Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

BAB 20 : Buket Casablanca Lily Putih, Doa Untuk Kesembuhan

 

Sumber foto : Tokopedia


<SEBELUMNYA


“Ky… Ky… Kylian … ?” Flora mengerjapkan mata hijaunya beberapa kali. Ia masih tak memercayai netranya. Malam itu sosok yang dikenalnya berada di hadapan. Muncul tiba-tiba dengan menodongkan senapan semi otomatis ke mukanya.


Assasin didikan pertempuran Afganistan itu menarik kedua ujung bibirnya. Sinis. Pandangan tajamnya menusuk hati Flora.


“Mau apa kau kemari ?” tanya Flora, sambil tetap mengacungkan pistol hitam yang memiliki peluru berdiameter 5,7 x 28 mm. Dipegangnya FN Five-seven itu erat-erat dengan kedua jemari tangannya.


“ Hmm… apakah menurutmu aku tampak seperti orang yang sedang mengajak kencan kamu… ?” Kylian menjawab dengan suara basso cantante yang khas. Mengingatkan kepada suara sexy Louis Armstrong saat mendendangkan What a Wonderful World.


“Bagaimana kau tahu rumahku? Apakah kau menguntit aku dan temanku saat perjalanan pulang? Apakah kau berniat merampok? Apa yang sebenarnya kau cari? Uang…? Harta…?” Flora membombardir Kylian dengan pertanyaan bertubi-tubi. 


Sementara itu jantungnya berdetak cepat. Semakin cepat. Perasaan terkejut, takut, cemas, dan khawatir bercampur aduk menjadi satu di dalam hatinya. Keringat dingin meleleh dari kening, menjalari sekitar tengkuknya, lalu merambat ke seluruh tubuhnya. Rasa ingin muntah kembali mengaduk-aduk perutnya. Bahkan saat ini mual itu sudah naik ke atas. Terasa seluruh isi perutnya hendak keluar.


“Ha… ha… ha… ha…,” Kylian tak mampu menahan tawa mendengar rentetan tanya Flora. Dalam hati ia menyayangkan, “mengapa harus Flora yang menjadi putri dari Craen Mark? Mengapa pula Flora yang harus menjadi kekasih Segara? Seandainya saja ia bukan anak dari pembunuh ayahnya. Seandainya saja Flora bukan orang yang dicintai Segara. Seandainya saja ia berjumpa Flora di suasana yang berbeda, mungkin saja. Agghhh ….” Angan Kylian yang kemana-mana seketika terputus dengan pertanyaan Flora.


“Mengapa kau diam? Tak mau menjawab pertanyaanku? Kau bilang, tugasmu meredam dendam. Dendam apa? Dendam siapa? Apakah dendam selesai dengan memasuki rumah orang lain tanpa permisi? Sungguh tak masuk akal, ” lagi-lagi Flora memberondongkan tanya tanpa henti. 


Apa yang diingatnya tentang Kylian, tiba-tiba menyeruak. Pertanyaan-pertanyaan yang pernah berkecamuk di pikirannya, dilepaskannya pada pria di hadapannya. Kepalanya saat ini kembali terasa sangat pusing, ada yang terasa menekan batok kepala belakangnya. Telinganya berdenging. Dan penglihatannya semakin kabur.


“Oh… Jangan seperti ini lagi di saat yang tak tepat,” keluh Flora dalam hati. Lengannya terus mengacungkan pistol, namun tungkainya terasa lemah tidak kuat menahan tubuhnya, sehingga ia jatuh tak sadarkan diri.


***


Flora memicingkan penglihatannya. Kelopak matanya terasa hangat. Silau matahari menyapanya. Kesadarannya bangkit perlahan. Di depannya terhampar tembok luas bernuansa krem pastel. Lembut. Flora merasa ini bukan kamarnya.


Ditolehnya ke sebelah kanan. Sebuah tirai merah maroon tersibak di ujung jendela kaca nan luas dengan 3 bingkai persegi sebagai pembatasnya. Jendela kaca permanen sebelah kiri tampak bersih, menyajikan pemandangan luar yang indah. Lubang angin di sebelah kanan adalah jendela kaca yang dapat dibuka, terawat, dan terasa mengalirkan udara segar dari luar. Bangunan besar bernuansa terracotta dikelilingi pepohonan besar yang sebanding, menyejukkan mata dan juga pikiran. 


Di sebelah kirinya, tampak nakas berwarna putih bersih. Di atasnya ada senampan makanan yang masih tertutup rapat oleh kover plastik kedap udara. Semangkuk sup minestrone yang berisi kacang  dan sayuran. Di sampingnya terletak pie daging dan bawang serta sayuran kukus pada sebuah piring putih. Ada satu buah pisang kuning yang tampaknya menggoda untuk disantap juga. Flora merasakan lapar saat memandang makanan itu.


Saat masih berusaha beradaptasi dengan keadaan sekelilingnya, tiba-tiba dua orang wanita mengetuk pintu kamar Flora lalu masuk ke dalamnya. Seorang wanita muda cantik berkacamata, berambut ikal pirang, memakai kemeja berwarna biru muda lengan panjang dengan atasan jas berwarna putih dan celana hitam. 


Di belakangnya, seorang wanita setengah baya dengan topi kap di kepalanya, berseragam terusan berwarna merah muda, mendorong troli stainless steel 2 rak. Rak atas berisi sphygnomanometer, termometer, nierbecken berisi spuit dan beberapa ampul obat. Sedangkan rak bawah berisi tumpukan map file medical record pasien yang di-visit hari ini.


“Selamat pagi, Nona Flora Aurora Bunga. Perkenalkan, saya Frau Dr. Med Kathrin Beinecke. Saya dokter jaga pagi ini. Apa kabarnya hari ini?” sapa wanita cantik lulusan Humbolt University Berlin itu dengan senyum manisnya.


“Oh… saya di Rumah Sakit ya, Dok?” Flora baru menyadari bahwa ia saat ini sedang ada di ruangan di sebuah Rumah Sakit.


“Iya, Nona Flora Aurora Bunga. Anda sekarang ada di Rumah Sakit St. Hedwig. Bagaimana keadaan Nona pagi ini ?” tanya Dokter Kathrin sekali lagi.


“Panggil saya Flora saja, Dokter Kathrin,” Flora merasa kurang suka dipanggil Nona. Ia merasa seolah sedang diajak berbincang oleh pelayan di rumahnya. 


“Pagi ini rasanya saya baik-baik saja. Hanya saja, beberapa minggu terakhir saya merasa tidak baik-baik saja,” dan Flora pun bercerita tentang kecemasan dan ketakutannya serta apa yang dirasakannya kepada Dokter Kathrin.


Sambil bercakap-cakap, Suster yang menemani Dokter Kathrin melakukan tugasnya. Mengukur suhu tubuh dan  mengukur tekanan darah Flora. Ia juga membantu merapikan bed pasien. Saat itu tiba-tiba dilihatnya bercak darah di seprei putih…


“Nona Flora, apakah Anda saat ini sedang datang bulan ?” tanya Suster.


“Oh… saya tidak tahu,” Flora terkejut dengan pertanyaan Suster.


“ Mari saya bantu untuk berganti pakaian,” dengan cekatan Suster membantu Flora untuk mengganti baju dan memakaikan pembalut wanita. Seprei bed pasien pun ditukar dengan yang baru.


“Nah, berarti kecurigaan Flora tidak terbukti kan??? Anda tidak sedang hamil,” kata-kata Dokter Kathrin bagaikan guyuran es di tengah padang gurun, melegakan hati Flora.


Syukurlah, bukan tanda-tanda kehamilan seperti yang dicemaskannya. Namun, di sisi lain, Flora bingung. Lalu apa arti dari semua gejala-gejala yang dirasakannya selama ini ?


“Lalu, kenapa saya sering merasa mual dan muntah, ya Dok? Tangan dan kaki saya sering terasa lemas tiba-tiba, pandangan mata saya juga kadang-kadang tiba-tiba kabur. Telinga tiba-tiba berdenging. Dan yang teramat mengganggu, sakit kepala yang akhir-akhir ini semakin memburuk. Biasanya saya cukup memijit-mijit kepala saya sendiri kalau kecapaian, atau kalau sudah parah saya meminum Ibuprofen saja, bisa teratasi semua sakit kepala itu. Tapi… kenapa sekarang terasa lain ya?” 


“Baiklah, Flora. Kami akan melakukan serangkaian tes penunjang untuk menegakkan diagnosa keluhan yang Anda rasakan. Apakah Anda bersedia untuk dilakukan pemeriksaan yang lebih spesifik?”


Flora mengangguk dengan yakin. Ia ingin segera mengetahui penyebab ketaknyamanan selama beraktivitas akhir-akhir ini. Lalu ia segera mendapatkan perawatan yang diperlukan, agar kesehatannya pulih seperti sedia kala. “Saya ingin sehat kembali, Dokter Kathrin.”


***


Langit menggurat jingga ketika senja datang menjelang. Terdengar gema roda troli besar didorong di sepanjang lorong ruang VIP RS St. Hedwig.


“Tok...tok...tok...” Tiga kali ketukan di pintu kayu terdengar dari kamar perawatan Flora. 


Seorang wanita paruh baya mengantarkan senampan makan sore. Terlihat sepiring schnitzel atau daging ayam berlapis tepung bersanding dengan Spatzle. Dan pelengkapnya semangkok salad dan cake yang diletakkan dalam mangkok terpisah. Tampaknya sangat menggugah selera makan Flora.


“Silakan bersantap sore, Nona. Semoga lekas sembuh,” sapa wanita itu dengan ramah. Lesung pipitnya cantik menghias kulit wajahnya yang mulai berkerut di beberapa tempat.


“Terima kasih, Bu, ... Korrie,” jawab Flora, sambil sepintas melirik papan nama tertempel, pada bagian dada sebelah kanan seragam wanita pengantar makan sore itu.


“Sama-sama, Nona... emm, ... ehhh... Oh, maaf, saya tidak tahu nama Anda,” jawab wanita yang ternyata bernama Ibu Korrie itu. 


Nama lengkapnya adalah Korrie Bannimasse. Ia sangat senang, karena ada pasien yang menyebut namanya. Tanda bahwa seseorang begitu memperhatikan keberadaan orang lain, bahkan juru masak rendahan sepertinya.


“Panggil saja saya Flora, Bu...” jawab Flora dengan senyumnya. 


“Baik, Nona Flora...” 


Sesaat dua pasang mata itu saling bertatap lekat. Flora menatap takjub pendar mata Ibu Korrie yang memantulkan warna sama dengan warna matanya. Hijau. Ibu Korrie tak kalah terkejutnya ketika menyadari hal yang sama. Mereka berdua terdiam sesaat. Sunyi. 

Hawa sejuk mengalirkan rasa hangat aneh yang tiba-tiba merasuk dalam hati masing-masing. Oh... Perasaan apakah ini? Keduanya terhanyut dalam pikirannya masing-masing.


“Halo Flooo..... Apa kabar hari ini?” Senyap itu akhirnya mencair dengan kedatangan Avere yang menenteng tote bag di tangan kanannya.


“Permisi..., saya melanjutkan tugas saya dulu,” ibu Korrie buru-buru berpamitan dan berlalu dari kamar Flora.


“Cantik ya ibu itu, seperti aura kecantikan yang memancar dari wajahmu,” puji Avere. “Sayangnya...,” Avere menggantung kata-katanya, sambil tersenyum dengan pandang mata menggoda. Lega rasanya melihat keadaan Flora yang terlihat baik-baik saja.


“Sayangnya apa... Hmm...? Kenapa baru datang sore ini, Avere ? Aku kesepian seharian ini,” rajuk Flora.


“Maafkan, Floo... Seharian aku sibuk dengan event yang besok akan dibuka. Jadi baru setelah jam makan siang tadi aku meneleponmu. Dan yang mengangkat teleponmu Nyonya Laura. Kami bercakap-cakap sebentar tadi. Betapa ia mengkhawatirkanmu. Lihat, apa saja yang dititipkannya padaku saat aku bilang akan menjengukmu sore ini,” jawab Avere sambil mengangsurkan tote bag itu pada Flora.


Flora tertawa kecil menerima tote bag itu. Dilihatnya isi di dalam tas itu. Beberapa helai baju dan ... Yess. “Nyonya Laura tahu, betapa kesepiannya aku tanpa benda ini,” Flora menimang ponsel pintar dengan casing turquoise itu sambil membayangkan wajah cemas Nyonya Laura, pelayan kesayangannya yang ada di Mansion Fiene.


“Hei, semalam di rumahmu ada ‘pesta besar' ya? Aduh, aku ngeri mendengar cerita Nyonya Laura. Untunglah penjahat itu angkat kaki tanpa membawa kabur dirimu.” 


Dan kemudian dua sahabat itu saling bercerita hingga malam mulai larut. Sampai akhirnya Avere mohon diri karena sudah tiba waktu bagi Flora untuk beristirahat,  karena esok Flora sudah harus menjalani serangkaian pemeriksaan yang tentu membutuhkan kondisi prima.


Sepeninggal Avere, Flora masih belum bisa memejamkan matanya. Bayangan Kylian tiba-tiba berkelebat kembali, kemunculannya yang tiba-tiba sambil membawa M4A1 di hadapannya membawa tanda tanya. Lalu berganti dengan bayangan dokter Kathrin yang mengagendakan jadwal pemeriksaan lanjutan esok hari. 


Juga pertemuan dengan Ibu Korrie yang menelusupkan perasaan hangat aneh di hatinya. Semua tanya itu membuat kambuh sakit kepala Flora. Segera diputarnya musik dari ponsel pintarnya. Diletakkannya di samping bantal dekat telinganya, seperti kebiasaannya selama ini. Lagu I knew i loved you-nya Savage Garden mampu menenangkan Flora dan membuainya ke alam mimpi.


***


Hari ini Flora bangun dengan lebih segar. Ia merasa badannya lebih nyaman dibanding kemarin. Dilihatnya tirai jendela pada sebelah kanannya sudah terbuka kembali. Kaca jendela sebelah kanan juga terbuka, menawarkan kesejukan udara pagi memasuki paru-parunya. Satu senyuman tersungging dari bibir Flora. Mensyukuri anugerah nafas kehidupan yang masih ia hirup hingga saat ini.


Cuping hidung Flora kembang kempis. Ia mencium aroma wangi yang begitu dikenalnya. Dicarinya sumber harum itu di kamarnya. Ia menoleh ke sebelah kirinya. Di nakas putih bersih itu telah terhidang sarapan pagi yang menggugah selera. 


Semangkuk bubur dengan topping suwiran ayam, cakue dan daun bawang yang diletakkan di piring terpisah. Ada sebutir telur ayam rebus juga di sana. Ahh... Flora jadi merindukan bubur ayam Jakarta yang dulu pernah jadi salah satu makanan favoritnya.


Dan hei…… di samping nampan makanan itu, ada sebuah buket cantik di dalam sebuah vas bunga yang terbuat dari bahan kristal berwarna bening. Buket dengan mahkota bunga yang menyerupai trompet berwarna putih bersih. Di tengahnya menjulur putik sari kehijauan yang berpadu serasi bersama daun-daun menghijau. Batang bunga yang telah dipotong di ujungnya, terendam oleh air di dalam vas bunga.


Cassablanca Lily. Satu jenis diantara sekitar 108 jenis lily di seluruh dunia yang begitu popular. Bunga Lily sebagai simbol kepolosan, identik dengan keagungan. Hal ini dikarenakan bentuk bunga Lily yang indah dan kaitannya dengan sebuah istilah era Victoria yaitu “Virgin Mary”. Bunga Lily ini memang banyak dikagumi para penggemar bunga hias. Warnanya cantik. Berukuran besar dengan wangi segar. Bunga ini banyak digunakan sebagai penghias ruangan.


“Siapa yang mengirimkan buket Lily putih ini, ya?” Flora terheran-heran dalam hati.


Flora pernah membaca, bahwa dalam budaya China, Lily adalah simbol kesembuhan. Seseorang memberikan buket bunga Lily kepada sahabat ataupun kerabat sebagai bunga ucapan turut berdukacita dan menghibur yang sedang sakit hati. Ada keyakinan kuat bahwa bunga Lily banyak menolong dalam  pemulihan rasa cemas dan depresi. Dan buket Lily itu sepagi ini telah menghias kamarnya. 

Diraihnya vas bunga itu dengan tangan kirinya yang terbebas dari belitan infus. Didekatkannya ke hidungnya dan dihirupnya wangi Lily itu sekuat tenaganya. Ia ingin menghirup wanginya, seolah memasukkan semua energi bunga Lily itu untuk menguatkan jiwanya yang rapuh dan juga raganya yang lemah.


Pagi itu Flora bersemangat menghabiskan sarapan bubur ayamnya yang terasa lezat di lidahnya. Sambil sesekali ia tersenyum memandang bunga Lily putih di atas nakas di samping tempat tidurnya. 


Ada doa permohonan kesembuhan yang terpancar dari sana. Doa tulus untuk kesembuhan Flora. Mendadak Flora seperti mendapat kekuatan baru untuk menjalani kehidupannya. Setidaknya, menjalani pemeriksaan penunjang yang harus dilaluinya hari ini.


“Aku harus sehat, aku pasti sehat...” batin Flora berulang-ulang dalam hatinya.


Sementara itu, Flora tak menyadari, ada sepasang pendar mata hijau dari balik pintu yang menyempatkan diri menengoknya kembali diam-diam, setelah ia selesai menjalankan tugasnya menyajikan sarapan pagi ke seluruh ruangan kelas VIP itu. Hati wanita paruh baya itu menghangat. Pagi itu, ia pulang dari dinas shift malamnya dengan berjuta rasa bahagia.


***


Dua hari kemudian, Dokter Kathrin Beinecke mendapatkan pesan singkat di ponselnya. Pesan singkat dari Dr. Med. Alexander Lippkowski. Isinya tak panjang, tapi cukup membuatnya bimbang. 

Ia menahan nafas saat membacanya: “hasil CT Scan dan MRI pasien a.n Nona Flora Aurora Bunga, suspect D32.0. (Benign Neoplasma of Cerebral Meninges). Ada kecurigaan mengarah ke stadium 3. Kita perlu diskusi lanjut untuk kasus ini.”


“Oh... suspect Meningioma. Semoga belum terlambat menanganinya,” batin Dokter Kathrin. Dalam hatinya ia memanjatkan doa kesembuhan untuk pasien cantiknya bak peri bermata hijau itu.

***


BERSAMBUNG

Catatan :

*Cerita ini adalah fiksi, nama-nama tokoh, tempat dan peristiwa merupakan rekaan semata.

*Bab 21 akan digubah oleh Wahyu Sapta.

* Meningioma adalah tumor yang terbentuk di meninges, yaitu selaput pelindung otak dan tulang belakang.

Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "BAB 20 : Buket Casablanca Lily Putih, Doa Untuk Kesembuhan"

DomaiNesia