Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Mengenal Kelanoma, Nomofobia, dan Puasa Gawai

Dokumen Pribadi


Tahukah Anda puasa apa yang terasa berat kita jalani? Puasa gawai. Itu jawaban saya. Sepintas terlihat seperti kelakar belaka, padahal memang demikian adanya. Tanpa kita sadari, gawai sudah sangat menyita waktu kita.

Barangkali ada di antara kita yang mampu menepis godaan gawai, tetapi yang tergoda mungkin lebih banyak. Saban waktu bercengkerama dengan gawai. Berada di tengah keluarga malah asyik mengulik gawai. Bahkan, ada pembicara yang tengah mengisi acara justru sering melirik gawai.

Saya yakin, Alexander Graham Bell tidak pernah membayangkan bahwa telepon yang ia temukan kelak akan menimbulkan kecanduan. Demikian pula dengan Martin “Marty” Cooper yang didaulat sebagai penemu pertama telepon genggam seluler.

Kemajuan teknologi mungkin dapat ditengarai sebagai musabab kecanduan ponsel. Akan tetapi, bukan salah Bell dan Marty. Jika ada di antara kita yang kecanduan gawai, jelas kita sendiri pangkal soalnya. Tuak sudah ada sejak zaman purba, tetapi tidak semua orang menenggaknya hingga mabuk.

Jangankan bocah belia, kaum tua renta pun sudah banyak yang kecanduan gawai. Seakan-akan “riwayat hidup langsung memasuki halaman akhir” jika gawai jauh dari jangkauan. Bahkan, ada di antara kita yang lebih tabah menanggung lapar dibanding menahan syahwat mengulik gawai.

Tidak heran jika kemudian muncul banyak “penyakit” akibat kecanduan gawai. Mari kita sibak satu demi satu. Bukan demi memuaskan nafsu julid, melainkan untuk menakar seberapa candu kita terhadap gawai.

Pertama, kawanan pemabuk gawai. Para pemabuk gawai tidak pandang waktu. Mau tidur pegang gawai, mau berak pegang gawai, mau makan pegang gawai. Bahkan, ada orang yang sedang menyetir pun masih sibuk berhaha-hihi bersama gawai. Itu sebabnya disebut mabuk gawai.

Frasa “mabuk gawai” adalah padanan istilah “phone snubbing” dalam bahasa Inggris. Dua kata dalam bahasa Inggris itu acap disingkat “phubbing”. Jika kamu abai atau cuai kepada lawan bicara atau lingkungan sekitar karena sibuk mengintimi gawai, berarti kamu tengah mabuk gawai.

Kedua, gerombolan zombi ponsel. Itu umat kedua dari orang-orang yang kecanduan gawai. Ciri-ciri mereka mudah dikenali. Selagi berjalan mereka malah sibuk dengan gawai. Mereka bisa pula dinamai “suku kepala tertunduk”.

Frasa “zombi ponsel” merupakan padanan istilah “smartphone zombie” dalam bahasa Inggris. Dua kata dalam bahasa Inggris itu kerap disingkat “smombie”. Jika kamu sedang berjalan dengan kepala tertunduk menatap layar gawai tanpa peduli keadaan sekitar, kamulah zombi ponsel.

Ketiga, pasukan klan jempol. Itulah golongan ketiga dari kaum yang kecanduan gawai. Kita bisa temukan anggota klan jempol dengan mudah. Di sekitar kita banyak. Orang Jawa bilang, buanyak. Klan ini dinamai oyayubizoku dalam bahasa Jepang.

Umat oyayubizoku alias klan jempol adalah insan yang lebih lancar mengirim pesan di ponsel daripada berbicara. Saking parahnya, boleh jadi ada suami-istri di atas satu ranjang yang rebahan bertolak punggung sambil bertukar pesan “aku belum mengantuk” atau “kita tidur, ya”.

Itulah tiga “penyakit” yang rentan muncul akibat kecanduan gawai. Penyakit batin. Penyakit hati. Masalahnya, ada virus yang menyebarkan candu itu dengan tangkas dan lincah. Virus kelanoma namanya. Virus itu bekerja seperti kantuk, hanya kita lihat sekilat dan tanpa sadar sudah tertular.

Kelanoma adalah 'dorongan kuat untuk mengambil ponsel tiap kali melihat orang lain mengambil atau meraih ponsel'. Saking kuatnya, kita bisa tersihir meraih ponsel sekalipun tiada pesan apa-apa yang muncul di layar.

Tiga “penyakit” dan satu “virus” itu lama-lama merasuki tubuh. Mereka bekerja sama merusak aktivitas sehari-hari. Termasuk ibadah. Tidak heran jika pengumuman untuk mematikan ponsel kerap kita temui di tempat-tempat ibadat.  

Istilah medis pun tercipta gara-gara kecanduan gawai dan kelanoma. Kolaborasi phubbing, smombie, oyayubizoku, dan kelanoma menghadirkan nomofobia. Kata nomofobia merupakan padanan dari istilah nomophobia (no-mobilephone phobia).

Nomofobia adalah 'gangguan kecemasan berlebihan akibat tidak membawa, memegang, atau menggunakan ponsel'. Ada orang yang masih meneruskan perjalanan ketika dompet ketinggalan, tetapi lekas-lekas kembali ke rumah jika gawainya tertinggal. Ada juga orang yang merasa “tamat hidupnya” hanya gara-gara kehilangan ponsel. Aduhai!

Tidak heran jikalau sebagian besar manusia berat melakukan puasa gawai. Tidak peduli mata mulai letih, gawai terus saja ditekuri. Tidak peduli sedang berbicara dengan seseorang, gawai tetap saja disapa. Tidak peduli orang lain kesal, gawai masih juga dipelototi.

Kehadiran aplikasi berjejaring dan perpesanan menambah-nambah berat puasa gawai itu. Media sosial, misalnya, menjadi tongkrongan yang berat ditinggalkan. Jikalau medsos dipakai sebagai media berbagi kebaikan tidaklah mengapa.

Ini tidak. Ada di antara kita yang memakai medsos untuk menyebar kabar bohong, mengumpat seenak udel, mengumbar aib orang, hingga “melahap bangkai sesama” di media sosial. 

Makdarit, mampukah kita menjalankan ibadah puasa gawai? [kp]

Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "Mengenal Kelanoma, Nomofobia, dan Puasa Gawai"

DomaiNesia