Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Bude, Pasar Maling dan Kopi di Batas Senja

Bude, Pemilik Kedai Kopi /Dokpri

BATAM, Bude Suwati (70) pemilik kedai kopi di deretan pedagang barang bekas di pasar second. Lokasi di perbatasan Sei Jodoh dan Nagoya.

Bukan pasar second sebenarnya, letaknya tidak jauh dari lokasi pasar second-Batam. Warga sekitar, ada yang menyebut pasar maling atau pasar loak. 

Kondisi pasar kerap misbar, "gerimis bubar." Pedagang, biasanya berteduh di kios-kios semi permanen beratap seng dan menutup dagangan dengan terpal. Di antara kios-kios tersebut, terdapat warung kopi milik Bude. 

Bude, sudah ada di sana sejak akhir tahun 90-an. Kiprahnya sebagai pedagang kopi, di geluti beliau untuk bertahan hidup di Batam.

Batam, kota satelit Singapore dan Malaysia. Mendengar nama Malaysia, tentu tak asing dengan istilah TKW (akronim: Tenaga Kerja Wanita). 

Bude berasal dari kecamatan Asem Bagus, Situbondo - Jawa Timur. Merupakan mantan TKW di Malaysia. Tertipu calo tenaga kerja, dan terdampar di Batam.

"Bude, kapan terakhir kali pulang ke Jawa?"

"Dua puluh tahun lalu, sepertinya," jawab Bude.

Selain panggilan Bude, tidak ada yang tertinggal dari identitasnya sebagai orang Jawa. Logat atau cara bertutur, lebih mirip orang Medan. Ya, karena sehari-hari bergaul dengan pendatang dari Medan.

Berjualan kopi, rokok dan mie instan, beliau dapat meraup keuntungan di atas 500,000 rupiah perhari. Namun setelah pandemi melanda, keuntungan merosot tajam. 

Terlebih, kasbon atau catatan hutang ikut macet. Minim pembeli di pasar maling, turut menjadi penyebab. Pelancong asal Malaysia dan Singapore, turun drastis.

Maklum, pasar ini laris karena menjual barang bekas eks Singapore dan Malaysia. Mulai dari barang antik, elektronik, peralatan rumah tangga dan perkakas tukang. 

Namun asal muasal barang, bisa dari mana saja. Berhembus selentingan, "jika mencari barang yang hilang dicuri, dapat berkunjung ke pasar ini untuk menemukan kembali."

Pelanggan Bude adalah pedagang pasar, sedikit banyak penghasilan Bude tergantung dari keuntungan pedagang dan gairah jajan mereka.

Namun bukan Bude namanya, jika harus mengakui kesulitan hidup. Bahkan, Bude mengaku jika keuntungannya berdagang tak jauh berkurang. 

Awalnya beliau mengaku, masih beromset 500,000 perhari. Dan, catatan kasbon selalu dibayar tak lama. Padahal tiap turun hujan, kedai kopi tutup. Pembeli sepi dan pedagang di pasar, mulai membawa kopi dari rumah.

Kompor, tabung gas, gula, kopi dan mie instan, acap kali di maling orang. Catatan kasbon raib dan tidak tersusun rapi. Namun, hal itu tak menghalangi semangat untuk tetap berusaha. 

Pada awal berdiri kedai, beliau sempat berjualan nasi. Namun, harus selesai karena kerugian akibat kehilangan barang dan kasbon macet. Terlebih, beliau hidup sebatang kara dan sudah berusia lanjut.

Saat ini, beliau hanya berjualan kopi, mie instan dan rokok murah. Jika kita biasa mendengar rokok A-Mild, produk Sampoerna yang dijual dengan harga Rp 24,000. 

Maka di kedai kopi Bude, terdapat rokok merk H-Mild (dibaca: Hamil) yang dijual seharga Rp 10,000. Ada juga rokok merk Luffman (dibaca: Lukman) seharga Rp 8,000. 

Pembeli biasanya berkata, "ada Hamil sama Lukman, Bude."

Awalnya saya percaya, omset sejumlah itu benar adanya. Meskipun profit yang didapat, jauh panggang dari api.

Namun, ternyata Bude merupakan figur yang pantang menerima belas kasihan. Hal ini, terlontar dari pedagang barang bekas di sekitar kedai. 

Mereka sering melihat beliau menangis, saat kehilangan kompor dan tabung gas di kedai. Tak jarang mereka meminjamkan kompor dan tabung gas, agar Bude tetap berjualan. Proses pembayaran, bisa dicicil atau potong kasbon.

Apakah Bude pernah mendapatkan bantuan pemerintah? pernah.

Bude mendapatkan bantuan paket beras, dua bulan lalu dari kelurahan. Kemudian, pernah mendapatkan bantuan Rp 500,000 tiga bulan lalu dari dinas sosial melalui RT. Namun, saat ini tak terdengar kabarnya lagi.

Hal itupun, berkat usaha dari pemilik kontrakan yang dihuni oleh Bude. Mungkin, untuk meringankan biaya sewa. Namun yang pasti, Bude dikelilingi oleh orang-orang baik. 

Mari berhitung, berapa omset Bude sebenarnya. 

Kopi + susu/ sirup             Rp 4,000

Mie instan                           Rp 9,000

Rokok variatif/ rata-rata    Rp 15,000

---

Pembeli kopi rata-rata perhari 10 orang

Pembeli mie instan rata-rata perhari 5 orang

Pembeli rokok rata-rata perhari 7 orang

---

4,000 x 10 = Rp  40,000

9,000 x 5   = Rp   45,000

15,000 x 7 = Rp 105,000

Total              Rp 190,000 

Dengan catatan, dibayar cash.

Namun pada prakteknya, pembeli rokok dan kopi mencatat kasbon atau main ambil saja. Bahkan, ada yang tidak pernah terlihat lagi berhari-hari sampai Bude lupa.

Seringkali, di sore hari menjelang tutup. Bude, bahkan tidak bisa melayani uang kembalian pecahan Rp 100,000. 

Hasil penjualan dalam toples, tersisa satu lembar Rp 100,000 dan receh tak sampai Rp. 60,000. Untuk harga kopi Rp 4,000 tentu saya harus membayar dengan uang pas. 

Namun, lagi-lagi Bude membuat saya terhenyak. Uang Rp. 100,000 diberikan kembali dan berkata, "sudah ambil saja."

Kesimpulannya, omset riil perhari tak sampai Rp. 175,000. Harapan hanya bertumpu pada kasbon yang dibayar bulanan, dua bulanan atau "jika ingat." 

Saya bertanya, "Bude, memang berapa banyak, kasbon yang dibayar sebulan sekali."

"Besar, bisa 900 sampai 1 juta," jawab beliau.

Logikanya, jika Rp. 1,000,000 dibagi 30 hari. Maka, perhari beliau di kasbon tak lebih dari Rp 34,000 perhari. Setara dua gelas kopi dan 1 bungkus rokok A-Mild. 

Akhirnya, bisa masuk ketentuan lomba.

Namun, kisah ini tetap akan saya ceritakan pada anak cucu. Betapa, semangat juang dalam bertahan hidup dan berbuat baik begitu berharga.

Semangat Bude di masa senja dan sebatang kara, menjadi inspirasi untuk saya. Kesulitan hidup bukan untuk diratapi atau diumbar. Namun, di syukuri dan diperjuangkan. Tak ada yang dapat membantu kita selain diri kita sendiri, di zaman yang serba terburu-buru seperti saat ini.

**

Catatan:

Artikel ini terbit atas persetujuan Bude.

Indra R / Batam, 7/2/21 

Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "Bude, Pasar Maling dan Kopi di Batas Senja"

DomaiNesia