Sepenggal Kisah Kopi Pinggir Sawah
warung kopi dan sayuran milik buk mur |
Sejak membaca post dari SKB tentang sepenggal kisah warung kopi jadi teringat warung pinggir sawah yang kadang saya singgahi jika kebetulan lewat. Sudah sendari pagi mau menemui buk Mur pemilik warung kopi pinggir sawah tak seberapa jauh dari rumah. Hanya saja tertahan dari aktifitas lain yang tak kunjung reda dari terhalang hujan, mengajar, tak ada motor, menjaga anak.
Hingga baru sempat kaki menjejak motor, itupun hari sudah menjelang sore. Basah jalan dengan air hujan menyisakan lembab dan becek di sana – sini. Bau segar air hujan bercampur sejuknya udara pedesaan menyusup hidung menciptakan terapi rasa yang tak bisa diurai kata.
Akhirnya sampai juga saya ditempat warung buk Mur. Warung kopi sederhana yang sudah lama berdiri dipinggir sawah dengan latar pemandangan area persawahan. Singkat ceritanya warung buk Mur ini sudah berpindah – pindah tempat sebanyak lima kali. Alasan utamanya memang warung tempatnya masih ngampung atau istilahnya numpang ditanah orang, kalo harus sewa kata beliau tidak cukup dengan operasionalnya, belum lagi hutang mingguan sebesar 20.000 setiap Senin, Selasa, Rabu dan hutang bulanan sebesar 200.000 selama setahun yang diambil pihak bank setiap hari Senin sebesar 50.000 yang harus dibayar sebagai pinjaman modal membangun warung, dan warung yang saya singgahi hari ini merupakan tempatnya yang ke 5.
Warung yang berukuran 2 m x 10 m ini berdiri diatas tanah pengairan sawah. Sudah lebih dari 20 tahun Buk Mur mengeluti usaha warung pinggir sawah. meski harus bongkar pasang berpindah tempat.
Meski usia buk Mur sudah kepala 6 tapi beliau tampak lebih muda dari usianya menurut saya.
sepeda kusam pak bambang |
Warung pinggir sawah ini dikelola bersama suaminya yang lama tidak bekerja, sudah hampir 10 tahun suaminya tak lagi bekerja sebagai buruh gudang tembakau karena memang sudah tua. Buk Mur dan pak Bambang mempunyai 3 orang anak perempuan yang satu tinggal lumayan jauh dari rumah Buk Mur dan 2 orang lainnya tinggal tak jauh dari rumah buk Mur, sedang ketiga mantu Buk Mur bekerja sebagai buruh bangunan. Keseharian suami buk Mur membantu menjaga warung, menggulak sayur dari pasar, setelah sholat subuh, suami buk Mur berangkat kepasar dengan menggayuh sepeda mini warna merah yang sudah kusam sejauh 4 km, untuk belanja kebutuhan warung demi memperoleh harga murah untuk dijual kembali.
suasana dalam warung buk mur |
Warung kopi ini selain menjual kopi, juga menjual gorengan, nasi pecel dan aneka minuman sachet untuk menjaga eksistensinya agar tetap berdiri dan berpenghasilan, buk Mur menambahkan dengan menjual sayuan sekedarnya yang dijual dengan harga murah.
Kata beliau waktu saya ajak ngobrol , “Kalo hanya menjual kopi saja tidak cukup untuk dimakan tutur beliau dengan accent bahasa Madura yang kental. Memang sih paham saya dengan penjelasan beliau walaupun saya sendiri tidak begitu fasih berbahasa Madura. Jadi selain menjual kopi, nasi pecel dan gorengan buk Mur ini juga menjual sayuran dan bumbu dapur sederhana, kalo misalnya sayuran yang dijual tidak laku, buk Mur ini akan mengolah nya menjadi sayuran yang bisa menjadi pelengkap nasi pecel diwarungnya. Harga jual sayur di warung buk Mur tergolong relative murah karena target pasar buk Mur memang menengah kebawah. Tak bisa beliau mengambil untung terlalu banyak rata – rata sayur yang dijualnya mengambil untung Rp.500,- . Jadi semisal harga kulaknya Rp.2000,- maka beliau menjualnya Rp 2500,-. Harga secangkir kopi Rp.2000,- . Untuk nasi pecel dibandrol harga Rp. 6000,- sepiring. Tapi jika semisal ada pembeli yang memesan dengan harga Rp. 5000,- tetap saja buk Mur akan melayani dengan senang hati. Untuk harga gorengan ada pisang goreng, ote – ote , tahu isi, telo perbiji dijual seharga Rp. 500,- .
sayuran jualan buk mur |
Kebanyakan pelanggan buk Mur para buruh sawah dan juga pedagang kecil yang lewat dijalan desa. Sempat juga ikut nimbrung kepo dengan pelanggan buk Mur yang menarik perhatian saya, waktu saya ada diwarung beliau. Seorang pak tua penjual sapu lidi dengan sepeda tuanya. Tutur beliau “warung buk Mur ini murah cocok buat saya yang berpenghasilan hanya Rp 30rb saja. Itu pun tidak setiap hari betapa kaget saya dengan penjelasan pak tua penjual sapu lidi, selidik pun mulai mengelitik, ternyata pak Tua pelanggan buk Mur harus mengayuh sepedanya sepanjang 10 km dari Ajung ke Kalisat untuk menggulak sapu lidi dengan harga murah, pak Tua ini berangkat pagi lepas subuh tanpa makan hanya berbekal air baru makan saat sore diwarung buk Mur, sapu lidi jualannya dijual lagi didaerah Ajung dan cerita pak Tua penjual sapu lidi di iyakan buk Mur. Bahkan kata buk Mur kalo pak Tua tidak dapat uang, buk Mur tidak membolehkan beliau membayar. Tak jarang juga kata buk Mur pak tua ditipu, dibeli dagangan sapunya dengan uang palsu. Aduh ya Allah kok tega melakukan hal ini ke pak Tua penjual sapu lidi.
Even menulis yang digagas mbak Widz Stoops dan pak Warkasa ini sangat luar biasa membuka mata saya dengan kejadian tak terduga,tentu saja membuat saya semakin mensyukuri sekecil apapun nikmat yang Tuhan berikan.
Usia buk Mur dan pak Bambang yang tak lagi muda tak menyurutkan semangat beliau mencari rejeki dengan warung kopi sederhananya. Meskipun belakangan ini Buk Mur sering sakit – sakitan, untuk sementara waktu warung sederhana ini dikelola anak bungsunya.
Warungpun nampak tak seperti biasanya sejak Buk Mur sakit belakangan ini.
Sepertinya pelanggan buk Mur lebih suka dilayani beliau terkadang memang warung bisa sepi kala berpindah tangan. Semoga lekas sembuh buk Mur.
Posting Komentar untuk "Sepenggal Kisah Kopi Pinggir Sawah "