Bab 25 Tanpa Judul
Foto oleh Vincent M.A. Janssen dari Pexels |
Bab 25
Tanpa Judul
(Tapi Segara mengurungkan niatnya untuk menghubungi nomor Flora kembali. Sekarang bukan saatnya berbicara pada gadis bermata hijau. Ia tahu siapa yang lebih tepat dihubungi…..)
Braaakkkkk!!
Gawai dalam genggamannya terjatuh dan berserakkan, jawaban yang terdengar sesaat kemudian menghilang, lenyap. Taksi online yang ditumpanginya berhenti mendadak seperti habis menghantam sesuatu dengan hebat. Kepala Segara membentur sesuatu yang keras.
*
Helai-helai daun Kasturi berwarna coklat berserakan memenuhi pelataran gereja yang masih nampak sepi. Rasanya rindu ini belum mau menepi, sejak saat itu, sejak perjumpaanku dengan momen sakral beberapa tahun silam. Gereja yang pernah menjadi saksi perjalanan imanku.
Aku menyusuri gereja yang memiliki arsitektur unik. Tradisional dan konservatif tetapi dengan sentuhan modern. Cat yang berwarna abu-abu menambah rona gaya arsitektur aristokrat modern gereja di Kota Tinutuan ini.
Hari ini aku ingin bercengkerama sejenak dengan kenangan. Mencoba memanjakan memori-memori kala itu.
Mataku menyapu ke segala sudut gereja, tak sadar beberapa saat terhenti di salah satu sudut dimana Pohon Kayu Hitam Minahasa itu masih terlihat kokoh. Dia juga saksiku saat melayani dulu. 44 menit tak terasa telah bersenda gurau dengan memori itu. Rasanya selalu tak pernah ada kata cukup untuk bernostalgia dengan kenangan indah kala itu.
Parkiran gereja sudah mulai didatangi kendaraan umat. Satu persatu mulai kulihat barisan umat yang memasuki pelataran gereja dengan pakaian elegan dan rapi. Beberapa wanita dewasa menggandeng anak-anak kecil yang rata-rata berpipi bakpau, roti kukus isi berwarna putih kesukaanku. Pipi anak-anak itu nampak menggambarkan sukacita mendalam karena ingin menjumpai Tuhan di Sabat Kudusnya.
Keadaan gereja telah cukup ramai. Parkiran hampir penuh, berbeda ketika aku tiba tadi. Misa dimulai pukul 11.00 di tengah terik matahari di bulan kedua kemarau, biasanya saat-saat ini cukup sepi. Hanya kali ini, umat terhipnotis oleh kharisma Sang Rama yang memimpin misa saat ini, Rama FX. Arkatma Hrttstta, rama yang memimpin misa sabat ini punya pesona yang menarik dalam berkotbah. Hal yang secara esensi mungkin bisa dipersepsikan salah, kembali pada sudut pandang masing-masing, kita pun tentu tidak berhak masuk hingga ranah pada itu. Penghakiman bukan porsi kita, itu sebuah pilihan. Termasuk dendam, ada yang berpikir dendam merupakan sebuah hal yang harus diselesaikan, mata ganti mata, tetapi di lain pihak, cinta merupakan obat penawar terhebat untuk menuntaskannya.
Aku biasa duduk di pojok dekat dengan Ruang Maria. Di mana umat biasa berdoa sebelum atau setelah misa. Cukup adem dan tenang, sangat mendukung situasi saat itu. Di tengah puncak kemarau sekalipun. Pendingin ruangan yang sering tidak berdampak di sana itu terasa sejuknya.
Lima menit menjelang misa dimulai keadaan masih cukup ramai. Orang datang dan masih saling sapa menghiasi sekelilingku. Aku tidak terlalu peduli dengan kondisi sekitar.
Lonceng tanda imam dan petugas liturgi berbunyi. Arak-arakan mulai masuk gedung gereja. Keadaan cukup hening. Koor dan organ memainkan musik penghantar misa yang tidak meriah kali ini. Perasaanku tidak enak, seolah telinga dan mataku diajak untuk terarah ke belakang, samping, di mana ruang doa itu berada.
Entah bisikan dari mana, memaksaku untuk menoleh ke sebuah tempat yang tak jauh, kulihat ada kerlip samar merah, kudengar ada detak yang teratur, samar-samar. Benda asing tepat di kaki Bunda Maria, dalam kotak karton bekas minuman mineral, tampak terbungkus rapi. Apakah ini semacam halusinasi?
Aku ingat, sekelebatan tadi ada laki-laki muda dengan pakaian biasa, tidak mencolok, keluar dari sana. Hanya saja apakah ia yang meninggalkan benda aneh itu. Aku mendekat, abai sejenak akan misa yang hampir dimulai.
Perasaan makin tidak enak, kala tanda salib diucapkan Pastor aku ikut membuatnya di dahi, dada, dan sambil mendekati karton itu. Detak itu makin keras dan nyala itu makin terang.
"Boooomm!!", bisikku tercekat, tidak tahu harus bagaimana, akhirnya dengan nekat aku angkat dan pelan meninggalkan gedung gereja. Aku tidak mau membuat panik umat yang sedang antusias bersama Tuhan dan imam ‘berkharisma’ idolanya.
Gelap, panas, dan selesai.....
Duarrrrr!!!!!!!!!! Dentuman suara meledak membahana di pelataran gereja. Bunyi ledakan yang cukup kuat terdengar menjadi 'polutan' duka yang mendadak mewarnai misa hari itu.
Aku masih ingat betul, hentakan dan tekanan kuat dari bom itu tidak hanya menyerakkan tebaran helai-helai lembaran daun Kasturi berwarna coklat ke segala penjuru mata angin. Jauh dari kerumunan dan kini aku sudah selesai dengan tugasku di dunia. Dunia yang penuh dinamika, keindahan, dan kadang juga duka yang mendalam
Hari ini adalah hari pertamaku hadir kembali di misa gereja, setelah beberapa tahun silam masa-masa ‘kegelapan itu. Masa yang tidak terlalu sulit tapi juga tiak mudah dilewati. Masa yang tidak dimiliki oleh semua orang. Pengalaman berharga, perjumpaan indah dengan sebuah ‘komitmen dan pilihan’ tetapi harus terkubur dan lenyap, karena luka.
Cita-cita menjadi gembala itu pupus, usai aku terjebak pada ‘flooding’ di masa lalu. Arus deras yang tidak bisa aku tahan dan menghantam keseluruhan struktur pribadiku yang membuat aku ‘mundur’.
Apa daya, berjalan dua tahun aku dicampakkan oleh yang kusebut ‘takdir’ (benar dan tidaknya merupakan persepsiku sendiri) dan itu membuatku hancur lebur. Hidup rohaniku lenyap tidak berbekas. Ke gereja aku malu dan segan, merasa tidak pantas lagi. Sapaan, panggilan, telpon dari Pastor aku abaikan.
Makin jauh tersesat jalan hidupku karena pelampiasan kecewa, sedih, malu, dan juga tidak berdaya. Aku mulai main perempuan, obat-obatan, apalagi bekerja di dunia malam yang membuatku makin kalap.
Entah mengapa, semalam kerinduan datang ke pojokan itu demikian kuat. Aku langsung mencari penerbangan terakhir ke kota 1000 gereja ini, bersyukur bahwa aku masih bisa mengunjungi gedung gereja impian itu. Apakah aku kecewa hanya mengantarkan nyawa?
Orang-orang mulai berteriak dan menjerit sejadi-jadinya. Langkah-langkah kaki kudengar berderap menjauhi tubuhku. Bau amis darah dan aroma hidrogen klorida sempat kucium serta menusuk hidungku seketika. Pihak keamanan gereja bertindak cepat menutupi tubuhku dengan kain putih seadanya. Syukurlah tidak ada satupun yang mengenaliku. Malah ada yang mungkin menduga aku adalah pelakunya.
Ruangan ambulans yang tiba dengan kilat membawaku ke Rumah Sakit di Jalan Raya Tanwangko kota ini. Supir ambulans samar-sama kudengar menyebutkan alamat tujuan kemana tubuhku akan dibawa.
Lamat-lamat masih bisa kudengar namaku disebut, "..tiket penerbangan kelas eksekutif ini atas nama Bayu Segara, cocok dengan kartu identitasnya-nya... " Tapi setelah itu gelap, sangat gelap, tapi kemudian nampak pendaran sinar yang cukup terang di ujung sana.
Lalu, wajah itu menari-nari, wajah peri bermata hijau, dengan wajah berseri, setelah itu pandanganku menjadi gelap dan tak terdengar apapun juga…
Bersambung
Bab 26 akan digubah oleh Ayu Diva.
Posting Komentar untuk "Bab 25 Tanpa Judul"