Coba Bertahan Dengan Kopi Jagung
Membuka usaha kuliner di tengah meningkatnya kasus positif Covid 19 perlu kiat khusus dan usaha ekstra. Apalagi jika memilih model warung angkringan yang menjamur di berbagai sudut kota. Meski di sekitar kota, Kabupaten Kebumen yang secara statistik dinyatakan sebagai wilayah termiskin di Provinsi Jawa Tengah jelas memberi tantangan yang harus dijawab dengan cerdas.
Mengelola warung angkringan mirip franchising. Pengelola punya induk semang pemilik yang biasa dipanggil juragan atau bos. Si bos menyediakan gerobak, sebagian alat utama semisal tungku dan ceret serta beberapa jenis camilan, nasi kucing dan lauknya. Pengelola membayar sewa bulanan/harian alat itu beserta setoran sejumlah barang dagangan yang laku dijual hari itu. Dapat dibayangkan seberapa besar margin keuntungan yang diperoleh Pengelola.
Di pinggir Timur kota, dekat pintu masuk Kota Kebumen jelang pergantian tahun 2020. Imam (35 tahun) memberanikan diri buka usaha kuliner model angkringan dengan dukungan Iwan Nsc sobat karib yang cukup sukses berbisnis fotokopi. Selama ini, Imam banyak membantu Iwan saat dikejar deadline oleh konsumen. Keduanya telah berkeluarga.
Keputusan Imam membuka usaha bisnis angkringan dibuat setelah kegiatan dagang roti keliling mengalami kemunduran drastis sejak awal pandemi. Sebagai kepala keluarga, ia tak mau terpuruk tanpa daya juang. Iapun mengemukakan niatnya berwirausaha kuliner angkringan kepada Iwan yang segera merespon dengan mencarikan "bos" kenalannya. Singkat cerita, Imam mulai menggelar lapak yang lokasinya tak jauh dari rumah orang tua. Sebulan berjalan terasa sekali tantangannya luar biasa. Semua daya dikerahkan untuk memajukan, termasuk melibatkan jejaring "manusia jalanan". Beragam varian menu coba ditawarkan selain yang khas dari warung angkringan yakni nasi kucing plus lauknya dan wedang jahe. Termasuk menyediakan aneka minuman siap seduh, khususnya kopi.
Suatu saat sebelum pemerintah memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dari 11 - 25 Januari yang kemudian diperpanjang sampai 8 Pebruari 2021, Imam telah menguji-cobakan menu pengganti kopi seduh dari jenis sachet buatan pabrik dengan kopi jagung buatan temannya. Ternyata respons konsumen kian membaik dan menunjukkan trend terus meningkat. Akhirnya ia berinisiatif membuat bahan kopi seduh dengan racikan sendiri. Memanfaatkan potensi lokal kopi pesisir maupun kopi gunung dicampur dengan jagung manis lokal.
Kopi pesisir ia beli dari teman yang membudidayakannya di kisik , sebutan lokal untuk tempat atau lahan di bibir pantai. Jenis kopi yang kian banyak penggemarnya ini bisa disebut kopi asli Kebumen baik dari jenis Robusta maupun Arabika. Imam memilih jenis Robusta yang tidak terlalu asam untuk berpadu dengan Rondho Royal (tape goreng) yang merupakan ragam menu cemilan andalan.
Dengan mengubah menu kopi seduh dari sachetan ke kopi racikan sendiri, sedikit demi sedikit Imam ingin bertahan diri dari ketergantungan dari sumber luar agar dapat meningkatkan margin keuntungan usaha angkringannya. Sekaligus mengenalkan varian kopi lokal yang ternyata tidak kalah dari cita rasa kopi yang telah mendunia dari Aceh Gayo, Minahasa, Papua dan sebagainya. Sementara itu, kopi gunung yang dipasok dari perkebunan rakyat di Bagian Utara belum jadi prioritas pengembangan. Imam masih menggunakan kopi tumbuk yang dibeli di pasar lokal. Dan keberanian dirinya berinovasi tidak terlepas dari pengalaman sebagai peracik kopi (barista) di beberapa kedai kopi di Jogja beberapa tahun lalu.
Modal terpendam tadi dibongkar dan dipilah agar jadi sumber daya. Kopi pesisir yang dikembangkan oleh Yuridullah dari Desa Pucangan Kecamatan Ambal dipadukan dengan jagung manis Desa Setrojenar yang terkenal dengan Pantai Bocor-nya. Hasil pertanian di lahan Urutsewu ini berbeda dari jenis sama yang ditanam di pegunungan. Kadar glukosanya lebih rendah dan kandungan karbohidratnya lebih tinggi. Dari sini Imam coba kembangkan imajinasi berdasarkan pengalaman sebagai barista. Termasuk pemeo "kopi jitu", kopi siji jagunge pitu. Artinya, jenis kopi yang biasa disebut Kopi Jagung itu adalah campuran kopi murni satu dengan jagung tujuh takaran. Kopi Jitu punya nama populer sebagai kopi rakyat jelata yang telah ada sejak jaman VOC.
Secara iseng saya coba bandingkan harga kopi pabrikan yang gencar berpromosi di TV dengan harga kopi bubuk lokal. Dalam kemasan 165 gram, harga pasar kopi bubuk pabrikan itu Rp 12.000,- . Sedangkan kopi bubuk lokal pegunungan yang diolah secara tradisional (ditumbuk) dengan lumpang kayu (gemplong, istilah lokal) seharga Rp 500 ribu sekilonya. Artinya, perbandingan harga itu membuktikan bahwa kopi jitu memang riil. Bahkan lebih fantastis. Harga kopi pabrikan berdasarkan konsep kopi jitu "hanya" 20%-nya kopi murni. Itu kopi Kebumen, bukan Aceh Gayo atau pesohor kopi lainnya. Hitungan iseng ini saya sodorkan kepada Imam yang kemudian ditindaklanjuti dengan kerja eksperimental.
Pengalaman jadi barista di Jogja yang terkenal dengan kopi joss-nya benar-benar dieksplorasi. Konsep kopi jitu ia ubah dengan mengedepankan konten kearifan lokal. Karena ia berobsesi mem-"bumi"-kan sumber daya lokal sesuai asal muasal tempat lahirnya, Kebumen yang konon merupakan peleburan kata ke-bumi-an. Jika Yuridullah bisa mengangkat kopi pesisir ke jenjang nasional dan internasional, kenapa dirinya tak mampu? Imam tak ingin seperti nasib Geopark Karangsambung yang terlambat dipromosikan oleh Pemerintah Kabupaten Kebumen sebagai salah satu pintu masuk utama ke Benua Atlantis yang fenomenal itu.
Posting Komentar untuk "Coba Bertahan Dengan Kopi Jagung "