Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Pahitnya Secangkir Kopi Tak Sepahit Menghadapi Kehidupan

 


Hidup bukan hal yang mudah bagi yang serba kekurangan,  walau berjuta motivasi dijejalkan,  karena yang bisa merasakan secara hakiki adalah orang yang mengalami sendiri.

Ada yang harus bekerja keras ada yang bagai simsalabim,  tinggal bagaimana mencari cara untuk bisa menjalani, dan bagaimana menikmati walau pahit. Ya,  pahitnya secangkir kopi tak sepahit kehidupan yang mereka alami.

Saya hanya akan bercerita tentang pasangan suami istri yang mempunyai dua anak laki-laki,  merantau ke kota M demi mengais rezeki. Mereka mengontrak rumah dan menjadi tetangga saya.

Singkat cerita pasutri itu berusaha bertahan di kota M,  dan membuka usaha warung kopi dengan menu lainnya pada sebuah pos ronda dekat tempat tinggal kami.

Tak banyak pelanggannya, hanya orang-orang sekitar yang ingin mengobrol, para sales yang ingin melepas sejenak kepenatan juga petani yang sekedar ingin ngopi di sela waktu kerjanya, karena warkop pos kamling ini memang sangat berdekatan dengan sawah.  Ya bisa dibilang warkop mewah alias mepet sawah.

Segelas atau secangkir kopi hanya 3000 rupiah saja, tidak tetlalu mahal bukan? Pengunjung juga bisa menikmati gorengan atau menu lainnya.

Beberapa tahun kemudian keluarga kecil itu kehilangan tulang punggung. Syukur pada Tuhan anak pertamanya sangat pengertian, dia bekerja sambil meneruskan mencari ilmu di sebuah perguruan tinggi swasta yang hanya tinggal beberapa langkah lagi.

Tuhan masih memberkati sampai saat ini mereka mendapat kontrakan rumah dengan harga yang bersahabat di sekitar tempat tinggal saya. Bila bukan karena pertolonganNya harga murah tak akan di dapat. Untungnya pos kamling yang digunakan untuk usaha warungnya gratis,  tidak ditarik biaya oleh pengurus warga.

Tapi sepertinya keadaan atau waktu berkata lain dari harapan, semua manusia menyadari hidup yang sudah terlanjur diberikan harus tetap dijalani. Si Ibu tetap melanjutkan usaha warung kopinya, hingga pandemi menyapa. Pengunjung warung kopi yang tidak begitu banyak semakin sepi. Berapa minggu lalu saya lihat saat melewati warung kopi terlihat tutup, pikiran saya berkata mungkin masih libur. Kemarin saya lihat lagi masih tutup juga. Akhirnya saya beranikan diri untuk menyapa melalui obrolan singkat di WA.

+ Bu,  kok tidak kelihatan berjualan?

- Sudah tidak lagi,  Bu.

+ Apa sekarang kerja di tempat lain?

- Tidak,  saya jualan nasi bungkus lima ribuan.

Ternyata warung kopinya tidak bisa bertahan lama lagi, mungkin sudah mulai sepi pengunjung atau ada hal lain yang tidak saya ketahui. Saya ikut prihatin karena pengjasilan untuk keluarganya hanya dari usaha warung kopi itu. Dan kabar yang saya dapat langsung dari beliau bahwa saat ini beralih membuka usaha menjual nasi bungkus lima ribuan di  dekat patung pesawat. Berjualan dari jam 09.00 pagi hingga sekitar jam 10.00 atau sampai nasi bungkus habis.

Si ibu memang pendiam dan tidak banyak mengeluh, bersyukur mendapat amanah anak-anak yang patuh dan pengertian yang bisa membantunya untuk mendapatkan penghasilan dalam menjalani kehidupan, menggantikan Bapaknya.

Memang membuka usaha apa pun untuk saat ini apa lagi sebuah warung kopi membutuhkan perjuangan, berpikir keras bagaimana mencari pelanggan atau pengunjung yang setia. Belum lagi harus bersaing dengan warung kopi milenia yang menjamur. Apalagi dalam situasi pandemi seperti saat ini. Bila tidak bisa bertahan maka banting setir pun dilakoni agar tungku di rumah tetap mengepul, biaya sekolah dan kontrakan terbayar.

"Bu,  apa nasi bungkusnya masih sisa,  kalau ada saya beli dua ya. Nanti biar anak saya yang ambil."

"Ya, bu masih ada."

Semoga pandemi segera berlalu dan beliau bisa membuka warung kopinya lagi.


Malang,  08022021
Swarna
______________________________

Kado untuk mbak Widz, semoga sehat selalu.




Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "Pahitnya Secangkir Kopi Tak Sepahit Menghadapi Kehidupan"

DomaiNesia