Mangga Gadung
Pohon mangga sudah ada sejak aku mentas ke dunia. Boleh jadi ia sudah ada sebelum Ayahku menempati rumah dinas berhalaman luas itu.
Pokok pohonnya besar, lingkaran lengan orang dewasa tidak bakal dapat memeluknya. Dahan-dahannya juga besar, kuat sehingga siang-siang aku bisa tiduran di atas pohon mangga gadung.
Begitu nama yang diberikan oleh orang-orang.
Seperti mangga harum manis dari Probolinggo, buah matang terasa manis, meski tidak begitu harum. Ukurannya pun lebih besar. Bila sudah matang, kulit luarnya berwarna hijau gelap. Daging buahnya kuning kemerahan. Kalau masih muda, rasanya asam yang membuat ketagihan.
Pada saat musim berbuah, pohon mangga gadung itu tidak henti-hentinya berbuah. Sangat lebat. Pada dahan yang mengarah ke rumah, gerombolan buah diberongsong atau dibungkus dengan kertas berwarna cokelat, seperti kantong semen. Demikian agar dalam proses pematangan buah-buah itu tidak disambar kalong.
Selebihnya dibagikan kepada tetangga, dari yang sudah hampir matang sampai yang masih muda. Atau kalau ada yang mau, boleh ambil sendiri, asalkan minta izin sebelumnya.
Namun demikian, masih aja buah mangga bergelantungan. Seolah tiada pernah habis.
Sudah berbagai macam cara diterapkan untuk mengolah mangga muda.
Dirujak? Jangan tanya. Kadang dimakan dengan garam saja, terasa renyah saat dikunyah.
Ada yang dicocol kecap dengan irisan cabai rawit. Dijadikan manisan dengan cara: irisan tipis dicampur gula dan garam, lalu dikocok dalam wadah tertutup agar tercampur rata. Kemudian, bersama wadahnya disimpan di dalam kulkas, barang sehari. Kelak keluar cairan yang rasanya manis asam. Irisan mangga muda juga layu.
Kami sekeluarga puas menikmati hasil dari pohon mangga gadung. Demikian pula dengan para tetangga yang berkesempatan merasakan mangga gadung.
Suatu saat Ayahku dipindah-tugaskan ke lain kota. Tentu saja semua anggota keluarga turut pindah. Kami harus berpisah dengan rumah besar itu. Pun kami harus berpisah dengan pohon mangga gadung penuh kenangan itu.
Setelah pindah, aku masih menjalin komunikasi dengan teman-teman lama, sambil mencari keterangan tentang keadaan rumah lama.
Terinformasi, rumah tersebut direnovasi. Dicat ulang. Sebagian genteng diganti. Ruangan ditambah. Jadi rumah itu semakin besar.
Oh ya, satu lagi: tembok pagar keliling dari setengah meter, ditinggikan satu setengah meter dengan pagar besi. Teman-teman tidak bisa duduk di pagar seperti semula. Tidak bisa bebas mengambil mangga gadung.
Dalam berita selanjutnya, mereka, juga para tetangga tidak pernah lagi kebagian mangga gadung. Tidak tahu bagaimana ceritanya, mangga hanya dinikmati oleh penghuni rumah. Diminta susah, apalagi berharap dibagi.
Sekian tahun kemudian, teman-teman lama yang masih berkomunikasi memberitakan:
“Pohon mangga gadung daun-daunnya rontok. Buahnya menciut. Lama-kelamaan pohon itu kering, meranggas, tinggal menunggu mati.”
Posting Komentar untuk "Mangga Gadung"