Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Wanginya Namaku Berawal dari Masjid Agung Inderapura

Masjid Agung Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi (Ilustrasi Wanginya  Namaku  Berawal dari Masjid Agung Inderapura. Sumber Foto:wikiwand.com)

Musabaqah Tilawatil Quraan (MTQ) merupakan agenda tahunan pada setiap Masjid di kampungku. Masyarakat setempat menyebutnya “batandiang kaji”  (bertanding ngaji). Tradisi ini dilaksana setiap bulan puasa,  sejak zaman nenek moyang sampai sekarang.

Semasa kecil hingga remaja (era 60-an), aku pernah tercatat sebagai salah satu juaranya 3 tahun berturut-turut. Dalam kurun dua Ramadhan menang sampai di dua  dan tiga  masjid. Cuma sebatas pemenang 2 dan 3 saja, tetapi  belum pernah kalah.

Tahun ke tiga aku berhasil meraih juara 1, di Masjid Agung Inderpura, Kecamatan Pancung Soal, Pesisir Selatan. Setelah itu tak diperkenan ikutan lagi. Kecuali ke level lebih tinggi.

Hadiahnya bervariasi. Mulai bahan dasar baju, sarung, sampai benda lucu bin aneh versi zaman now. Yaitu sepasang induk/bapak ayam, seekor kambing betina, dan terkhir juara satu 1,25 gram cincin emas.

Gadis pemilik tubuh kerempeng, kulit hitam, rambut tipis, dan wajah sekadar memenuhi syarat ini mendadak  terkenal sampai ke pelosok negeri.

Sebelumnya aku sering menerima cibiran karena kondisiku yang serba terbatas. Mulai fisik yang tidak mujur, sampai sosial ekonomi orang tua yang kurang beruntung. Aku GR akut. Namanya anak kampung bin kampungan, baru mulai remaja.

Gara-gara memenangkan MTQ ini pula, diam-diam seorang pemuda mengincar namaku. Suatu hari orang tua dia mengutuskan pamannya untuk menjajaki. Katanya kriteria calon istri idaman sudah  melekat pada diriku. He he ....

Hatiku berbunga-bunga. Sang pemuda bukan orang sembarangan. Dia berpendidikan, PNS, ganteng, agamais pula.

Emak dan Bapak pun senang tiada terkira. Sering beliau senyum-senyum sendirian. “Alhamdulillah. Akhirnya kau bakalan berjodoh juga. Maunya Emak kalian langsung  nikah, tak perlu bertunangan,” kata Emak berapi-api.

“Nunggu apa lagi. Orang seumuranmu sudah banyak yang punya anak. Soal sekolah tak usah dipikirkan. Untuk apa anak perempuan sekolah tinggi. Akhirnya ke dapur jua,” tambah wanita 30 tahun itu.

Aku mengamini, sekalian menutup mulut si jutek yang telah menvonisku “gadis tak laku”. Maklum, semasa itu anak perempuan 15 tahun belum pernah dilamar,  dicap gadis tua. Akulah satu-satu orangnya di kampung itu.

Singkat cerita, tibalah saatnya doi minta melihat wajahku. Tak heran, zaman itu kebanyakan pernikahan anak bujang dan perawan kenalnya di tempat tidur malam pertama saja. Katanya biar tak terbeli kucing dalam karung. Tak perlu bertemu langsung. Cukup dari jauh saja.

Seminggu kemudian, tak disangka-sangka cowok ganteng itu berkirim kabar bahwa lamaran batal. Alasannya, “Oh, rupanya tak bisa dibawa  ke gelanggang.” Begitu Pak comblang jujur itu mengutip pesan.

Aku kecewa, Emak dan Bapak sedih. Tetapi aku sadar diri bahwa diriku memang jauh dari kata  cantik. Tidak pantas berjodoh dengannya.

Berkat kegagalan itu pula aku berkesempatan menyelesaikan pendidikan. Hingga kehidupanku sekarang jauh lebih baik daripada orang tuaku.  Dan tidak lebih buruk daripada dia si calon gagal itu.

Kini setengah abad lebih telah berlalu. Setiap Ramadhan tiba momen indah di  Masjid Agung itu hadir dalam ingatanku. Di sanalah dahulu aku mengukir prestasi. Dari sana pula namaku pernah masuk ke hati seseorang. Dan ketika itu pula nama ini dia buang.

****

Penulis,

Hj. NURSINI RAIS

di Kerinci, Jambi

 

Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "Wanginya Namaku Berawal dari Masjid Agung Inderapura"

DomaiNesia