Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Cinta di Sepotong Piza Kembang Kol

Ilustrasi Gambar Piza: alibaba.com


  Bab 18

Cinta di Sepotong Piza Kembang Kol

 << Sebelumnya

Flora membisu di dalam mobil sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya. Pikirannya berkecamuk. Pertemuan dengan Kylian gara-garanya. Pertemuan dengan Kylian, lelaki misterius dengan wajah dan tubuh memesona yang bisa membuat para perempuan bertekuk lutut, terus menghantui pikirannya. Tugasku meredam dendam. Tiga kata yang dilontarkan tanpa ekspresi itulah yang membuat hatinya penasaran. Dendam apa? Dendam siapa? Dendam karena apa? Ia melenguh sambil memijit kening.

Avere yang duduk di belakang kemudi hanya melirik sekilas. Begitu melihat Flora melamun, ia menghela napas panjang dan mengembuskannya keras-keras, lalu kembali menatap lurus ke depan. Ia kehilangan selera untuk membuka pembicaraan. Ia tidak ingin mengusik lamunan Flora. Buru-buru ia matikan semua lampu di dalam mobil. Ia hafal betul tabiat Flora yang dongkol jika ada lampu di kabin mobil yang menyala pada malam hari, meskipun cahayanya redup. 

Flora memejamkan mata. Benaknya kembali memampang bayangan Kylian. Ia teringat ketika beradu pandang dengan lelaki itu di restoran. Kylian. Nama itu ia ketahui dari Achille—teman lelaki sesama pegawai yang lebih lama bekerja di restoran. Kata Achille, Kylian adalah pengunjung setia. Kata Acille lagi, Kylian adalah orang Indonesia yang telah lama menetap di Perancis. 

Flora sengaja berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia di hadapan lelaki misterius itu. Keruan Kylian kaget bukan kepalang. Mungkin lelaki itu tidak menyangka akan bertemu dengan orang lain yang juga berasal dari Indonesia. Mata lelaki itu berbinar-binar antara takjub dan heran. Ada sesuatu dari mata lelaki itu yang seakan-akan ingin mengisap seluruh gairah hidupnya. Buru-buru ia menoleh. Tugasku meredam dendam. Tiga kata itu lagi.

Segara, bisik hatinya, aku butuh kamu.

Begitu mengingat Segara, bayangan Kylian mendadak seperti kabut yang berpendar-pendar lalu menghilang dari benaknya. 

Tiba-tiba Flora merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Ia merasa sangat tidak nyaman. Air liurnya seakan-akan hendak mengalir keluar tanpa bisa ditahan. Kepala mulai pusing. Perutnya mual. Jidatnya terasa dingin. Ketika ia menyeka kening, butir-butir keringat membasahi telapak tangannya. Keringat dingin. 

Pikirannya mengembara ke mana-mana. Ia teringat akan pembicaraan ayahnya tentang adat nipakasiri—adat yang harus diselesaikan dengan cara saling bunuh diri oleh orang sedarah yang saling mencintai. Pikirannya makin kalut karena menerka-nerka rentetan kejadian yang telah ia alami dan mengira-ngira apa gerangan yang tengah menimpa dirinya. Mendadak perutnya memberontak. Buru-buru ia menutup mulut dengan telapak tangannya ketika ia merasa sesuatu dari perutnya kompak bergerak ke arah leher. 

Ia mual sekali.

Keringat dingin membanjiri leher dan tengkuknya.

Hampir saja ia menyuruh Avere menepikan mobil, tetapi ia tidak ingin Avere bertanya-tanya. Tidak, sergah batin Flora, Avere tidak boleh tahu aku tengah mual. Bagaimanapun, ia seorang gadis lajang. Muntah-muntah tanpa sebab di depan lelaki bisa memantik rupa-rupa curiga. Setelah perutnya berhenti bergejolak, ia menarik napas lega. 

Sontak ingatan Flora mundur beberapa bulan pada masa-masa awal ia mengenal Segara. Meski baru mengenal lelaki setanah air itu, ia pasrah sepasrah-pasrahnya. Ia biarkan hatinya jatuh. Ia biarkan cintanya berlabuh. Segara langsung menyita waktunya. Citra lelaki dambaan yang selama ini ia angankan semuanya ada pada diri Segara. Lelaki dengan mata penuh cinta itu benar-benar menjatuhkan hatinya, sesuatu yang tidak pernah ia alami selama merantau di negeri orang. Bahkan, sepanjang hayatnya. 

Hati Flora bagai dapur dengan rupa-rupa bahan masakan yang menyenangkan hati. Betapa tidak, ia merasa dirinya dan Segara seperti asam dan garam. Segara mengasihinya sebagaimana ia mengasihi lelaki itu. Segara menginginkannya sebagaimana ia menginginkan lelaki itu. Hidupnya bagai berada di Taman Surga dengan aroma rempah-rempah yang menenangkan hati. Betapa tidak, lelaki itu sedikit pun tidak mengejek atau merendahkan profesinya sebagai seorang asisten koki. Lelaki bermata elang itu malah mendukung apa saja yang ingin ia lakukan. Tidak heran jika ia berharap hubungannya dengan Segara bermuara di pelaminan. Ia juga berharap dirinya dan Segara menua bersama, malahan—kalau bisa—mati bersama dalam pelukan cinta. 

Dan, ia tahu, Segara juga berharap demikian. 

Itu sebabnya Flora tidak ingin menahan diri untuk menyerahkan segala-gala yang ia miliki kepada Segara. Apa saja. Lahiriah dan batiniah. 

Tiba-tiba ia ingin sekali muntah.

***


Pada satu malam, sebulan lalu, Flora berkunjung ke Jakarta. Restoran tempatnya bekerja akan membuka perwakilan di Indonesia. Ia mengemban amanat untuk mencari tempat, merekrut karyawan, dan merancang rencana pengembangan cabang. Sebuah pertemuan yang tidak disengaja terjadi. Semacam serendipitas. Segara mengantar temannya yang akan mengikuti tes wawancara. Ia bersitatap dengan lelaki bermata elang itu dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. 

Sepekan setelah tes wawancara itu, sepekan setelah pertemuan yang tidak disengaja itu, sepekan setelah jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya itu, ia tahu dirinya sedang jatuh cinta. Sepekan kemudian, Segara sudah menemaninya saban hari. Ia merasa mendapat durian runtuh ketika Segara ingin terus berada di sisinya, di dekatnya, di rumah ayahnya di kawasan perumahan elite Pondok Indah, Jakarta, tempat ia menetap selama di Jakarta.

Setiap pagi tiba, Flora merasa menemukan dirinya sebagai perempuan sejati. Tangan kekar Segara memeluknya dari belakang. Ia biarkan rasa bahagia menjalar dari jantung ke sekujur tubuhnya selama beberapa menit, kemudian pelan-pelan melepaskan lengan Segara, lalu menarik diri dari hangat selimut, lantas mengenakan kimono untuk menutupi tubuh bugilnya. Lekas-lekas ia berjalan ke wastafel, membasuh muka, menggosok gigi, dan mengulum senyum untuk perempuan muda yang juga tersenyum kepadanya dari dalam cermin. 

Dada Flora dihangatkan oleh rasa bahagia.

Begitu setiap pagi. Hingga pagi ini pun masih begitu.

Ia tiba di dapur mungilnya bersama rasa bahagia. Ia ambil stoples kopi dan gula. Tiga sendok kopi Toraja dan satu sendok bubuk gula merah segera bersatu di dasar cangkir. Air panas memadukan pahit kopi dan manis gula. Aroma kopi menguar ke mana-mana. Tiba-tiba ia merasa seseorang memeluknya dari belakang. Ia kenal betul siapa pemilik sepasang lengan yang tengah melingkari perutnya. Segara Ananda Sangguraja—pujaan hati Flora Aurora Bunga. 

Sebuah kecupan singkat mendarat di tengkuknya. Flora menggeliat manja. 

“Kopi Toraja kesukaanku,” kata Segara.

Flora berbalik dan memberikan kecupan di bibir Segara. “Duduk manis sambil minum kopi di meja makan, ya?”

“Mau masak?”

“Ya!”

“Tidak bisa diganggu?”

“Ya!”

“Meski dengan pelukan dari belakang?”

Flora menggeleng. “Merusak konsentrasi!”

Segara melepaskan pelukan dan mengambil cangkir kopi. “Mau kubantu?”

“Tidak usah, Sayang.” Flora menggeleng lagi. “Aku mau bikin Piza Kembang Kol. Resepnya baru semalam tayang di Kompasiana.”

“Baiklah, duhai calon ibu anak-anakku, silakan memasak sepuas hatimu.” 

Pipi Flora mendadak hangat. Pujian Segara selalu membuat pipinya hangat, dadanya hangat, hatinya hangat. Dalam beberapa kejap ia biarkan rasa bahagia menghangatkan hatinya. Selepas itu tangan mungilnya bergerak lincah mencuci bunga kol, lalu memarutnya dengan menggunakan parutan keju, lalu mengambil semua bumbu yang sudah tersedia dalam kulkas.

Segara tidak bisa menahan diri. Ia tinggalkan kopinya dan berjalan ke dekat kompor. Di sana ia raih gawai Flora. Layar gawai itu dibiarkan terus menyala. Matanya segera melahap resep Cauli Flower Pizza. Artikel itu dianggit oleh Siti Nazarotin. Ia kenal nama itu gara-gara Flora. Penulis yang gemar mengudar resep masakan itu adalah idola kekasihnya. Kata Flora, resep suguhan Nazar selalu simpel, mudah dipraktikkan, dan hasilnya memuaskan. Mata Segara pelan-pelan mengeja resep: 1 tangkai kembang kol kira-kira 250 gram; 2 butir telur ayam; saus tomat; saus barbeku (barbeque sauce); garam; krim serat (fiber crème) sebagai pengganti susu; oregano; keju mozarela; dan sosis.

Tatapannya beralih ke arah Flora. Gadis yang sengaja dikirimkan Tuhan kepadanya itu tengah mencincang kembang kol. Tidak lama berselang, setelah merasa agak halus, Flora mengukus kembang kol.

“Kamu sudah hafal cara masaknya?”

Flora mengangguk. “Kukus selama lima hingga tujuh menit, baru pindahkan ke dalam wadah. Bubuhkan sedikit garam dan oregano, lalu aduk hingga rata. Setelah itu campurkan fiber crème secukupnya, lalu aduk lagi hingga rata.”

“Hebat!” Segara berteriak kegirangan seperti bocah memuji temannya. “Kata-katamu persis resep dalam artikel Nazar ini,” katanya seraya menuju layar gawai. “Kamu cuma hafal sebegitu, kan?”

Flora tidak mengindahkan ledekan Segara. “Setelah tercampur dengan rata, tuangkan adonan ke teflon yang sudah dipanasi dengan lidah api kecil, lalu panggang sampai setengah matang.” Ia berhenti sejenak, mengulum senyum ke arah Segara, lalu mencebik. “Daripada meledek, mending kaubantu potong sosis.”

Segara dengan riang hati memotong-motong sosis. Tidak lama kemudian ia berseru, “Beres, Ratu Hatiku!”

“Parut keju untuk topping piza!”

“Tadi kaubilang tidak usah dibantu.”

Flora tertawa kecil. “Jangan banyak mulut, Segara!” 

Ia tersenyum-senyum melihat cuping hidung Segara kembang-kempis karena aroma kembang kol menguar di udara. Lalu, matanya beralih ke kompor. Melihat adonan sudah setengah matang, pelan-pelan ia oleskan saus tomat dan saus barbeku. Tangannya bergerak cekatan menaruh sosis sebagai tambahan (topping) piza.

“Taburkan keju mozarela di atas sosis,” ujar Segara.

“Bawel,” kata Flora seraya tertawa, “aku tahu.”

“Panggang dalam teflon hingga semua keju meleleh!”

“Bawel, ah!”

Segara terpingkal-pingkal. Senang benar hatinya melihat Flora mangkel. Lebih senang lagi ketika melihat Flora menyiapkan piring saji dan pisau, menata dua gelas teh, dan menyajikan piza kembang kol dengan sepenuh-penuh cinta. Lekas-lekas ia comot sepotong piza, menggigit ujung runcingnya, mengunyah perlahan, dan dan menelannya dengan hikmat. 

“Hmmm….”

Flora tertegun. “Kenapa?”

“Lezat!” 

“Terima kasih, Sayang.”

Segara terpangah. “Terima kasih untuk apa?”

“Sudi mencicipi masakanku.”

Segara tersenyum. “Terima kasih, Sayang.”

 Flora penasaran. “Terima kasih untuk apa?” 

“Terima kasih sudah menenangkan perutku dengan piza kembang kol yang lezat dan menyenangkan hatiku dengan pagi penuh cinta.”

***


Flora tersentak ketika mobil berhenti mendadak. 

“Maaf,” ujar Avere, “ada mobil di depan yang berhenti mendadak.”

Flora tercenung. Ia seperti baru saja kembali dari perjalanan panjang menuju masa lalu yang melelahkan. Ia seperti baru tiba kembali pada masa kini yang takkalah melelahkan. Bau ban yang hangus setelah digerus aspal membuat perut Flora serasa disodok-sodok balok, sampai-sampai ia merasa otot perutnya mengalami kontraksi. Ia tersedak. Batuk. Keringat dingin membasahi keningnya. Mulutnya mendadak terasa asam. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Kepalanya seperti diganduli batu. Berat sekali. Pusing sekali.

Sensasi ingin muntah menjalari benak Flora. Tungkainya mulai lunglai. Hoek. Tidak ada lagi daya untuk menahan rasa mual. Hoek. Ia menutup mulut, khawatir apa yang muntahkan tumpah ke karpet mobil. 

Avere menepikan mobil. “Asam lambungmu kumat?”

Flora menggeleng pelan. “Tidak tahu.”

“Mau berhenti dulu?”

Flora menggeleng lagi. “Terus saja.” Ia berusaha sekuat tenaga agar terlihat baik-baik saja di depan Avere. “Barangkali asam lambungku kumat.”

Flora memang terlihat tenang dari luar, tetapi jauh di dasar hatinya ada sesuatu yang tengah bergolak. Ia sedang dihajar cemas. Ia tidak pernah merasakan sensasi ingin muntah seluar biasa sekarang. Bahkan ketika tubuhnya kelelahan akibat olahraga berlebihan, ia tidak pernah merasa ingin muntah sehebat apa yang kini ia rasakan. Bahkan sekumat apa pun asam lambung yang ia derita, ia tidak pernah merasa semual sekarang. 

Jangan-jangan aku, ah! 

Flora menepis cemas yang bergelayutan di kepalanya. Sementara itu, mobil sudah tiba di mulut kawasan Hackscher Markt. Sebentar lagi ia akan tiba di Mension Fiene, sebentar lagi ia akan tiba di kamarnya, sebentar lagi ia bisa membaringkan tubuh di peraduannya. Namun, kecemasan baru tiba-tiba menyeruak. Sekarang ia bisa menyembunyikan kondisi tubuhnya dari prasangka Avere, tetapi bagaimana ia bisa menyembunyikan mual-mualnya di hadapan ayahnya? 

Ia menelan ratap. 

Segara!

Ia segera menghambur ke dalam rumah tanpa berbicara sepatah kata pun kepada Avere, bahkan kepada Craen Mark, ayahnya, yang membukakan pintu rumah. Yang ada di kepalanya sekarang, saat ini, hanyalah tiba di kamar, mengunci pintu, mengurung diri, dan mencari sebab atas curiga yang tengah berkecamuk di kepalanya.

Aku harus melakukan tes kehamilan, kata Flora di dalam hati setelah mengunci pintu kamar. Mendadak hatinya dicecar kecemasan lain: bagaimana jika aku hamil dan Segara tidak mau menikahiku?

Pandangan Flora mengabur.

Buram. Suram.

***


Siti Nazarotin

Cerita ini fiksi belaka. Jika terdapat kesamaan nama, tempat, dan peristiwa berarti hanya kebetulan. Selanjutnya, Bab 19 akan dianggit oleh Budi Susilo

Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "Cinta di Sepotong Piza Kembang Kol"

DomaiNesia