Bab 15. Dua Lelaki yang Menyimpan Belati di Matanya
Ilustrasi. Sumber: Jawa Pos |
Kylian menampar pipinya sendiri. Ia mengembuskan napas keras-keras sembari meraung, “Memalukan!”
Hawa pendingin di kamar 302 di Hotel Adlon, Berlin, tidak mampu mendinginkan otak Kylian yang tengah panas. Seluruh darah di tubuhnya seperti mengalir ke kepalanya, berkumpul di situ, dan membentuk lautan amarah.
Ingatannya memampang detik-detik menegangkan ketika Craen Mark menyalakan lampu. Untung ia cukup cekatan untuk menghindari dua butir peluru yang berurutan mengincar kepalanya.
Untung pula ia cukup gesit untuk bersalto di udara dan melarikan diri ke arah pintu yang masih menganga. Jika tidak, riwayat hidupnya sudah tamat.
Kenapa bisa Craen Mark menipuku? Pertanyaan itu seperti palu godam menghantam batok kepalanya. Ia sudah merancang rencana yang sempurna. Ia menunggu saat yang paling tepat untuk menghabisi Mark.
Ia yakin bahwa tubuh yang terbaring di ranjang adalah tubuh Mark yang tengah ia incar. Ia tidak menyangka. Mark mencium rencana jahatnya sekaligus menjebaknya.
Batin Kylian benar-benar tergoncang. Ia kecewa. Tidak, ia tidak membalas dendam secara membabi buta. Ia juga sudah memisahkan dengan baik antara pekat dendam dan sepat rasa iba.
Bagaimanapun, ia mesti membayar kematian ayahnya. Daeng Sewang, ayahnya, mati di tangan Mark alias Karaeng Marradia. Itu sebabnya kepala Kylian adalah lautan darah bernama amarah.
Kylian melangkah ke wastafel antik di dalam toilet. Hotel Adlon menyajikan arsitektur yang khas dan unik. Hotel bersejarah.
Di situlah ia melarikan diri setelah gagal menghabisi Mark. Hotel yang dulu dibangun pada masa Kaiser Willhelm II itu terletak di Under den Linden—bulevar utama di Distrik Mitte, Berlin.
Ia menatap wajahnya di cermin di atas wastafel. Matanya yang hitam dan kelam. Matanya garang dan tajam seperti belati Stiletto Italia. Belati misterius yang masyhur pada abad 17, karena bentuknya yang aneh, ramping, dan bermata tiga yang meruncing di ujungnya.
Syahdan, belati Stiletto mampu mengoyak dan menembus baju zirah, pakaian ksatria perang bahkan dari bahan baja sekalipun.
Craen Mark hanya manusia biasa. Begitu suara di dalam dada Kylian. Sambil merenung ia berjalan ke jendela. Matanya terpacak ke Gerbang Brandenburg dan Tugu untuk Orang-orang Yahudi yang Terbunuh di Eropa. Tugu itu tepat berada di seberang kamarnya.
Craen Mark pasti punya kelemahan. Otaknya kembali berputar seperti gasing. Ia sadar, waktu melaju amat cepat. Ia harus beradu cepat dengan Segara untuk menghabisi Craen Mark.
Tetapi, apa kelemahan Craen Mark? Bahkan setelah dirinya menyuap tiga pelayan di Mansion Fiene, ia hanya menikam manekin.
O, tunggu. Kylian seperti Bandung Bondowoso yang mendadak menemukan cara untuk membangun seribu candi bagi Rara Jonggrang. Flora, ya, Flora adalah kelemahan Craen Mark. Ia tahu, bandot tua itu sangat menyayangi Flora.
Menyandera Flora pasti akan menyiksa Mark. Membunuh Flora berarti membunuh Mark. Selesai! Ia menepuk jidat. Bagaimana bisa ia menculik perempuan yang diam-diam ia cintai?
Gadis bermata hijau itu sudah telanjur melumpuhkan hatinya tepat pada pertemuan pertama. Lebih menyakitkan lagi, Flora sudah menjatuhkan hatinya kepada Segara—lelaki gagah yang telah menyewa jasanya untuk menghabisi Craen Mark.
Kylian kembali meraung, “Persetan dengan cinta!”
***
Segara tertegun. Ia tatap wajah di dalam cermin di hadapannya dengan tatapan dingin. Matanya setajam belati Pugio. Pada dua ribu tahun lalu, belati itu ditancapkan oleh Marcus Brutus—senator Romawi yang terkenal dingin dan bengis—tepat di jantung Gaius Jalius.
Bahkan hanya dengan tatapan matanya yang menyimpan belati itu, Segara sanggup membunuh orang. Tidak perlu menghunus badik, sebab senjata utama itu hanya ia keluarkan pada saat-saat genting.
Bayangan masa lalu membuat ubun-ubunSegara makin panas. Seperti berasap saja. Ia kumpulkan darahnya sehingga menjadi lautan di kepala. Energinya seperti berlipat ganda dan berhawa dendam membara. Matanya makin tajam dan bernyawa.
Matanya kini mampu melihat hingga jarak yang tak terjangkau oleh mata biasa, menembus sekat tergelap, dan menemukan di mana Kylian berada. Ya, Kylian: lelaki yang dapat membunuh sekaligus dapat juga menyelamatkan nyawanya.
Ia duduk tertegun di depan cermin. Kopi hitam manis pekat masih mengepulkan asap. Pikirannya bercabang. Benaknya seakan-akan terisi dua pikiran yang tengah bertarung hebat. Ambigu dan penuh tanda tanya. Ia ingat kembali pertarungannya dengan Kylian. Semula ia berpikir, Kylian tidak akan membunuhnya. Ternyata tidak. Kylian khianat.
Ia bertanya kepada lelaki di dalam cermin. “Apakah aku harus bersekutu lagi dengan Kamaluddin?”
Hatinya sontak menolak. Rencana akan bersekutu dengan Kamaludin alias Kylian lagi membuat perutnya mual. Pengalaman masih guru terbaik. Tidak, Kylian bukan sekutu yang bisa dipercaya merawat setia. Bisikan hatinya makin kencang.
Semua yang pernah menyakitiku adalah musuh yang suatu saat harus mati. Bagi Segara, Kylian adalah musuh yang mesti dihabisi. Ia musuh nomor dua setelah Craen Mark. Tidak ada ruang bagi pengkhianat.Setelah Karaeng Marradia alias Craen Mark, giliran Kylian yang harus mati.
Craen Mark bukan orang sembarangan. Semalam ia sudah mendekati kamar Mark, ia malah terperangkap di pelukan Flora. Andaikan ia tidak mendengar riu gaduh di kamar utama sebelah di Mansion Fiene, ia barangkali akan kedapatan sedang memeluk Flora.
Rencana matang dan strategi jitu mendekati dan membunuh Mark ternyata tidak dapat ia selesaikan. Hanya sejengkal, hanya terpisah sebidang tembok, tetapi ia gagal. Padahal membunuh Mark dari jarak dekat adalah kebahagiaan; melihat tumpahan darah Mark dari dekat adalah kenikmatan.
Segara kembali menatap cermin di hadapannya. Sekonyong-konyong cermin itu retakdilempar tatapan mata tajam Segara dan gelas kopi yang sedari tadi dipegangnya. Ah, tidak, Kylian bukan sekutu yang tepat. Kylian sangat berbahaya.
Suatu saat, kalau bukan dirinya yang membunuh Kylian maka dirinyalah yang akan mati di tangan Kylian. Bangsat itu justru bisa membuat rencanaku buyar lagi seperti dulu. Ia tahu, Kylian juga menyimpan dendam terhadap Mark. Meski begitu, Kylian pula yang bisa mengacaukan segala-galanya.
Segara terus memutar otak. Ia mondar-mandir tidak keruan. Giginya bergemeretak menahan amarah. Dahinya terus mengerut pertanda berpikir keras.Tangannyaterus mengepal. Urat-urat dan otot-ototnya menegang.
Tiba-tiba ia teringat pesan pamannya, Karaeng Matterangi. Dendam bukan jalan terbaik menuju bahagia. Ia menggeleng-geleng. Membunuh Craen Mark tidak perlu menyuruh orang lain.
Bagaimana caranya? Segara terdiam dan duduk lunglai. Selintas terbetik pikiran untuk menyiksa Flora. Satu-satunya jalan untuk memancing dan melumpuhkan Mark adalah melalui Flora. Melalui Flora, Mark akan mudah ditaklukkan dan dibunuh.
Segara bergumam, “Flora harus mati!” Ia menyeringai. “Kematian Flora pasti akan menjatuhkan mental Mark. Kematian Peri Bermata Hijau akan merontokkan sendi-sendi dan melumpuhkan tulang-tulang Mark.”
Ia meninju tembok saat mengingat ia amat mencintai Flora, terlebih-lebih setelah ia tahu bahwa Flora adalah adik kandung yang mestinya ia jaga dan lindungi. “Tidak. Jika dengan membunuh Flora lantas Mark bisa mati lebih mudah, aku akan lakukan. Sesulit apa pun, seperih apa pun.”
Tolol, bantah hatinya, jika Flora mati berarti kamu akan mati. Segara terperenyak. Kau tidak tahu betapa pedih membunuh adik sendiri, sanggah hatinya lagi. Segara makin terpuruk. Itulah peliknya dendam, hatinya berbisik lagi.
Segara berteriak, “Diam!” Napasnya terengah-engah. “Jika aku mati setelah membunuh Flora, itu adalah kematian yang indah karena aku akan saksikan penderitaan dan kematian Craen Mark!”
Hatinya bergolak lagi. Bagaimana dengan cintamu kepada Flora?
“Persetan dengan cinta!” kata Segara menghardik dirinya sendiri.
Cinta, baginya, hanyalah daur ulang sampah kehidupan. Pada satu masa cinta kasih kita kepada seseorang dapat menjadi kebencian pada masa yang lain. Sebaliknya juga begitu. Sebagai daur ulang sampah kehidupan, cinta mudah diciptakan kapan saja.
Bukankah cinta juga bisa datang dan pergi kapan saja? Segara membesarkan hatinya sendiri. Hati Segara sudah telanjur dipenuhi dendam kesumat atas kematian ayahnya dan penderitaan ibunya dengan mata kepalanya sendiri.
Maka perjalanan cintanya dengan Flora hanyalah perisitiwa kebetulan belaka, hanya itu. Apalagi setelah ia tahu bahwa Flora adalah adiknya sendiri. Apalah arti darah bagi dendam yang sudah lama ia pendam.
Cinta dan kebencian hanya disekat dinding yang sangat tipis, yaitu dinding waktu yang tidak mungkin dan tidak pernah bisa dihitung seperti perhitungan matematika. Sehari cinta, sesudahnya benci. Segara lagi-lagi membesarkan hati dan menguatkan tekadnya.
“Aku harus membunuh Flora!” Ia meneguk ludah. “Habis perkara!”
***
Tanpa persekongkolan, tanpa persekutuan, dan tanpa kesepakatan, Segara dan Kylian adalah dua lelaki yang sama-sama menyimpan dendam terhadap Karaeng Marradia.
Dua lelaki itu sama-sama menyimpan belati di matamereka, mengendapkan lautan darah di dalam kepala mereka, mengumpul dan menggumpal yang sewaktu-waktu akan mereka tumpahkan kepada orangyang sama dan kemungkinan pada waktu yang sama pula.
Tanpa rencana yang dirancangbersama, tanpa persekutuan yang disepakati bersama, ternyata isi kepala Segara dan Kylian sama: untuk menghabisi Craen Mark maka satu-satunya jalan adalah kematian Flora!(Mas Han)
Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, tempat dan peristiwa hanya kebetulan belaka dan tidak ada unsur kesengajaan. Selanjutnya Bab 16 akan digubah oleh Ayah Tuah
Posting Komentar untuk "Bab 15. Dua Lelaki yang Menyimpan Belati di Matanya"