Ilunga, Toleransi Luka, dan Maaf Lahir Batin
Dokumen Olah Pribadi |
Ramadan yang kita rindukan sudah merentangkan tangan. Bulan kudus yang kita nanti-nantikan ini sudah berdiri di hadapan kita. Permintaan maaf berhamburan di ruang-ruang publik. Dari relung hati, dari dasar sanubari, kita memohon maaf lahir batin kepada semua orang.
Sejatinya memohon maaf tidak kenal bulan. Mau Rajab mau Muharam, kita mesti meminta maaf tiap kali melakukan kesalahan. Hanya saja, Ramadan adalah bulan suci yang berselimut berkah. Eloklah jikalau kita memasukinya dengan kondisi hati yang suci.
Meminta maaf bukanlah pekerjaan mudah. Terkadang diri kita dikepung ego keakuan sehingga sukar sekali meminta maaf. Itu sebabnya ucapan meminta maaf, baik lewat lisan maupun tulisan, sangat berfaedah bagi kesehatan batin kita.
Bukan hanya kesehatan mental, meminta maaf juga penting bagi kesehatan jasmani kita. Sekali meminta maaf, pening kepala bisa sirna. Begitu meminta maaf, beban risau di hati kontan raib. Tatkala meminta maaf, dada yang sempit dan sesak bisa berasa lapang dan lega.
Faedah meminta maaf memang terbilang banyak. Lewat artikel ringan ini saya agihkan tiga saja.
Pertama, memupus rasa malu. Tatkala melakukan kesalahan kepada orang lain, kita bisa dicecar rasa malu. Seusai melakukan kesalahan, kita kadang malu meminta maaf. Setelah kita meminta maaf, batu besar yang seolah-olah menindih dada hilang begitu saja. Rasa malu kelar.
Kedua, menjaga silaturahmi. Akibat melakukan kesalahan, tali silaturahmi bisa regang. Malahan, putus. Dengan meminta maaf, jalinan silaturahmi bisa kembali kita eratkan. Yang regang bisa kendor, yang renggang bisa rapat. Tali silaturahmi terjaga.
Ketiga, mencegah kesalahan serupa. Meminta maaf bukan sekadar mengumbar kerendahan hati. Dengan meminta maaf, sejatinya kita sedang memasang maklumat bagi diri sendiri. Semacam berkata pada diri sendiri agar tidak mengulangi kesalahan serupa.
Bagaimana dengan lontaran permintaan maaf menjelang bulan Ramadan? Takbisa kita mungkiri, meminta maaf menjelang bulan Ramadan seperti gerakan batin yang refleks. Kadang kesannya sebatas basa-basi. Tidak begitu. Meminta maaf sebaiknya kita lakukan dengan tulus.
Siapa yang tahu setulus apa hati kita ketika meminta maaf? Jangan songong, Kawan. Selain kita, ada yang tahu level ketulusan kita. Ingatlah, Tuhan Mahatahu. Yang tersembunyi dan yang terlihat semua tampak di hadapan-Nya.
Ciri-ciri permintaan maaf yang tulus terbilang banyak. Lewat artikel ringan ini saya agihkan tiga saja.
Pertama, tidak disertai kata “tetapi”. Maafkan aku, tetapi aku seperti ini karena kamu yang mulai. Jauhi kata “tetapi”. Satu kata itu bisa memantik amarah baru di hati orang yang kita sakiti, alih-alih memaafkan.
Kedua, tidak dilampiri hasrat mengakhiri tengkar. Meminta maaf tidak kita ajukan agar pertikaian segera kelar, agar pembicaraan segera selesai, agar kita bisa buru-buru pergi menyembunyikan rasa malu. Permintaan maaf kita ajukan karena kita memang merasa bersalah. Itu saja.
Ketiga, tidak diikuti harapan segera dimaafkan. Ketika seseorang terluka, entah karena kata entah karena sikap, butuh waktu untuk menyembuhkannya. Oleh sebab itu, jangan tambah luka hati dengan buru-buru dimaafkan. Lontarkan permintaan maaf seperti melepas anak panah.
Begitulah. Permintaan maaf yang kita agihkan kepada banyak orang menjelang bulan puasa mesti berasal dari dasar sanubari. Mesti tulus. Tidak dibikin-bikin, bukan pula sekadar basa-basi.
Andaikan kita rakyat Republik Demokratik Kongo, meminta maaf tidak bisa kita lakukan berkali-kali. Di sana, kita hanya punya dua kesempatan dimaafkan apabila melakukan kesalahan. Di sana, toleransi atas luka amat terbatas. Hanya ada kesempatan kedua, tidak ada kesempatan ketiga.
Dalam bahasa Tsiluba, bahasa yang digunakan oleh rakyat Kongo bagian barat daya, ada sebuah kata unik dan spesifik. Kata itu ialah ilunga. Maria Khodorkovsky mengudar makna kata tersebut lewat sebuah artikel di altalang.com. Kata yang amat menarik.
Bagi penutur bahasa Tsiluba, toleransi luka hanya berlaku dua kali. Permintaan maaf pertama bakal diterima, lalu diberi kesempatan andaikan menyakiti hati lagi, tetapi cukup dua kali. Jika masih menyakiti, tiada maaf lagi.
Jika kita masih dikarunia umur panjang, barangkali kita masih berkali-kali bersua dengan bulan suci Ramadan. Kita juga masih berkesempatan meminta maaf berkali-kali. Itu anugerah. Meski begitu, menyakiti hati cukup sekali saja. Kalau bisa, sekali pun jangan sampai terjadi. [kp]
Posting Komentar untuk "Ilunga, Toleransi Luka, dan Maaf Lahir Batin"