Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Meneguk Kopi Pahit

 

Sumber: pixers.uk

1

Meneguk Kopi Pahit

 

 

“APA yang akan kaudapatkan dari balas dendam?”

Segara tertegun mendengar pertanyaan pamannya. Pertanyaan yang menguapkan seluruh pernyataan yang sudah ia persiapkan sejak meninggalkan Jakarta. Ia sama sekali tidak menyangka akan ditodong sebegitu rupa. Ia mematung di atas teras berlapis marmer hitam. Ia bersandar ke pilar bergaya Spanyol-Maroko yang menjulang tinggi. Ia bahkan tidak tahu harus atau akan melakukan apa.

“Balas dendam tidak pernah menyelesaikan masalah, Nak,” kata pamannya lagi, dengan suara bernada rendah dengan getaran yang kuat, dan matanya terpacak ke wajah Segara. “Piutang mata tidak harus kautuntut dengan mata pula. Jika itu kaulakukan, kata Mahatma Gandhi, hanya akan membuat dunia menjadi gelap gulita.”

Mulut Segara masih terkunci.

“Kematian ayahmu sudah takdir.”

Mulut Segara makin terkunci.

“Apakah ayahmu akan bangkit dari kubur jika pembunuhnya kaubunuh?”

Tanpa sadar, Segara menggeleng. Jari-jemarinya bergetar. Mendadak otot-otot di lehernya mengencang. Dengusnya terdengar keras, hampir-hampir mengalahkan bunyi air-muncrat di La Cour d’Honneur—halaman luas di depan La Grande Mosquee de Paris. Ada yang menggelegak di dadanya: amarah. Tetapi kata-kata belum juga menghambur dari mulutnya. Mulutnya masih terkatup. Terkunci rapat, rapat sekali.

“Jika kamu ke Paris hanya untuk membalas dendam, Nak, roh ayahmu pasti sakit hati. Percayalah, ayahmu bukan tipe orang yang mengagung-agungkan ‘nyawa dibalas nyawa’. Ayahmu tidak seperti itu!”

Segara mendongak. “Paman tidak tahu apa-apa tentang ayahku!”

Pintu besar dari kayu ek yang bertatahkan perunggu dengan mozaik yang terbuat dari kayu ekaliptus dan koral seperti tiba-tiba menganga. Kata-kata menghambur dari bibir segara bagaikan laju kuda raja yang meninggalkan istal. Hanya tujuh kata, tetapi tujuh kata itu sudah mengalirkan kekuatan dari jantung ke seluruh tubuh Segara.

“Pulanglah, Paman, aku tidak membutuhkanmu lagi!”

***

 

SEGARA masih termangu di La Grande Mosquee de Paris ketika punggung pamannya menghilang dari pandangan. Ia mendesah. Dahulu, dari jalin sejarah yang pernah ia baca, di masjid inilah orang-orang Yahudi bersembunyi dari kejaran kematian yang ditebar oleh Hitler. Siang ini, di tempat bersejarah ini, ia bersembunyi dari hasrat membalas dendam yang terus berbunyi di dadanya. Ketika memejamkan mata, ia melihat dirinya berada di pelataran masa lalu—masa yang ingin sekali ia hapus dari ingatannya.

Dua puluh tahun lalu, di sebuah flat di sudut tenggara Nikolaiviertel, Berlin.

Segara kecil terjelepak memeluk lutut. Di depannya, hanya berjarak dua meter, Craen Mark—sahabat ayahnya—mengayunkan kapak tua ke leher ayahnya. Segara tidak memejamkan mata, sekejap pun, ketika kapak di tangan Craen Mark menetak dan menebas leher ayahnya. Ia juga tidak menjerit tatkala darah dari leher ayahnya memancur deras, memerahkan lantai flat, dan mengalir hingga menyentuh ujung jemari kakinya. Ia tahu kakinya seketika kebas, tetapi ia menahan ngilu di hatinya.

Ia justru memejamkan mata ketika mendengar desis Craen Mark.

“Aku tidak akan membunuhmu,” kata Craen Mark dengan nada tinggi dalam tempo lambat. “Aku ingin engkau hidup, Segara.” Ia berhenti sejenak, tertawa terbahak-bahak hingga gema tawanya memekakkan telinga Segara. “Kuhabisi ayahmu di depan matamu. Kau perlu tahu, Segara, kapak algojo ini kucuri dari Museum Märkisches. Kapak ini pada ratusan tahun lalu, tepatnya pada tahun seribu delapan ratus tujuh delapan, dipakai oleh algojo untuk mengeksekusi pembunuh Kaisar Max Hödel. Hiduplah, Segara, hiduplah dengan baik agar kaubisa membalas kematian ayahmu.”

Segara merasa darah di tubuhnya tiba-tiba berhenti mengalir ketika Craen Mark perlahan mengelus rambutnya. Lalu entah dari mana asalnya, tenaga mahadahsyat tiba-tiba menggerakkan tangannya. Ya, tangan kecilnya bergerak cepat merebut kapak algojo di tangan kekar Craen Mark. Namun, apalah daya lengan mungil bocah sepuluh tahun di hadapan lengan pejal seorang residivis kambuhan.

Craen Mark terbahak-bahak lagi. “Tumbuhlah dengan kuat, Segara. Pelajari seluruh jurus pencak Makassar yang engkau tahu. Kalau perlu, pelajari pula pencak Jawa, Sunda, Betawi, Batak, dan Dayak. Jangan pula abaikan belajar beladiri Korea, Cina, Jepang, dan Eropa. Lalu kaudatang kepadaku dengan kapak ini ….”

Dencing besi mendenging di kuping Segara ketika kapak tua mencium lantai flat. Ia tergugu. Ia mematung. Ia terus begitu bahkan hingga polisi-polisi memasuki kamar dan mengangkuti tubuh ayahnya. Ia masih terus begitu bahkan hingga polisi-polisi pergi.

Segara melaung. Ia meninju pilar, berkali-kali, hingga kepalannya berdarah dan buku-buku jarinya ngilu. Ia biarkan orang-orang keheranan memandanginya. Ia kembali ke masa kini, hari ini, siang ini, dengan ingatan yang berdarah.

***

 

FLORA menarik napas lega. Teh hijau di Aux Portes de l’Orient, sebuah restoran di area La Grande Mosquee de Paris, selalu menjadi pilihannya setelah menikmati layanan pijat dan mandi sauna. Masjid Raya Prancis memang bukan sekadar tempat beribadah. Masjid yang dibangun sebagai penghormatan kepada seribu pejuang Muslim yang wafat tatkala membela Prancis itu punya fasilitas hammah—permandian bergaya Turki khusus untuk perempuan. Ia menunggu ayahnya.

Mata Flora membelalak. Segara! Ia memicingkan mata berkali-kali, memastikan jangan-jangan matanya sedang kehilangan ketajaman penglihatan, tetapi lelaki yang baru saja duduk memunggunginya benar-benar Segara. Jiwa usilnya mendadak terusik. Ada yang memberontak di kepalanya: kenangan. Ia gulung tiga lembar tisu, meremas tisu itu hingga membentuk bulatan sebesar kelereng, lalu melemparkannya ke kepala Segara.

Segara menoleh. Pelan sekali. “Ternyata Peri Bermata Hijau ada di sini!”

Flora tersenyum. “Kau masih seperti dulu!”

“Kau juga masih sama,” ujar Segara sembari mengangkat gelas kapucino ke meja yang ditempati Flora. “Tumben kamu di Paris!”

“Berlin sudah tidak ramah bagiku.”

“Berlin juga tidak ramah kepadaku!”

Flora ingin mengucapkan “kenapa bisa begitu”, tetapi ia terkesiap melihat tangan Segara yang terbalut perban. Akhirnya ia mengucapkan dua kata. “Tanganmu terluka?”

“Menguji ilmu kebal,” kata Segara, “tadi aku kesal, lalu menonjok pilar.”

Bahu Flora berguncang-guncang. “Mau kebal, tapi gampang kesal!”

Segara melengos. “Kamu sendirian?”

“Bareng ayahku.”

“Craen Mark bukan ayahmu!”

Senyum Flora sontak menghilang. “Kau masih mengulang kalimat yang sama.”

“Craen Mark memang bukan ayahmu,” ujar Segara dengan nada mendesis. “Aku tidak tahu bagaimana caranya memberitahukan fakta kepadamu, sebab pintu hatimu tidak terbuka sedikit pun.”

“Aku mencintaimu, Segara. Dulu begitu, hari ini pun masih begitu. Tetapi, jangan paksa aku untuk mengiyakan fitnahmu. Tidak bisa!”

Segara menghela napas. Diam sejurus. “Aku terpaksa mesti mengatakan hal ini, ya, terpaksa sebab aku tidak ingin hatimu terluka.” Ia menghela napas lagi. Diam sejurus lagi. “Craen Mark dulu bernama Karaeng Marradia. Beliau ganti nama setiba di Berlin menjadi Craen Mark. Kamu tahu mengapa Craen Mark merantau ke Jerman?” Ia tatap Flora lekat-lekat. Ketika melihat Flora menggeleng, Segara kembali berkata, “Craen Mark merantau karena lamarannya kepada ibumu ditolak oleh kakekmu. Ketika ibumu hamil muda, ayah dan ibumu merantau ke Berlin. Dua bulan setiba di Berlin, ayahmu dibunuh oleh Craen Mark, lalu ibumu dinikahi paksa. Setelah kamu lahir, giliran ibumu yang menjemput ajal. Craen membesarkan kamu supaya setiap hari ia bisa menikmati keberhasilannya balas dendam. Setiap melihat kamu, ia bahagia!”

Flora berdiri dan menampar Segara.

Lalu menyambar tas dan meninggalkan restoran Aux Portes de l’Orient.

Segara hanya bisa menghela napas. [kp]

 

 

 Catatan: Bab 2 akan digubah oleh Bamby Cahyadi.

SELANJUTNYA >>

Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "Meneguk Kopi Pahit"

DomaiNesia