Bab 23. La Résurrection d'une Dame
Bab. 23
La Résurrection d'une Dame
"Bangsaaat!!" teriakan panjang keluar dari sepasang bibir mungil simetris sempurna.
Sesaat kemudian hening. Hanya terdengar suara kecipak air sungai Siene dan pecahnya sebuah tangis seorang wanita muda. Bahu ramping wanita itu berguncang. Ada sebuah luka yang masih meradang, belum sembuh benar. Luka yang sengaja dibiarkan begitu saja.
Bahkan air hujan yang terjatuh tipis bercampur air mata yang membasahi pipi halusnya tak mampu memadamkan nyala api penyesalan dalam benaknya. Begitu saja derai air langit dibiarkannya membasahi rambut hitam sebahu yang dibiarkan lepas terurai.
Sepasang matanya nanar menyusuri gemulai arus Siene. Airnya begitu lembut dan tenang mengalir dijatuhi hujan yang begitu tajam membalut pagi berkabut. Tatapan sunyi sosok wanita dengan mantel tebal serta syal coklat tua seakan mampu membuat beku Siene dalam sekejap. Bersama dingin angin Desember yang terjatuh bergumul dengan rintik hujan pun tak mampu lagi menahan langkah kakinya mengurai pagi tanpa matahari.
Suara sepatu bot dari kulit, berhak tinggi dan besar, membelah jalanan senyap Beauceville. Sebuah kota kecil di pinggiran Prancis, yang tersohor dengan bulir-bulir gandum terbaiknya. Sementara kini kabut pekat menudungi ladang gandum desa kecil di tepian Sungai Loire.
Mata hijau wanita itu berkilat, seakan dinding kabut tebal tak mampu menghalangi pandangannya. Sorot matanya begitu tajam bagai bidikan elang. Meski jalanan tak kasat mata terhalang kabut yang sedang terbang merendah, wanita itu tetap berjalan satu arah. Entah karena intuisi atau sekadar terbiasa, sepasang kaki panjang dan langkai berbalut jeans ketat melangkah menuju sebuah kedai makan sederhana dengan warna pintu toska.
Aroma kayu manis bercampur vanila segera berhamburan menggerayangi setiap sela tubuh ramping wanita muda bermata hijau, selekas ia melepas mantel tebal serta syal yang menutupi leher jenjangnya. Bau wangi parfum langka Joy Jean Patou betebaran mengisi ruang kecil kedai yang hanya dihuni dua orang pengunjung. Blouse sutra putih dengan dua kancing atas yang dibiarkan terbuka menambah manis wanita yang kemudian duduk di sudut ruangan kedai.
"Lady...akhirnya kau datang juga," dua lengan wanita tua penuh uban di kepala telentang lepas memeluk wanita yang dipanggilnya, Lady. "Tunggu, aku buatkan kesukaanmu."
Wanita beruban itu segera menyusup ke dapur kedai, kemudian kembali lagi bersama semangkuk kecil cake hangat dengan aroma kayu manis yang begitu kuat.
"Kemarin aku baru saja dapat kiriman cengkih dan pala dari Jawa. Kau mau aku buatkan nasi kuning beserta sambal goreng dan telur dadar seperti menu kesukaanmu di Rue de Vaugirard¹?"
Wanita yang dipanggil Lady hanya tersenyum sedikit dan menggeleng pelan. Lalu jawabnya, "Non, merci.²"
"Basil cream ravioli?" Lady kembali menggeleng pelan. "Pour le petit- déjeuner?"³
"Ini saja cukup," suara Lady yang sedikit serak terdengar begitu seksi. Setidaknya beberapa pria menganggapnya begitu. Tak lama, sesendok kecil chocolaté souffle bertabur bubuk kayu manis meleleh di dalam mulut merah Lady. Dengan segera theobromine⁴ melucuti syaraf cortex-nya yang membeku bercampur tetes air hujan merinai.
"Maafkan keterlambatanku, Maman*" sahut Lady dengan senyum yang sedikit kepada wanita beruban, yang ternyata ibu kandung Lady.
"Non. Tidak. Kau tepat waktu, Lady. Tapi, apakah kau yakin akan pergi ke Paris? Ayolah tinggallah di sini bersamaku," ujar si wanita beruban. Lady terdiam. Wanita tua itu pun tahu benar betapa keras kemauan anaknya. "Baiklah, baik bila itu maumu. Ibu sudah mengatur semua. Perjalananmu, rumah, pekerjaan, uang saku, sekaligus identitas barumu, Lady Chantal."
'Hhhh, andai saja dendammu mampu kuusir, anakku. Andai saja kau tahu Segara yang menyembunyikan ibumu di Beauce,...' air mata Karmila menggenang selepas kalimat yang terpatahkan.
Lady mengurai senyumnya. Sedikit. Lalu mata bulat hijaunya kembali menyapu jalanan dari balik kaca jendela kedai.
Jantungnya berdetak semakin kencang. Darah mengalir deras dari bilik ke aorta. Kulitnya serasa kebas. Pori-porinya bagai mati rasa. Pembuluhnya menegang, badannya terasa menghangat.
Bukan!! Bukan hangat, terasa begitu panas!!! Seluruh tubuhnya membara oleh api yang mendidihkan darahnya. Membuat setiap sudut ruang kedai klasik nan sempit itu bagai terbakar.
Lady menggigit sedikit bibir bawahnya seiring ingatan yang membawanya terbang pada peristiwa malam pembunuhan Flora. Ya, malam saat tubuhnya gigil menahan racun dari sayatan badik di lengan kirinya malam itu, membuat tubuhnya membiru dan membeku mulai dari jemari tangan, kaki, hingga ia harus kehilangan kesadarannya.
Ia hanya mengingat selepas perayaan Bastille, saat ia sendiri demi sebuah pertemuannya dengan Kylian di apartemen mewahnya. Malam biadab bagaimana seorang Kylian berusaha membunuhnya usai rangkai romansa mereka berdua.
"Bagaimana, sayang? Sisakan tenagamu untuk berdoa. Hanya satu orang saja yang menyimpan penawar racun badik ini. Kakek buyutmu, Mappasomba Kala yang kini telah berkalang tanah. Dan kali ini aku tak akan menyelamatkanmu, cintaku. Hahahaha," tawa Kylian begitu lepas. "Tadinya kupikir akan lebih menarik bila isi perut indahmu kukeluarkan juga, sayang. Tapi, malam ini kita telah menikmati sebuah kepuasan. Jadi, kuputuskan, kau harus mati perlahan. Satu lagi, nikmatilah sendirimu, itu pesan Segara," dengan langkah pembunuh bayaran kelas atas, Kylian pergi meninggalkan Flora meringkih sendiri menahan darah yang terus keluar dari perut dan lengannya.
Deret ingatan Flora masih membujur lurus. Sebelum Kylian datang, sebuah pesan singkat dari nomor asing mengaliri selulernya, "Segera pergi ke Beauce bila kau terdesak."
Hanya dengan berbekal pesan singkat malam itu, Flora berusaha melarikan mobilnya dengan kencang, menghilang bersama legamnya malam menembus pohon-pohon besar di tengah hutan. Sementara racun dari badik dengan sumpa' kale, badan badik yang berukir kecil sebuah inisial nama yang dalam sekejap menoreh racun maksiat, perlahan menggerayangi setiap inci syaraf tubuhnya.
Keparat!! Mengapa mereka ingin membunuhku? Mengapa aku begitu bodoh mempercayai Kylian? Dan... mengapa ia juga menyebut nama Segara?
Benak Lady Chantal begitu penuh selidik. Pertanyaan yang selalu hilir mudik ramai mengusik. Beragam tanya menelisik, tanpa ragu lagi ia bergumam dan berbisik, "Balas dendam. Lihat, apa yang akan aku lakukan pada kalian berdua. Kau Kylian dan kau, Segara."
Mata Lady kembali menatap kabut yang mulai menipis terurai sinar matahari yang merasuki bumi. Lama ia menatap jalanan yang masih saja terlihat lengang.
Sementara benaknya semakin bergejolak, pikiran masa lampau datang bertubi bagai angin badai yang mampu kembali meniup air seluruh samudera tertumpah menggenangi dunia dua orang yang bertarung dalam pikirannya.
Aku bukan lagi Flora Aurora Bunga. Aku bukan lagi wanita yang bisa kalian nikmati hanya untuk sejengkal dendam. Aku dulu adalah mayat yang kalian impikan. Tetapi kini, akulah yang akan menghantui setiap mimpimu, Segara! Dan aku pastikan, aku sendirilah yang akan menghunus badik beracun kakek buyut ini tepat ke dalam jantungmu, Kylian!!
"Kau bangsat!!" umpat Lady pelan. Jemarinya mengepal begitu kuat. Raut muka dan matanya kembali memerah menahan amarah yang siap ia lepaskan tanpa menunggu perintah.
"Tenangkan dirimu, anakku," peluk wanita beruban yang tak lain adalah Karmila, sosok ibu yang selama ini dicarinya.
"Maman," lirih suara Lady tertelan tangis yang akhirnya pecah dalam peluk hangat sangat Karmila. "Ini kedua kalinya mereka berupaya membunuhku, Ibu. Apa salahku? Andai saja Ibu tidak menemukan aku di hutan malam itu lalu membawaku ke Beauce, aku pasti hanyalah seonggok daging tanpa nyawa," setetes air hangat memaksa keluar dari sudut mata bulat Flora yang kini bernama Lady Chantal.
Sinar matahari tenggelam bersama aroma cerutu yang menggulung, hilang, lalu punah tertelan ingatan tipis seorang Marradia.
Siene masih saja berkilau sama seperti 25 tahun yang lalu. Ketika angin lembut April memenuhi Jardin des Tuileries. Saat sengat bintang besar sang Surya, telah terbangun dan mendirikan kemah di angkasa raya, ingin merebahkan sinarnya ke atas tanah Paris meski harus menelusup di balik dedaunan di sela gemericik air di selatan taman.
Hangat angin pagi membelai rambut ikal dewi mungilnya. Warna hitam yang ia dapatkan dari Karmila Karaeng Maradina.
Jemari tangan kecil, begitu mungil, dan sepasang mata bulat yang menatah indah setiap bayangan yang hadir di dalamnya. Semua milik Flora selalu membuat setiap orang berpaling mengagumi gadis kecilnya, dari pada mengaggumi deretan mahakarya Maillol atau Monet di sebelah selatan taman.
Kulit lembut Flora kecil, begitu sempurna, berpadu dengan wajah oval menjadikannya benar-benar bak peri bermata hijau. Pahatan presisi raut muka Flora kecil pun semakin hangat dengan senyum manis yang merekah setiap kali keping coklat berjejal di mulut mungilnya. Seakan tiap keping coklat seharga 15 dolar per ons itu berlomba memberi theobromine, sekadar selimut hangat bagi lidah lincah puteri kecilnya yang begitu memukau.
Sekejap kemudian ingatan tua Marradia membawanya kembali di tepian Siene.
Januari mulai memenuhi jalanan Paris dengan salju putih. Sementara beberapa orang begitu malas melawan dingin di luar rumah, Marradia tua memilih duduk di tepi Siene yang masih mengalir bahkan tiap tetes airnya bakal emas berkilau diterpa sinar temaram lampu kota terpenjara salju yang kian deras jatuh. Tertumpah dari kuali langit.
"Flora, di manakah kau, anakku?" tangan keriput Marradia segera menghapus pelan raut mukanya.
Hypercar Bugatti Centodieci membawa Craen Mark membelah jalanan Paris, berjalan perlahan ke arah Cimetière du Père-Lachaise. Pemakaman tua yang selalu penuh sesak dengan wisatawan, seakan ingin melegalkan romansa Paris dalam balutan gotik. Sesaat mata Craen Mark menangkap sesosok wanita muda berambut hitam legam, bertubuh ramping mengenakan mantel hitam, melintas di antara kerumunan wisatawan yang mengunjungi makam Jim Morison, sang musisi kondang.
Segera ia berlari menelusup keramaian wisatawan. Sungguh! Entah dari mana datangnya intuisi ini. Craen Mark begitu yakin, ia adalah Flora. Ya, Flora yang telah diberitakan meninggal di salah satu kolom berita Le Figaro. Sebuah pembunuhan misterius. Sedangkan mayatnya hilang tak dapat ditemukan.
Kini sesosok bayangan wanita berkelebat mengisi batin Craen Mark. Namun suram angkasa Paris membawa bayangan Flora melesap. Hilang di antara kerumunan wisatawan.
(posted by Lintang Ayu)
=============
¹ Sebuah ruas jalanan di Paris sebagai salah satu destinasi wisata kuliner. Salah satu restoran dengan masakan Indonesia yang terkenal di Rue de Vaugirard adalah Restoran "Indonesia".
² Tidak, terima kasih.--penerj.
³ " Itu untuk sarapan?" ---penerj.
⁴ Salah satu zat kimia yang terkandung dalam coklat. Sebuah studi menyatakan bahwa theobromine mampu memicu endorphine, salah satu hormon dalam tubuh kita yang berfungsi sebagai komponen penyusun perasaan bahagia.
* Maman adalah sebutan ibu. --- penerj.
** cerita selanjutnya akan dianggit oleh Marcellia Claudia
Posting Komentar untuk "Bab 23. La Résurrection d'une Dame"