Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

5 Rumus Niaga A la Warkop "Makwo Ita"

Makwo Ita dan menu andalan Ketan plus gorengan (dokumentasi Pribadi)
Makwo Ita dan menu andalan Ketan plus gorengan (dokumentasi Pribadi zaldychan)


 "Kita tak pernah berjanji dengan pembeli!"


Ini rumus berdagang pasangan yang kukenal sejak puluhan tahun lalu. Mukhlis (Bang Lis) 60 tahun dan Senorita (Uni Ita) 57 tahun. 


Untuk mengenalkan adab tuturan pada anak-anakku. Aku biasa menyapa dengan panggilan "Pakwo lis dan Makwo Ita".


Dulu, Pakwo Lis adalah penjaga bioskop. Namanya Bioskop Kaba yang buka sejak sore hingga tengah malam. Itu setiap hari.


Untuk menghidupi 4 orang anak, sang istri, saat pagi berjualan makanan untuk sarapan. Bangku kayu dan meja panjang dijadikan "warung". 


Posisinya? Diletakkan di depan sepetak ruangan yang disebut rumah di sebelah bioskop khusus untuk penjaga. 

segelas kopi berukuran kecil dihargai dua ribu rupiah (dokumentasi Pribadi zaldychan)
Segelas kopi berukuran kecil dihargai dua ribu rupiah (dokumentasi Pribadi zaldychan)

Ada beragam menu sarapan yang ditawarkan. Ada lontong, nasi santan (nasi uduk) serta aneka gorengan. Tentu saja tersedia minuman. Kopi dan teh hangat.


Satu yang khas dari warung itu, adalah menu ketan bercampur parutan kelapa dan pisang goreng. Hematku, satu-satunya di Curup. 


Awal tahun 90. Bioskop ditutup oleh Pemda. Entah kasus perizinan atau status kepemilikan. Akibatnya, Pakwo dan Makwo mesti pindah. Akhirnya, mengontrak rumah di depan Masjid Al Jihad Curup, hingga artikel ini aku tulis. Anak-anakku menyebutnya warung "Makwo Ita". 

Warung "Makwo Ita" (dokumentasi Pribadi zaldychan)
Warung "Makwo Ita" (dokumentasi Pribadi zaldychan)

Sejak bioskop ditutup. Pakwo bertukar profesi sebagai tukang Ojek. Sang Istri tetap berdagang makanan seperti biasa.


5 tahun lalu, Pakwo berhenti jadi tukang ojek. Selain faktor usia, bersaing dengan anak muda, juga suhu Kota Curup yang dingin. Belum lagi asam urat dan cedera bahu, akibat terlibat kecelakaan. Saat ini, Pakwo beralih profesi lagi menjadi penjual minyak eceran (Pertamini) dan berdagang manisan.


Bagaimana dengan sang istri? Jamaknya makanan "home made". Mulai dari membeli bahan mentah hingga siap saji, dikerjakan sendiri.


Makwo akan bangun pukul 3 dini hari. Dan sibuk di dapur. Memasak ketan, Mengupas pisang, menghangatkan kuah lontong, atau mengiris sayur membuat adonan untuk bahan gorengan. Kemudian berhenti dan istirahat sesaat, ketika ikut salat subuh berjamaah di Masjid. 

Goreng Pisang harga seribu di Warung "Makwo Ita" (dokumentasi Pribadi zaldychan)
Goreng Pisang harga seribu di Warung "Makwo Ita" (dokumentasi Pribadi zaldychan)

Usai salat subuh dan kembali dari masjid, sang suami akan membuka warung dan menyiapkan peralatan. Makwo mulai menggoreng dan menyusun dagangan. Sambil melayani pembeli yang datang. Biasanya, pembeli pertama adalah jamaah masjid, sebelum pulang ke rumah.


Dagangan "dinyatakan"  tutup pukul jam 11 siang. Kemudian pasangan suami istri itu akan ke pasar, membeli bahan dagangan untuk esok hari. Usai zuhur hingga ashar, adalah jeda waktu Makwo untuk istirahat, menonton televisi atau tidur siang. Terkadang menghadiri pengajian ibu-ibu.


Setelah ashar, adalah jadwal untuk bersiap memasak lontong beserta kuahnya. Oh iya. Kuahnya ada 2 varian rasa. Rasa pedas dengan sayur potongan nangka dan yang manis adalah gulai santan dengan irisan sayur buncis. 


Biasanya, Makwo akan terbebas dari aktivitas di dapur, sesaat menjelang salat Isya. Paling lambat pukul 10 malam, akan berangkat tidur. Dan mesti terjaga pada pukul 3 dini hari. setiap hari irama kehidupan Makwo seperti itu.


Berapa harga satu porsi? Selembar uang lima ribu rupiah, sudah bisa menikmati sepiring lontong atau nasi santan. Jika pakai telur. Tinggal tambah selembar uang senilai dua ribu rupiah.


Semua gorengan dihargai seribu rupiah. Segelas kopi dan teh hangat dua ribu (gelas kecil) dan empat ribu (gelas berukuran biasa). Ketan sebagai andalan? Harganya tetap lima ribu, jika pakai goreng pisang tinggal tambah seribu. 

Kue kumbu (isi kacang hijau) dan Roti Goreng di Warung "Makwo Ita" (dokumentasi Pribadi zaldychan)
Kue kumbu (isi kacang hijau) dan Roti Goreng di Warung "Makwo Ita" (dokumentasi Pribadi zaldychan)

"Yang penting bisa makan dan anak-anak tetap sekolah!" 


Ini jawaban diplomatis yang akan didengar bila ada yang bertanya jumlah pendapatan dari hasil berjualan. Faktanya, dari keempat anaknya, 2 sudah sarjana. Dan masih berhutang 2 lagi, yang saat ini masih kuliah.


"Rezeki sudah ada yang ngatur!"


Lagi. Itu jawaban pasti! Ketika ada yang memuji, dengan usaha seperti itu, anak-anak semua sekolah tinggi. 


Hujan di pagi hari, adalah "musuh" pasangan ini. Sebab, pembeli akan sepi. Dagangan akan bersisa banyak. Nah, kalimat pembuka artikel ini, adalah rumus itu. Mereka tak pernah berjanji dengan pembeli. Apalagi berdagang makanan. Tak setiap hari selera pembeli sama, kan?

Gorengan Bakwan di Warung "Makwo Ita" (dokumentasi Pribadi zaldychan)
Gorengan Bakwan di Warung "Makwo Ita" (dokumentasi Pribadi zaldychan)


Setidaknya, ada 5 konsep yang dipegang teguh Pakwo dan Makwo hingga hari ini.


1. Pelayanan pada pelanggan.

Makwo dan Pakwo adalah pribadi yang ramah, ceria dan suka bercerita. Jadi, pelanggan merasa betah dan dilayani.


2. Jumlah dagangan selalu sama. 

Tak menggunakan rumus "aji mumpung". Ramai atau sepi, jumlah dagangan tak akan ditambah. Semisal ketan setiap hari 4 liter, maka akan terus 4 liter. Begitu juga lontong dan lain-lain.


3. Empati dan simpati.

Acapkali ada pembeli yang datang dan tak cukup uang. Porsi makanan, tetap diberikan sama. Tak akan dikurangi jumlah atau takarannya. Bahkan ada yang utang tanpa pernah lagi datang. 


4. Dagangan tak boleh tersisa.

Laris atau tidak. Dagangan tak boleh bersisa. Jika ada yang tak terjual dan jika disimpan esok akan rusak. Maka. Dagangan itu akan dibagikan. Biasanya, diberikan ke pangkalan ojek, jamaah masjid atau orang yang lalu lalang.


5. Mematikan uang.

Karena pelanggan tetap. Aku jadi sedikit banyak tahu cara dan pola pengelolaan keuangan pasangan itu. Setiap hari, ramai atau sepi pembeli, harus ada sejumlah uang yang "dimatikan". Khusus untuk sewa rumah dan biaya sekolah.


Satu hal yang kukira kehebatan dari Pakwo dan Makwo. Dan, jarang dilakukan kebanyakan pedagang. Setiap bulan Ramadan, satu bulan penuh. Warung akan ditutup! Alasannya?


"Hidup tak hanya urusan cari uang, kan?"


Begitulah! Mereka berdua pejuang! Tapi, tak hanya untuk kehidupan duniawi semata.


Curup, 09.02.2021

zaldychan

[Ditulis untuk SKB]

Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "5 Rumus Niaga A la Warkop "Makwo Ita""

DomaiNesia