Rein dan Rumah Tua
image: via unsplash.com @Jr Korpa
Air mata Rein menumpah di sore yang disinari sedikit cahaya surya. Ia ragu melangkah ke makam Angie, sahabat terkasihnya.
Gundukan tanah yang masih merah membawanya kembali pada ingatan dua hari yang lalu. Ketika Angie mengajaknya ke sebuah tempat.
Lebih tepat bila dikatakan sebagai tempat keramat. Bagaimana tidak? Dinding yang dipenuhi semak, dan pagar hitam yang tinggi dibalut beragam tumbuhan sulur yang sudah pasti tidak terawat.
"Angie, ayo pulang. Mo apa sih kita ke sini?" jemari Rein semakin kuat mencengkeram lengan Angie, gadis gempal yang tubuhnya hanya terdiri dari tulang, lemak, dan adrenalin.
"Aaah... Paan si loe? Gitu aja udah pucat. Noh tangan loe singkirin bentar, aku buka gerbangnya. Tau ga, ini tempat tepat, Rein. Buat tugas kampus kita."
"Ya, engga di sini juga kaliii.. " napas Rein mulai tersengal. Tangan dan kaki Rein mulai berasa dingin.
"Udah diem! Emang loe mau gue manjat gerbang karatan ini? Bisa-bisa gue nyantol di atas kek sate kambing Wan Abud." keringat menetes deras di pelipis Angie, seraya jemarinya masih terus sibuk bergaya ala Sherlock Holmes membuka gembok gerbang.
Entah mengapa, Rein tetiba melihat sela di balik rerumputan yang tingginya hampir sebahu Rein. Disibaknya rumput aneh yang lebih mirip sengaja ditumpuk meninggi menutupi celah sempit di salah satu sisi gerbang.
"Egh... psst... psst...." kode Rein. Sementara Angie masih berpeluh ala Sherlock Holmes atau Hercule Poirot yang baru selesai fitnes.
"Psst..... psst... pssst.... Dih.. kaga denger juga." kata Rein pelan. "Hei, ponakan Paman Gembul, sini!" teriak Rein gemas.
Dengan spontan tangan Angie membekap mulut Rein. Sementara Rein gelagapan menunjuk ke celah sempit di hadapannya.
"Gile, tangan loe amis bener. Ni mulut masih gue pake buat makan, Ngie," gerutu Rein.
Angie melongok ke dalam.
Rumah itu kini jelas terlihat. Pula sebuah halaman begitu luas jelas tidak terawat. Kusam. Kumuh. Sebuah bangunan bergaya Eropa berdiri seratus meter dari gerbang berukir yang sudah berkarat dan sedikit miring ke samping.
Tanpa aba-aba, tanpa surat kuasa dan surat perintah, Angie segera meringsek masuk, bertarung dengan celah sempit temuan Rein.
Di tepi halaman rumah tua berdiri pohon apel beludru yang ditemani beberapa tanaman liar lain, mendandani patung-patung cupid yang terdiam di sekeliling kolam kering, 50 meter jaraknya dari rumah tua.
"Ini mangsa kita!" ujar Angie dengan adrenalin yang membual-bual menutupi lemaknya.
Sementara Rein masih diam. Mematung. Ragu.
Kali ini ia begitu ragu. Ada ingatan tipis melewati pikirannya. Pelan kakinya melangkah maju. Ingin rasanya ia mengejar sahabatnya yang kini telah berdiri di pintu rumah tua.
Intuisinya begitu sesak dalam kepala dan hatinya. Rein tahu ada sesuatu di dalam rumah tua yang umurnya mungkin melebihi umur mereka berdua.
Namun Rein masih terdiam. Sementara angin siang bertiup begitu kering.
Tetiba terdengar suara benda jatuh dari pohon besar. Dengan gemetar Rein mulai melangkah. Namun, seketika terdengar...
"Kraaak,"
"Duh, mati gue... mati gue...," sesal Rein dari mulut mungilnya. "Oh..... ternyata... bego banget nih, gue," bisiknya pelan, tatkala ia tersadar kaki kirinya menginjak ranting kering.
Entah mengapa, ia masih penasaran pada benda yang jatuh dari pohon tadi. Belum juga ia menengok ke belakang, Tiba-tiba kembali terdengar secara beruntun dua benda lagi jatuh. Rein begitu yakin suara benda jatuh itu berasal dari pohon di belakangnya.
Dengan pelan Rein memutar badan. Matanya terpejam. Ia takut mata indigonya melihat makhluk astral di pohon besar, atau bahkan tepat di belakangnya. Sungguh! Ia sangat membenci kemampuan yang kata orang adalah karunia.
Dan benar dugaannya. Ia melihat sepasang kaki bergelantungan di antara rimbun daun pohon apel beludru.
"Haaaaaaa...... Angieeee....!" Rein segera berlari kencang mendapati Angie yang tengah duduk di depan tuts piano tua.
Ya, Angie memang gape memainkan piano semenjak kecil. Mungkin bawaan orok. Setiap lagu yang ia mainkan selalu membius penonton di setiap resital yang diadakan komunitasnya.
Tak lama, dari tuts tua bersuara parau mengalun pelan River Flows In You, musik keren milik Ahjussi tampan, Yiruma yang kondang sejagat Korea dan Indonesia.
Sekilas Angie melempar pandangannya ke arah Rein. Matanya menatap Rein yang tetap kelu, berdiri di dekat sofa-sofa besar tertutup kain dan plastik berdebu. Sebentar kemudian ia tersenyum.
Sejumput senyuman yang bagi Rein terkesan aneh. Jantung Rein semakin berdetak kencang, seakan melompat saat Angie melangkah mendekatinya.
Rasanya hampir sama saat tangannya digandeng Dio, sang idola kampus. Dulu.
'Ah, mengapa, Dio?' seru batin Rein. Matanya terpejam, mencoba menghilangkan bayangan sang idola kampus.
"Mengapa Rein? Kau takut padaku?"
"Ti... Tid... Tidak. Ken.. kenapa aku mesti takluk.. emh... takut?" gagap Rein menjawab.
"Kau tahu... aku meminjam tubuhnya, bukan?" tanya Angie. Mata Rein segera membelalak. Nyalinya mengisut. Berulang ia membetulkan letak kacamatanya. Berkali ludah ditelannya. Mimik mukanya kaku. Matanya memutar, menghindar dari tatapan Angie yang begitu dalam.
Rein tetap terdiam, tenggelam dalam ketakutan.
"Apa kau lupa padaku, Rein? Mengapa kau tak pernah mengunjungiku lagi? Bukankah rumah ini adalah rumah kita berdua?"
"Apa maksudmu?" tetiba muncul nyali dalam Rein.
Wajah Angie mendekat. Sangat dekat, hingga pipi chubby-nya hampir menyentuh pipi kiri Rein. Dengan mata yang membelalak dan senyum yang menyeringai bak serigala hutan kelaparan, Angie menatap Rein. Mendekat. Hampir lekat. Sedang Rein tak punya nyali membalas tatapannya.
Angie meremas pundak Rein dengan kuat. Seakan tubuh mungil Rein sekarang ada dalam kuasanya. Sedang Rein bergulat dengan rasa takut. Saat itu, hanya satu saja keinginan Rein. Pingsan.
"Aku menunggumu lama. Kau tahu itu? Kau pengantinku, Rein. Aku mencintaimu. Dan tak akan kubolehkan siapa pun mendekatimu. Tidak pula tubuh gempal ini. Kau mengerti??!!"
Rein ingat. Ya, di rumah besar ini. Ia melekatkan janji. Pada Arsen. Tapi Arsen hanya sosok astral kawan semasa kecilnya dulu. Saat ia belum tahu, Arsen hanya sebatas makhluk lain dunia.
Kawan kecil yang sering diajaknya bermain di taman, yang menemaninya saat semua orang menganggapnya anak aneh dari lain dunia. Arsen yang bercerita, Arsen yang bercanda, Arsen yang menepiskan semua duka.
Arsen yang pernah mengisi dunia kecilnya.
"Sekarang kau harus memilih. Angie harus mati sementara kau boleh pergi, atau kau yang tetap tinggal di sini? Pilih!" tubuh Rein akhirnya terlepas dari cengkeraman Angie.
"Arsen...mengapa kau..."
"Aku mencintaimu, Rein. Dari dulu. Kau tahu itu?"
"Tapi kita lain dunia, Arsen. Bagaimana mungkin... "
"Aku tidak peduli. Kau milikku, Rein. Titik."
"Tidak! Kau tak bisa memilikiku!"
Tetiba tubuh gempal Angie terlempar jauh ke sudut tembok, kepalanya terbentur sudut kaki piano. Darah keluar dari pelipisnya.
"Angie!" teriak Rein berlari menghampiri tubuh sahabatnya.
Sesosok makhluk berjalan menghampiri Rein yang menangis memeluk Angie. "Kau puas?" sahutnya pelan dekat telinga Angie. "Aku memberimu kesempatan sekali lagi, Rein,"
"Arsen, kau tidak pernah mencintaiku," kata-kata Rein tertelan tangisnya. "Kau mengambil orang yang kusayangi. Apa bedanya kau dengan mereka yang menghinaku?" teriak Rein.
Kembali tubuh gempal Angie terlempar lebih jauh lagi. Kini kepalanya terbentur jam kuno besar di ruang gelap lagi besar.
Darah segar segera mengalir. Mengucur lebih deras dari belakang kepala Angie. Sementara, tubuh gempal itu kini hanya tinggal tulang dan daging tanpa nyawa.
"Angie!" teriak Rein lebih kencang. Suaranya terdengar lebih lantang. "Arsen!! Hentikan!!"
Sosok Arsen mendekati Rein pelan. Diraihnya raut muka mungil Rein. Tak urung, satu ciuman dingin dan beku membaur dengan bibir merah mungil Rein siang hari itu.
====
Dua minggu berlalu. Semenjak kejadian di rumah tua. Begitu banyak surat kabar dan media online mengumandangkan warta tentang meninggalnya seorang mahasiswi yang sedang menyelesaikan tugas ilmiahnya secara misterius.
Tak pernah ada yang tahu bagaimana gadis itu meninggal dunia. Sementara seorang kawan yang bersamanya mengerjakan tugas kampus, kini raib bagai tertelan bumi. Entah di mana....
"Aku menunggu dengan sabar,
Di atas sini melayang-layang
Tergoyang angin menantikan tubuh itu"
*Solo, mengalun bersama Resah (Payung Teduh)
Posting Komentar untuk " Rein dan Rumah Tua"