Tragedi Mansion Fiene
BAB 14
Tragedi Mansion Fiene
Bulu roma Flora Aurora Bunga merinding. Bola mata hijaunya berputar-putar tidak keruan. Ia gelisah. Ia merasa Segara ada di sekitar dirinya, sedang mengawasinya, tengah memperhatikan apa saja yang ia kerjakan. Beberapa kali ia melirik kanan-kiri atau menoleh ke samping, seperti copet pemula yang takut tertangkap basah. Di sisi lain, sesuatu di dalam dadanya menginginkan pertemuan dengan Segara. Ia merindukan lelaki itu. Ia menginginkan pertemuan dengan lelaki itu. Ketakutan bercampur kerinduan ternyata mengerikan.
Avere iba melihat alis Flora bertaut, duduknya gelisah, dan tegang melihat sekeliling. “Apa sebaiknya kuantar kamu pulang?”
"Boleh," ujar Flora. Mendadak tengkuknya terasa dingin, seperti ditempeli kantung batu es, ketika matanya bersirobok dengan pria paruh baya di pojok kanan kafe. Lelaki paruh baya itu malah langsung berdiri dan berlalu. Ia mengedikkan bahu. Bergidik. Sambil menggenggam jemari Avere ia berkata, “Ayo pergi!”
***
Segara mengacak-acak rambutnya. Ia melenguh seperti sapi bunting yang kesakitan menahan rasa lapar. Betapa tidak, ia merasa berada di puncak bahagia tatkala berhasil menemukan Flora, mencintai gadis bermata hijau itu sepenuh hati, dan cintanya pun berbalas, lalu takdir mengempas tubuhnya ke lembah menganga. Ternyata Flora yang ia cintai adalah adiknya sendiri, adik kandungnya yang terpisah sejak kanak, adik yang di dalam raga indahnya mengalir darah yang sama dengan darah yang mengalir di tubuhnya.
“Bangsat!”
Ia berteriak. Ia meracau. Ia mengutuk masa lalu.
“Kenapa mesti begini, Tuhan?!”
Ia berteriak lagi. Ia meracau lagi. Ia mengutuk masa lalu lagi. Ia mengutuk dirinya sendiri yang susah payah memupus cinta di dada, cinta terlarang, cinta kepada adik kandungnya, cinta yang dalam seperti cinta Sawerigading kepada We Tenriabeng dalam epos La Galigo.
Karaeng Matterangi terlonjak mendengar teriakan Segara, tetapi ia diam saja.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Paman?" Sagara menunduk, meninju permukaan meja, dan urat di lehernya terlihat tegang. Ia mendongak, memandang wajah pamannya—Karaeng Matterangi. “Ada apa sebenarnya, Paman?”
"Ibumu, Segara,” jawab Karaeng Matterangi dengan suara pelan, “sebelum menghilang, dia berpesan untukmu. Kata ibumu, biarlah masa lalu terbenam ditelan bumi. Kelak jika kamu sudah dewasa, buang jauh-jauh dendam yang bersarang di hatimu. Kamu tidak akan pernah tenang jika dendam tetap kaubiarkan bersarang di dadamu. Masalah akan terus muncul. Terus begitu.” Ia berhenti sejenak. “Kata ibumu, Segara, cukup dia saja yang menderita.”
Segara menyergah. "Tidak mungkin, Paman, dendam ini tidak bisa luntur begitu saja.”
"Ingat, Segara, ibumu sudah menanggung pahit masa lalu,” ucap Karaeng Matterangi berusaha menenangkan Segara. “Cukuplah, Nak, jangan ditambahkan lagi. Kita pulang saja ke Turatea, tanah kelahiranmu. Tidak ada yang menunggumu melebihi ketabahan tanah kelahiran."
Sagara bergeming. “Rencanaku sudah bulat, Paman. Craen Mark harus mati. Ini sirik. Ini soal harga diri. Aku tidak mau nipakasirik atau dipermalukan. Ia telah menghancurkan hidupku, ayahku, dan ibuku. Gara-gara bajingan tengik itu aku mencabik-cabik kesucian adikku. Tidak ada maaf bagi Mark, Paman.”
"Kamu bisa terluka, Nak!”
“Itu risiko, Paman.”
“Sebelum engkau terlalu jauh melangkah, berhentilah!”
“Paman tahu, pantang bagi orang Makassar terluka di punggung.”
“Paman tahu, Nak.”
“Pulanglah, Paman, aku tetap akan meneruskan rencana untuk melenyapkan Mark. Kylian menghilang, tetapi kehilangannya merupakan alamat bahwa Mark sudah dekat."
Karaeng Matterangi mendesah. “Masih ada kesempatan untuk mengubah keputusan, Nak.” Meski ia merasa bagai menasihati tembok, ia tetap berupaya membujuk Segara. “Darah yang tumpah tidak akan mengubah suram masa lalumu.”
“Pulanglah, Paman!”
***
Pelan-pelan Segara memasuki Museum Pergamon. Kakinya menjinjit. Napasnya tertahan. Tubuh tegapnya bersandar ke dinding untuk menghindari cahaya laser yang dapat memapas daging dan memancas ototnya. Jika tidak hati-hati, tangan atau kaki atau pahanya bisa terpotong. Ia juga tidak boleh asal menginjak lantai. Sekali keliru, alarm akan membangunkan penjaga yang baru saja ia cekoki ramuan pelelap. Meski begitu, ia tetap tenang. Pengalaman menjebol pengamanan ketat di Museum MÃ rkisches untuk mencuri Kapak Algojo ternyata sangat membantu. Kini ia berada di ruang pusaka di tengah balairung Museum Pergamon.
Rasa penasaran ingin lekas-lekas memegang Pedang Tranchant mengusik dada Segara. Syahdan, pedang yang menyerupai keris Jawa itu memiliki kekuatan mistis. Ia tertegun saat tiba di depan sebuah meja dengan kotak kaca tebal di permukaannya. Tiap sisi kaca merekat lekat tanpa sambungan. Hanya ada panel dengan kotak kecil di tepi tengah meja. Dadanya berdegup kencang. Sambil menahan napas, kopi sidik jari di filamen tipis segera ia tempelkan ke panel. Hanya dalam hitungan detik, sisi kotak di depannya amblas ke dalam meja. Pedang Tranchant terpajang menunggu jemarinya.
Segara menyeringai. "Tunggu pembalasanku, Mark!”
Ia meraih pedang pusaka dengan amat hati-hati. Pelan-pelan ia tarik gagang pedang dan ia tercengang: benar-benar menyerupai keris Jawa dengan tujuh lekuk. Pedang Tranchant tidak terlalu panjang, bahkan tidak sepanjang siku Segara. Ia tempelkan pedang itu ke bibirnya. Aroma maut menghambur ke cuping hidungnya.
“Aku akan menghabisimu, Mark, dengan senjata yang paling kaukuasai. Pedang!”
Ia sarungkan pedang pusaka yang sudah ia incar selama lima bulan. Ia melenggang keluar dari balairung Museum Pergamon. Tiap-tiap ia lewati penjaga, ia tersenyum.
Para penjaga tertidur dalam keadaan terduduk.
Segara bergegas menuju persembunyian Craen Mark. Ia sudah tahu di mana lelaki bejat itu menetap. Bajingan itu bersembunyi di Mansion Fiene—sebuah mansion di kawasan Nicholas Quarter, tidak seberapa jauh dari Hackscher Markt. Tampaknya Mark sengaja bersembunyi di sana agar bisa menghilang setiap berada dalam keadaan terdesak. Mark hanya perlu berjalan kaki selama 15 menit maka ia akan segera tiba di Hackescher Markt—pusat transportasi penting yang menjadi nadi kehidupan malam di Mitte, Berlin. Stasiun berbentuk bujur sangkar itu terletak di ujung timur Oranienburger Strasse. Mark bisa melarikan diri dengan mudah dari pusat transportasi itu.
Begitu ia tiba di rumpun palm di sisi luar tembok mansion, Segara segera membentang cetak biru mansion yang ditempati oleh musuh bebuyutannya. Ada dua gerbang. Satu di depan, satu di belakang. Pada tiap-tiap gerbang terdapat pos jaga. Ia tidak tahu berapa banyak centeng yang menjaga tiap gerbang, tetapi ia tidak peduli. Dengan tali hawserlaid, ia memanjat pagar bak monyet memanjat kelapa. Kakinya mendarat tanpa suara di atas rumput-rumput halus, tepat di rumpun bunga yang tidak terjangkau kamera pengawas.
Mata Segara bergerak lincah mengamati kondisi. Tatkala melihat seorang penjaga hilang di balik tembok rumah, ia berlari kecil menuju dinding. Dadanya berdebar kencang ketika derit pintu kecil di bagian samping dapur. Ia menahan napas. Hatinya lega ketika tidak melihat siapa pun di dapur. Ia sudah hampir tiba di ujung rencana balas dendam. Ia hanya perlu menemukan kamar utama tempat Mark merebahkan badan. Tetapi, ia tidak boleh gegabah. Ada dua kamar utama di lantai satu. Ia tidak tahu kamar mana yang ditempati oleh bajingan tengik yang tidak lama lagi akan meregang nyawa di kapak dan pedangnya.
Ia tidak mau mengambil risiko kedapatan menerobos rumah orang. Dengan lincah ia buka kunci pintu. Tubuhnya bagai melayang saja memasuki kamar. Ia langsung menuju tempat tidur. Perasaan aneh merayapi pikirannya. Tidak, ini kamar perempuan. Aroma vanila menyerbu hidung. Ia tahu benar aroma itu. Flora. Buru-buru ia sibak selimut. Perempuan yang lama ia rindukan, yang adalah adiknya sendiri, yang beberapa bulan belakangan ini mengacaukan pikirannya, kini lelap di depan matanya. Tidak, aku tidak boleh tergoda. Benaknya memasang alarm hati-hati, tetapi hatinya malah menuntun jemarinya mengelus rambut Flora. Air matanya menitik. Satu demi satu terjatuh dan menghangatkan pipinya.
Flora terjaga. Ia merasa sepasang lengan memeluknya dari belakang.
Ia berbisik, “Segara!”
Ia kenal lengan kekar itu. Ia mau bangkit, duduk, dan menyapa lelaki yang sudah lama ia nanti-nanti kedatangannya, tetapi ia tidak ingin melepaskan rasa tenteram yang kini tengah menyelimuti hatinya. Ia tetap memunggungi Segara dan membiarkan punggungnya bergerak-gerak menahan tangis. “Kamu ke mana saja?”
“Maafkan aku, Flora!”
***
Kota Berlin tengah tertidur ketika seseorang memasuki kamar Craen Mark. Lelaki itu tidak bersuara sedikit pun. Ia berjengket amat hati-hati. Bahkan napasnya pun tidak terdengar. Meskipun sudah tahu kebiasaan Mark, ia tetap waspada. Tiga pelayan sudah ia cekoki uang puluhan juta. Kebiasaan Mark sudah ia pelajari dengan saksama. Pukul satu dinihari, seperti kata pelayan, Mark terbaring di peraduan. Tidak ada pengawal, tidak ada perisai. Ia tinggal menancapkan pedang maka hidupnya akan tenang sepanjang hayat. Ia menyeringai. Tibalah saat yang telah lama ia nantikan. Menghabisi Craen Mark, perantau dari Nusantara yang terkenal mahir berkelahi. Tetapi, mana ada lelaki yang awas dalam kuasa alkohol?
Habislah kamu, Mark!
Lelaki itu lekas-lekas menghunjamkan pedang pendek tepat di jantung Mark. Pedang itu menusuk deras, menembus kasur, dan meledaklah rasa senang di dada lelaki berkulit pucat itu. “Mati kau, Mark!”
Tiba-tiba lampu kamar menyala.
“Bangsat kau, aku membayarmu bukan untuk membunuhku!”
Erina Purba
Bekasi, 17 Agustus 2021
*Cerita ini fiktif belaka. Kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata. Selanjutnya, Bab 15, akan digubah oleh Mas Han.
Posting Komentar untuk "Tragedi Mansion Fiene"