Aksara Bening: Burung Kertas
Ilustrasi burung kertas (foto: Ryo02x2 Via Pixabay) |
"Dan terjadi lagi?"
Lentik jemari melipat kertas putih di atas meja. Dua sisi dilekatkan menjadi satu. Dan Dibentuk menyerupai burung, lengkap dengan kedua sayapnya. Ujung runcing ditekuk membentuk paruh. Mengabaikan suasana menyebalkan di ruang kelas sepuluh.
Ulfa dan origami. Dua puluh burung kertas bersarang di dalam tas. Duduk di deretan depan, membuat perasaannya tak karuan. Pelajaran belum dimulai. Namun sepertinya, ketegangan berkunjung lebih awal.
Dengung dari dua sosok di depannya tak dihiraukan. Ulfa beralih menatap Ibeng yang tiba-tiba berdiri dari bangku di deretan belakang. "Tak bisakah kau berhenti mencampuri urusan orang lain?" Bibirnya berdecak. Lirih suaranya menyayangkan.
Ibeng tak pernah berubah. Ia berusaha melakukan pembelaan. Anak baru di depan kelas terlihat seperti terdakwa. Dan Ibeng seolah tak terima pada teguran yang dihempaskan pada anak baru itu. "Ah, semakin lama."
Dalam benak Ulfa, ia masih saja bocah sok jagoan yang suka ikut campur urusan orang. Tak peduli siapa yang dihadapi. Ia ingat, sewaktu di kelas tujuh, Ibeng pernah memukul seorang lelaki dewasa. Penjual kembang gula di depan sekolah. Tindakan pahlawan karena si penjual kerap mencolek pipi siswi-siswi yang membeli.
Hari berikutnya si penjual sudah diusir pihak sekolah. Desas-desus ia ditangkap polisi karena tindakan asusila. Namun bukan karena Ibeng, tetapi karena Ulfa yang melaporkan ke pihak sekolah.
Sedangkan Ibeng hanya mendapatkan luka lebam dan benjol di kepala. Penjual kembang gula itu melakukan perlawanan.
"Ara, Arrahma Septiani." Suara lembut, mengalun bak desir angin memecah lamunan Ulfa.
Ulfa menatap gadis sebaya dengan senyuman. Matanya mengisyaratkan ketenangan. Bibirnya terbuka, menuntun Ara untuk mengucapkan kata maaf. Dan ia yakin, ketegangan akan selesai.
Membisu hanya akan membuat Ibeng semakin terpacu menyambung lidah. Di dalam kelas, murid-murid lain sudah gelisah. Raut wajah beku seakan berkata, kami ingin memulai pelajaran dengan tenang. Bukan perang.
"Maafkan saya."
Deru halilintar membuat suasana kian tegang. Ara terkesiap, lantas mengikuti ujung telunjuk sosok di depannya untuk mendapatkan tempat duduk. Di deretan belakang. Tempat yang seolah disediakan bagi barisan anak-anak pengekor. Dilabel berdasarkan nomor urut dan nilai kelulusan.
Empat baris meja di depan, masing-masing memiliki lima deret ke belakang. Yang pintar di depan. Dan yang dianggap belum pintar serta cenderung berisik, dijauhkan di deretan terakhir.
Ulfa tahu pasti, Ibeng memilih tempat duduknya sendiri. Di kelas ini, hanya deretan bangku yang memisahkan jarak. Ia dan Ibeng sudah saling mengenal, sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. Dekat. Pergi dan pulang bersama.
Dan sial, Ibeng malah menganggap Ulfa sebagai kakak. "Usia kita hanya selisih dua hari, benjol!" Itulah protes yang biasa Ulfa lemparkan pada Ibeng. Mereka biasa berkejaran di pematang sebelum berpisah di pagar rumah.
"Siapkan buku! Bukannya melamun!" Menyusul hentakan penggaris kayu bergetar di atas meja.
"Sial! Eh, Siap. Maaf!"
Respon latah Ulfa justru berhasil mengurai ketegangan, dan memicu riuh tawa di dalam kelas. Ia menarik nafas panjang, bersiap menatap dan melahap mata pelajaran. Di hari pertama, di kelas sepuluh.
**
Indra Rahadian
Posting Komentar untuk "Aksara Bening: Burung Kertas"