Cerpen : Perempuan di Beranda
Ilustrasi Cerpen Perempuan di Beranda. Sumber: Pikiran Rakyat |
Malam, di kaki Gunung Lokon, Tomohon. Dingin menusuk tulang hingga menembus sumsum. Rembulan sabit malam itu, dan hanya sedikit bintang, semakin terasa mencekam.
Malam sangat lengang, tanpa kunang-kunang. Hanya beberapa lampu jalan yang kusam dan menyala tak terang.
Duduk di beranda, seorang perempuan berambut panjang, duduk dengan kaki menjuntai.
Suaranya lirih mendendangkan lagu kenangan. Tanpa musik, suaranya sedikit serak. Lirih, mengalunkan lagu "Di Wajahmu Kulihat Bulan" dari bibirnya yang seperti tak terbuka, melafalkan lagu dan nada.
Rumah itu sepi dan lengang. Nyet. Lampu di beranda, seperti menyala dengan enggan. Perempuan di beranda itu, seketika menghentikan lirih suaranya. Menyapa kedatanganku.
"Selamat malam, dari mana dan mau kemana kamu malam-malam begini?" Katanya datar, saat melihatku berjalan mendekatinya.
"Selamat malam Bu, saya kemalaman, apakah di desa ini ada penginapan yang bisa kami tumpangi?" Kataku dengan bibir gemetaran menahan dingin.
"Ada. Disini, mau berapa malam?" Jawab perempuan itu, yang rupanya pemilik penginapan, lebih tepatnya rumah itu.
"Semalam saja bu, besok pagi-pagi saya ke lokasi, mungkin berkemah, sudah menunggu tim kami disana". Jawabku datar sambil setengah menggigil saking dinginnya udara malam Tomohon.
***
"Aih, perempuan itu ternyata cantik sekali, dengan rambut panjang terurai dan gaun malamnya yang sedikit tipis"
Aku membayangkan perempuan pemilik rumah ini, begitu aku terhempas di kasur dalam kamar yang diperuntukkan untuk tamu. Perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik dan awet muda.
Rumah tua yang sederhana, dengan perabotan yang juga sederhana. Tapi lumayanlah untuk sebuah penginapan murah di desa.
Sudah dua malam aku menginap di rumah ini. Dari rencana hanya semalam. Entah kenapa, malam berikutnya, terasa seakan rumah ini masih memanggil-manggilku untuk datang menginap. Akhirnya malam kedua, aku masih menginap di rumah tua itu.
Dan sudah dua malam itu pula, selalu saja kulihat perempuan itu duduk di beranda dan mendendangkan lagu yang sama. Di Wajahmu Kulihat Bulan.
Hanya ada dua orang penghuni rumah itu. Oma Yolanda dan perempuan yang selalu duduk di beranda. Tante Diana panggilannya.
Hanya setiap malam, kulihat perempuan itu, sedangkan pagi dan sore, aku tak pernah melihatnya. Apakah Oma Yolanda, memang yang selalu menggantikannya.
Setiap pagi, aku melihat Oma Yolanda. Aku berangkat ke tempat kerjaan. Sore menjelang petang, pulang. Namun sore, sudah tak nampak lagi Oma Yolanda.
Rumah sepi, aku sibuk membersihkan diri, sepulang dari kerjaan. Rebahan di kamar, hingga jam makan malam tiba. Makan malam, selalu tersedia, tepat jam setengah delapan.
Dan setiap jam delapan malam, Tante Diana sudah duduk di beranda, di kursi goyangnya, dengan kaki menjuntai. Dan selalu saja mengalunkan lagu, Di Wajahmu Kulihat Bulan.
Oma Yolanda, sudah sangat tua, kira-kira berumur 75 tahun. Gerakannya lambat dan kerut wajahnya menunjukkan memang sudah tua. Aku selalu melihatnya di pagi hari, menyapu ruang tamu dan membersihkan dapur.
Sedangkan, perempuan di beranda itu, meskipun sudah paruh baya, tapi masih sangat terlihat cantik, dan tubuhnya aduhai, tinggi semampai, padat berisi dan tampak segar seperti buah semangka yang merah merekah.
Tante Diana, sudah berumur 40an tahun kira-kira. Aku yang terpaut lima belasan tahunpun masih terksesima melihatnya. Dan jiwa kelaki-lakianku berontak, setiap kali membayangkan perempuan di beranda itu, berdendang lagu-lagu kenangan.
***
"Oma, kemana Tante Diana, kalau pagi dan sore kok ndak pernah kelihatan di rumah ini? Tanyaku memberanikan diri kepada Oma yang tengah sibuk di dapur.
"Ohya, Oma jaga rumah ini cuma pagi saja? Terus malam digantikan Tante Diana? Kalau malam Oma kemana? Terus kalau pagi, Tante Diana dimana? " Tanyaku nyerocos penasaran.
Oma Yolanda, hanya menoleh sebentar, lalu pergi. Tanpa kata-kata, tanpa jawaban, dan tanpa ekspresi. Aku tak bertanya lagi. Oma Yolanda tampaknya tak suka.
***
Malam ketiga, aku berpakaian rapi, juga pakai minyak wangi. Berharap cepat dapat melihat Tante Diana. Seperti biasa dengan gaun putih duduk di beranda, dan kaki menjuntai di kursi goyangnya.
Tante Diana belum nampak juga, padahal aku sudah lama menunggunya. Dua jam. Malam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tante Diana tak nampak sama sekali, bahkan sekedar bayangan.
Aku mencari Oma Yolanda, juga tak ada, padahal aku ingin sekali bertanya. Kemana gerangan Tante Diana berada. Padahal aku sudah berpakaian rapi dan juga minyak wangi. Malam itu, berarti aku sendiri.
Berharap dapat bertukar sapa dan cerita dengan Tante Diana. Menemaninya di beranda, bahkan jika mungkin menemaninya sampai ke alam mimpi di peraduan.
***
Aku terbangun di pagi hari, dibangunkan seorang laki-laki, orang menyebutnya Pala', dalam istilah Minahasa, itu artinya Kepala Lingkungan.
Katanya, sudah tiga malam ini, aku tidur di rumah kosong, yang sudah lama tak dihuni. Semua penghuninya, sebagian sudah pindah rumah.
Seorang ayah dan dua anaknya pindah rumah. Rumah ditinggalkan kosong begitu saja, sejak istri dan mamanya, meninggal karena corona.
****
Cerita ini hanya fiktif belaka. Nama, tempat dan peristiwa hanya kebetulan belaka dan tanpa unsur kesengajaan.
Mas Han. Tomohon, 23 Januari 2021
Posting Komentar untuk "Cerpen : Perempuan di Beranda"