Dibalik Kisah Warung Kopi Dalam Even Lingkaran Kebaikan
Sumber foto : https://unsplash.com/@kathhh
Memperingati hari kelahiran bagi saya merupakan momentum untuk mensyukuri segala berkah yang telah dilimpakan olehNya dalam hidup ini.. Memberi perhatian kepada mereka para pedagang kecil merupakan salah satu bentuk rasa bersyukur tersebut.
Warisan berharga yang saya peroleh dari almarhum Daddy saya adalah sebuah wejangan tentang lingkaran kebaikan yang titik awalnya berasal dari diri kita dan Insya Allah akan kembali kepada kita sendiri juga nantinya.
Saya ingin berbagi warisan berharga ini kepada segenap warga Secangkir Kopi Bersama, agar lingkaran kebaikan akan tetap terus bergulir sepanjang masa.
Even Lingkaran Kebaikan kali ini berupa kisah tentang warung kopi. Mungkin banyak yang bertanya-tanya mengapa harus cerita tentang warung kopi? Apakah karena blog ini bernama Secangkir Kopi Bersama?
Bagi yang berpikir demikian, memang tidak ada salahnya. Namun sebetulnya even ini termotivasi oleh sebuah peristiwa kebaikan yang pernah saya alami di masa kecil dulu.
Seorang janda beranak satu yang bermukim di lingkungan tempat saya tinggal, akrab dengan sapaan Mpok Ani itu bertandang ke rumah di satu sore untuk menemui Daddy saya.
“Pak, boleh gak numpang tanah dikit buat buka warung kopi? Saya pengen nyari duit buat ngempanin anak saya, kerja kantoran atau di pabrik gak bakal diterima, saya kaga punya keahlian. Tapi kalau cuma bikin kopi mah, bisa dah saya!” Mpok Ani memohon dengan logat Betawi pinggirannya yang kental.
“Ya silahkan aja, sepanjang tidak menghalangi orang yang lalu lalang ya” Daddy langsung mengiyakan tanpa berpikir panjang.
Sementara saya yang saat itu masih duduk di bangku sekolah Menengah Pertama ‘menguping’ percakapan tersebut bersama Ibu dari dalam kamar tidur, begitu kaget dengan keputusan Daddy. Secara seminggu sebelum Mpok Ani bertandang ke rumah, ada seorang laki-laki yang ingin menyewa tanah untuk membuka bengkel mobil dan Daddy menolaknya mentah-mentah.
Sungguh saya tidak habis pikir, mengapa beliau lebih memilih membiarkan tanahnya digunakan secara cuma-cuma oleh Mpok Ani ketimbang menyewakannya kepada calon pemilik bengkel mobil. Padahal kalau dipikir-pikir uang hasil sewaan bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari atau keperluan keenam anaknya yang masih bersekolah.
Ibu pernah menanyakan hal ini kepadanya, namun beliau hanya menanggapinya dengan singkat, “Rezeki tidak akan tertukar, nanti kita akan dapat rezeki dari tempat lain!”
Warung mpok Ani hanya bermodalkan meja dan kursi panjang di bawah pohon rindang. Bertahun-tahun dia berjualan kopi di situ, setidaknya hasil berjualan kopi dapat mencukupi biaya hidup sehari-hari dan menyekolahkan anak semata wayangnya dari SD hingga SMA.
Dua puluh tujuh February mendatang, genap 16 tahun kepergian Daddy. Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk mengerti akan keputusan yang beliau buat sore itu.
Keputusan yang sebetulnya adalah sebagai ungkapan rasa syukur akan segala rezeki yang telah beliau nikmati dalam hidupnya, sekaligus tanpa saya sadari ternyata sore itu beliau sedang menggulirkan lingkaran kebaikan.
Terima kasih tak terhingga kepada teman-teman SKB yang telah memeriahkan hari ulang tahun saya dengan penuh semangat, membuka pintu hati untuk memperhatikan para pedagang kopi di lingkungan sekitar dan meluangkan waktunya untuk berbagi kisah mereka di sini.
Dengan segala kerendahan hati, mohon kiranya sampaikan salam saya untuk para pejuang warung kopi yang dengan suka rela telah berbagi kisah di sini. Semoga kisah-kisah inspiratif mereka menjadikan kita untuk tetap bersyukur dan selalu bersemangat dalam menjalani cobaan hidup.
Salam.
Widz Stoops, PC-USA, 8 February 2021.
Posting Komentar untuk "Dibalik Kisah Warung Kopi Dalam Even Lingkaran Kebaikan "