Duka di "Apfelstrudle"
BAB 12
Duka di "Apfelstrudle"
>>>sebelumnya
Avere berharap Flora baik-baik saja, selama menikmati makanan matanya sesekali mencuri pandang pada paras wajah Flora yang ayu. Gadis itu terlihat tegar tapi sebenarnya rapuh. Ada pesan yang belum terbaca oleh Avere pada garis-garis wajahnya.
Flora bagai sosok perempuan yang pernah dia jumpai tanpa sengaja, jauh sebelum mereka bertemu. Ia memiliki mata yang teduh tapi menyimpan murka, kehadirannya dalam kehidupan Avere pun sangat misterius. Saat Avere mencari dia menghilang, ketika takdipikirkan dia datang.
Pertemuan Avere dengan perempuan itupun di luar dugaan, ketika dia sedang menikmati matahari di musim panas tahun lalu tepatnya di taman gedung Bundestag, perempuan bermata teduh menyapanya dan memberi setangkai bunga setelah itu berlalu.
Suara deheman Flora menyadarkan Avere untuk menepis ingatannya yang tanpa diundang melintas begitu saja.
Sambil mengunyah Apfelstrudle dia berusaha mencairkan suasana yang tiba-tiba sunyi,"Makanan ini cocok buat kamu yang galau."
Flora hanya menjawab dengan menjulurkan sedikit lidahnya.
"Gak percaya?"
"Apel bisa menghasilkan neurotransmitter antidepresan yang membantu mengurangi stress."
"Kuliah kuliner nih."
"Hahaha … biar kamu sedikit fresh."
Tawa Avere seketika terhenti ketika sudut matanya menangkap sosok yang mengawasi dari kejauhan. "Sepertinya acara makan harus dipercepat. Jangan bertanya, habiskan lalu kita keluar dari resto. Buat tubuhmu rileks tidak terlihat salah tingkah ya."
Sesaat wajah Flora menegang, tapi segera dia kuasai. Selesai makan dan membayar mereka bergegas meninggalkan resto, berusaha santai seolah tidak terjadi apa-apa.
Musim gugur benar-benar mewakili rasa hati Flora, bagai daun yang lepas, terbang dan terhempas.
"Kira-kira siapa yang mengawasi tadi?" Flora mulai membuka percakapan setelah sekian menit mereka terdiam terbenam dalam pikiran masing-masing, sambil menyusuri jalan arah pulang.
"Entahlah, yang aku tahu seorang pria, apa dia kekasihmu?"
Langkah Flora terhenti, wajahnya pias, dia berpikir apakah Segara mengikutinya? Beberapa pekan tidak bertemu, ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Flora segera menggeleng,"Wer weiβ."
"Sebaiknya aku antar kamu pulang, tidak masalah, kan?"
Seorang pria paruh baya tampak berjalan dari arah yang berlawanan, walau memakai syal dan topi masih bisa membuat Flora terkesiap sampai wajahnya pucat pasi. Sesaat pria itu juga memandang lekat pada Flora sebelum berlalu
"Avere ..." Tangan Flora memegang lengan Avere dengan kuat.
***
Segara masih memandang langit senja di balik jendela, secangkir kopi digenggam erat di tangan kanan dan tangan kiri dimasukkan saku celananya. Wajah tampan dan tubuh atletisnya memang mampu membuat siapa saja terpesona, termasuk Flora.
Jerman, dia tidak pernah menyangka menapakkan kaki di negara yang penuh pergolakan sejarah serta kenangan suram masa kecilnya. Semakin rumit ketika mengetahui perempuan yang dicintainya ternyata masih sedarah. Mata tajamnya masih menikmati jingga yang mulai menghitam menyambut malam seperti gambaran suasana hatinya.
Urusannya dengan Kylian juga belum tuntas, Kylian benar-benar menghilang, tanpa meninggalkan jejak. Segara tersenyum kecut Mengapa tidak aku tebas saja sekalian lehernya saat itu, agar kematiannya sempurna. Batinnya berkecamuk. Dasar manusia tamak. Nafas berat dia hembuskan untuk mengeluarkan gelembung-gelembung kepenatan dalam dadanya.
Musim gugur akan segera berganti, berapa musim lagi aku harus di sini hanya untuk mengejar Craen si pecundang yang sudah menghabisi nyawa ayahku di depan mataku ketika aku tak berdaya, bahkan melecehkan ibuku, mengkambinghitamkan hukum adat. mengesampingkan norma-norma lainnya. Suara batinnya makin bergejolak.
"Verdammt!"
Segara makin geram bahkan sampai saat ini dia belum bisa menemukan di mana ibunya berada. Pria rupawan itu masih bergeming di depan jendela tak terasa isi cangkir sudah berpindah semua dalam lambungnya. Sebelum dia menjauh dari kaca jendela tampak sebuah kerlip cahaya seperti bintang melesat dari selatan ke arah timur laut menuju rasi pegasus.
Dering gawai yang berulang-ulang membuyarkan pikirannya. Tanpa melihat siapa yang menelpon dia angkat begitu saja.
"Halo!"
"Bisakah Paman menemuimu?"
Segara sedikit terkejut yang dia tahu Pamannya sudah pamit pulang ke Turatea
"Paman tidak jadi pulang?"
"Sepertinya takdir menghendaki Paman di sini dulu."
"Paman bisa datang ke rumahku. Aku juga ingin menanyakan hal penting."
Setelah 30 menit kemudian, ketukan pintu terdengar dari ruang tengah. Segara melangkah ke arah pintu, setelah mengintip dari doorviewer segera dia buka dan mempersilakan pamannya untuk masuk.
Mata Karaeng Matterangi menyisir setiap sudut ruangan yang ditata sederhana namun apik, dengan perapian yang sudah modern, dinding rumah sebagian diberi lapisan kayu, begitu juga lantainya, benar-benar perpaduan klasik dan modern yang menawan, memberi kesan hangat dan terbuka bagi tamu yang berkunjung.
"Silakan duduk Paman."
Karaeng Matterangi melepas syal, mantel dan topinya lalu meletakkan di sudut ruangan yang sudah di sediakan. Meja kayu sederhana dengan sofa empuk berwarna abu-abu, cukup elegan. Jendela kaca yang besar menampilkan pemandangan penuh bunga yang indah di halaman samping.
"Kau menyukai bunga juga, seperti ibumu." Meskipun di luar gelap dan hanya terdapt cahaya lampu yang remang-remang, mata Karaeng Matterangi masih tajam melihat yang ada di luar.
"Paman ingin minum apa?"
"Kopi luwak saja bila masih ada."
"Ah, selalu ada Paman, jangan khawatir."
"Bagus."
Taklama dua cangkir kopi dan dua piring "curry wurst" tersaji di meja. Segara mempersilakan pamannya untuk minum dan mencicipi hidangan.
"Kopi ini enak sekali, setiap tegukan yang melewati kerongkongan mampu membawa lukisan tanah air dalam ingatan. Kapan kau akan pulang, Nak? Tidakkah kau rindu?"
Segara menata hati dan pikirannya agar apa yang nanti terucap tidak menyinggung hati Pamannya. Karaeng Matterangi, kakak dari ibunya, seorang lelaki tinggi tegap yang berwibawa dan bijaksana. Tutur katanya halus setiap pembicaraan selalu diiringi petuah bijak.
"Maafkan Paman, sampai saat ini belum bisa menemukan ibumu. Paman benar-benar kehilangan jejak." Lelaki paruh baya itu menyisir rambut dengan jari.
"Sebaiknya kamu pulang, biar paman yang mengurus dan menyelesaikan semua dengan Craen Mark."
Segara memejamkan mata, dahinya berkerut sambil menghisap nafas dalam-dalam dan memghembuskan perlahan sambil membuka kelopak mata. "Begitu menyakitkan Paman. Apakah sekeras itu sebuah adat?"
Karaeng Matterangi menepuk pundak Segara yang duduk di sampingnya, "Jekonga , Segara, tena sukkukwasselekna. Tojenga pakjari tope. Lakkak tope tamalakka tojengnu.* Ia menghela napas. " Tipu daya, Nak, kalaupun berhasil hanya bersifat sementara. Jadikan kebenaran sebagai sarungmu. Lekat dan tidak dapat dihancurkan."
Segara membisu.
"Takperlu kau menyuruh orang lain untuk menghabisi Craen, itu tidak akan menyelesaikan masalah." Ujar Karaeng Matterangi. "Hukum adat memang sebaiknya tidak dilanggar, dan rasa cinta juga tidak boleh dipaksakan. Ketidakseimbangan terjadi semua karena sifat manusia yang ingin menguasai, bersembunyi dibalik kata harga diri."
"Tapi paman ..."
"Segara, kamu tidak menanyakan pada Paman mengapa tidak jadi pulang?"
"Apa yang terjadi Paman?"
(Bersambung)
🌼🌼🌼🌼
Catatan;
Wer Weß = entahlah
Curry wurst = jajanan sosis kari
Verdmmt = sialan
Doorviewer = pengiintip yang menempel pada pintu
*Cerita ini fiktif belaka. Kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata. Selanjutnya, Bab 13, akan digubah oleh Kak Rudy Numerolog :)
Posting Komentar untuk "Duka di "Apfelstrudle""