu berkata,
“Masuklah ke dalam Bang, di luar hujan,”
Sekian
Catatan: Di buat oleh, Warkasa1919 dan Apriani1919. Cerita ini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Posting Komentar untuk "Aku Tunggu di Gerbang Akhirat (Bagian Tujuh)"