Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

"Abat Nauli", Pola Pikir Positif Orang Batak Toba

Suasana onan di Tanah Batak pada masa kolonial (Foto: Koleksi Tropenmuseum)

 

Dulu, ya, dulu sekali, di era pra-telepon, komunikasi antarkampung dan antar kota orang Batak Toba mengandalkan jasa titipan pesan dan surat. Betul-betul titipan, informal, berdasar rasa saling-percaya.

Titipan pesan bisa dengan tiga cara. Pertama, lewat kedai kopi. Kedai kopi itu tempat pertemuan lelaki dari beberapa kampung bertetangga. Poltak dari Kampung Panatapan, misalnya, titip pesan kepada Polin dari Kampung Sorlatong, untuk disampaikan kepada kerabat Poltak yang tinggal di Sorlatong. 

Kedua, lewat gereja. Gereja itu tempat bertemu umat dari berbagai kampung berdekatan. Poltak menitip pesan kepada Polin, untuk dismpaikan kepada kerabat Poltak yang tinggal di Lumbansuhi, tetangga Kampung Sorlatong. 

Ketiga, lewat onan, pekan mingguan. Poltak misalnya pergi ke Onan Tigaraja, Parapat pada hari Sabtu. Di situ dia mencari kapal danau yang datang dari Desa Sigapiton, tepian Danau Toba. Lalu kepada seorang penumpang kapal dia menitip pesan untuk nanti diteruskan kepada kerabatnya yang tinggal di Sigapiton. 

Sementara titipan surat lazimnya dilakukan dengan perantaraan supir bus. Misalnya, Poltak punya kerabat di Tanjungmorawa, Sumatera Timur. Lalu dia titip surat kepada supir bus jurusan Toba-Medan, untuk dijatuhkan di satu kedai di Tanjungmorawa. Lazimnya dengan memberi sekadar uang rokok atau kopi. Nanti surat itu akan disampaikan orang-orang di kedai tersebut ke alamat tujuan. 

Apakah pesan dijamin sampai ke tujuan dengan cara seperti itu. Pasti, ya, pasti sampai. Seorang Batak Toba sangat menghargai amanah. Orang sekampung akan mencelanya jika titipan pesan tak disampaikan. 

Masalahnya pesan itu, setelah disampaikan kepada orang yang dituju, lazimnya tidak sempat dibalas. Alasannya karena keterbatasan waktu. 

Jadi, jika pesan Poltak misalnya adalah undangan untuk sebuah acara adat, maka dia tidak akan mendapat penegasan apakah kerabatnya bisa datang atau tidak. Poltak hanya berasumsi, bahwa kerabatnya sudah terima pesan dan pasti datang. 

Jika dalam satu kasus ternyata kerabat yang diundang Poltak, lewat jasa titip pesan atau surat, itu tak datang, apakah dia akan marah atau mencela kerabatnya itu. Tidak, itu pantang. 

Poltak akan berpikir positif dengan mengatakan, "Sai anggiat ma abat na uli na masa hu nasida." Artinya, "Mudah-mudahan halangan baik yang menghambat kedatangan mereka." Dalam bahasa Batak Toba, abat berarti "hambatan, halangan", na berati "yang", uli berarti "baik, indah, berkah". 

Contoh abat na uli adalah kelahiran anak. Kelahiran anak adalah karunia besar. Itu bisa dimaklumi sebagai alasan bagi seseorang untuk tidak datang ke acara orang yang mengundangnya. 

Abat na uli itu sejatinya bermakna doa. Agar kerabat yang berhalangan datang itu senantiasa dalam lindungan Tuhan. Tidak kurang suatu apa pun. Itulah contoh pola pikir positif orang Batak Toba. 

Dengan cara pikir itu Poltak, sebagai contoh, menghindar dari laku "kelewat-pikir" (overthinking). Sesuatu yang mesti dihindari, memang.  Sebab laku kelewat-mikir bisa mengganggu kesehatan pikiran dan perasaan. 

Siapa tahu kerabat Poltak tadi berhalangan datang karena mengalami musibah kecelakaan, bukan karena abat nauli. Setidaknya Poltak bisa terhindar dari perasaan bersalah.  Sebab dia tidak pernah berpikiran buruk tentang kerabatnya itu. 

Sekarang, di era telepon seluler, situasi komunikasi sosial telah berubah. Cara pikir positif tadi mungkin tak berlaku lagi. 

Undangan kini bisa lewat telepon dan jawaban langsung bisa diketahui. Kalau tidak datang, langsung bisa ditanyakan alasannya. Jika alasannya tak masuk akal, maka bisa langsung dimarahi. Begitulah! (efte)

Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk ""Abat Nauli", Pola Pikir Positif Orang Batak Toba"

DomaiNesia