Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Aksara Bening: Sebuah Titik

 

Pexels.com

"Garis itu adalah himpunan titik-titik!"

Satu kalimat meluncur deras dari depan kelas. Wajah-wajah kaku tak mampu berpaling. Pemilik suara itu telah membuktikan, siapa sesungguhnya yang berkuasa pagi ini.

Aih, kalimat itu lagi! Ibeng menggerutu. 

Bagi Ibeng, kalimat itu telah menjadi setrika. Entah sejak kapan, bolak-balik di liang telinganya. Perbedaannya hanya pada hasil akhir. Jika setrika merapikan pakaian yang kusut, maka kalimat itu mengusutkan pikiran yang rapi. 

"Kalian butuh banyak titik untuk menciptakan garis! Hari ini, memilih sekolah di sini, adalah titik ketiga bagi kalian. Agar kalian bisa mengukir garis kehidupan di masa depan!"

Wajah-wajah beku semakin terpaku. Hanya satu kepala yang bergerak ke atas dan ke bawah. Mungkin menganggukkan tanda setuju. Kepala milik Ulfa. 

Ibeng meraih buku tulis. Memilah dua lembar kertas yang berada persis di tengah. Tanpa suara, kertas itu sudah tergeletak di atas meja. Tangan kanannya yang sejak tadi memegang pulpen, bergerak ringan membuat tulisan. 

Ibeng tersenyum. Wajahnya kembali di arahkan ke depan kelas. Tapi diam-diam jemarinya, menggeserkan kertas di atas meja ke sebelah kanan. 

Ara terkejut dengan gerakan senyap yang terjadi di atas meja. Matanya segera membaca dua kata yang ditulis dengan huruf besar-besar, dan terpampang jelas di hadapannya.

Aku Ibeng

Satu lirikan dan satu anggukan pelan. Hanya sekejap. Ara merasakan sesuatu yang ganjil sedang menelusuri tubuhnya. Sesuatu yang belum bisa dimengerti. Hanya bisa diwakili rasa hangat di wajahnya. Perlahan kepala Ara tertunduk.

Lagi. Satu gerakan senyap kembali mengusik Ara. Pulpen berwarna biru sudah tergeletak di atas kertas. Pemilik pulpen itu kembali tersenyum. Kali ini tertuju padanya. 

Ara mengerti yang diinginkan sosok bernama Ibeng. Lelaki yang saat ini duduk di sebelahnya. Ara meraih pulpen.

Aku Ara

Dengan senyum tertahan. Ara menggeserkan kertas ke hadapan Ibeng. Tak berjeda, Ibeng segera menulis balasan.

Udah tahu. Tulisanmu bagus!

Suasana hujan dan suara menggelegar dari depan kelas mengundang rasa bosan. Ara  berusaha menahan tawa usai membaca tulisan di atas meja. Dan, memutuskan terlibat dalam permainan. 

Terima kasih. Tulisanmu jelek!

Kertas itu menjelma sebagai papan tulis. Bukan terpasung di dinding di depan kelas, tapi di atas meja. Di barisan paling belakang.

Orangnya juga!

Gak! Lebih jelek!

Jahat!

Biarin!

Tega!

Biarin!

Kali ini, kertas itu berubah lagi menjadi setrika. Harus melakukan gerakan bolak-balik di atas meja. Merapikan suasana.

Tapi kamu cantik!

Ara mengeja kalimat di baris terakhir. Dan memutuskan, sudah waktunya permainan harus berakhir. 

"Jika kalian ingin membuat garis lurus, jangan memulai dari salah!"

Lamat-lamat, Ara mendengar kalimat tegas yang datang dari depan kelas. Tapi matanya masih terpaku menatap tulisan di kertas.

Ibeng juga mendengar kalimat itu, dan sangat tahu, kalimat itu adalah kalimat penutup. Pertanda, penguasa di depan kelas akan berganti. Ibeng pun mengerti, perjalanan senyap selembar kertas di atas meja itu harus terhenti.

Tangan Ibeng bergerak cepat. Mata Ara sekilas membaca tulisan di barisan paling akhir. Sebelum kertas itu lenyap dari atas meja. Berpindah ke saku baju Ibeng.

Ini hanya sebuah Titik

Curup, 19.10.2021

Zaldy Chan

Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "Aksara Bening: Sebuah Titik"

DomaiNesia