Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Aksara Bening : Kabut Pagi

Foto oleh Achraf Alan dari Pexels

"Hujan?" 

Tekanan suara yang dalam. Seketika, seisi ruangan terdiam. Tak seperti di luar yang bising dengan hunjaman butir-butir hujan. Kelas itu hening.

Ara tertunduk. Matanya menatap kotak-kotak berwarna putih yang menghiasi lantai. 

"Coba cari alasan lain?" 

Ara mulai menghitung barisan kotak-kotak di lantai. Diam adalah pilihan paling masuk akal. Memilih alasan baru, akan membutuhkan penjelasan baru. Akhirnya bermuara sebagai bahan bakar pemicu nada marah yang baru. Ara tak menginginkan itu. 

 "Kenapa diam?" 

Lagi. Nada suara yang tajam, menusuk gendang telinga Ara. Siswi baru kelas sepuluh itu tetap membisu. Kepalanya tetap tertekuk. Menyembunyikan wajahnya di ujung sepatu.

Bagi Ara. Hujan adalah pelabuhan segala alasan. 

***

"Sial! Ini baru hari pertama." 

Di kursi paling belakang, persis di pojok kiri ruangan. Ibeng bergumam sambil mengepalkan buku-buku jarinya. Matanya menatap dua sosok yang sejak tadi berdiri di depan kelas. 

Ibeng sangat mengenal salah satunya. Tak hanya seorang guru. Tapi seorang pemburu. Tak akan pernah melepaskan target yang telah ditetapkan dengan percuma. 

 Hanya butiran hujan yang sibuk bernyanyi di halaman sekolah. Di dalam kelas, wajah-wajah beku anak baru menyimak pertunjukan kaku di depan kelas. Dalam bisu. 

"Sampai kapan kau mau berdiri di sini?" 

Lagi. Ibeng mendengar susulan kalimat tanya di depan kelas. Sebuah monolog. 

Dingin pagi, telah menyatu dengan bara amarah di dalam kepala Ibeng. Kedua unsur itu membentuk gumpalan kabut tipis. Perlahan berubah menjadi sekawanan asap tebal yang mencari jalan keluar. 

"Kenapa harus ada alasan?" 

Sebuah peluru menderu mengusik bisu. Seisi ruangan semakin membeku. Ibeng telah menjadi lakon ketiga di depan kelas, dari sebuah tontonan dramaturgi yang tak perlu terjadi. 

"Apa urusanmu?" 

Satu hardikan menggema. Dalam hukum belantara rimba. Tak ada pemburu nomor dua. Dalam sebuah pertarungan, hanya ada satu pemenang. Dan, seorang petarung pasti mewariskan darah seorang petarung. 

"Aku..." 
"Diam! Kembali ke bangkumu!" 

Wajah Ibeng mengeras. Matanya menatap lurus pada sosok di hadapannya. Sepuluh jari tangannya mengepal kaku. Membentuk bongkahan batu. 

"Aku akan duduk, jika dia..." 

Suara yang nyaris mendesis. Seperti raja kobra yang menemukan sebuah sarang tikus. Ibeng menatap sosok beku, yang berada di sisi kirinya. Berdiri dalam bisu. Masih menatap ujung sepatu. 

Bagi Ibeng. Tak butuh alasan untuk segala jawaban. Tapi butuh sebuah nama untuk melakukan pembelaan. 

Sepasang mata mengurai sekat pagi yang berkabut pekat. Mungkin dengan satu pertanyaan singkat. Akan ada satu wajah beku terangkat. 

"Namamu siapa?"

Laju waktu memberi tahu. Tak akan pernah ada jawaban, tanpa pertanyaan. 

Curup, 06.10.2021
Zaldy Chan
Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "Aksara Bening : Kabut Pagi"

DomaiNesia