Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Bab 27. Matterangi Junior

 

Sumber: Amazon.com
Sumber: Amazon.com

Bab 27

Matterangi Junior

 << Sebelumnya

Lantunan do’a seakan terus berdengung. Segala kekuatan spiritual belum mampu menopang tubuh Segara untuk bangkit dari tidur panjangnya. Bahkan hanya sesaat sadar. Rasa sakit teramat sangat di kepala tak bisa dilawan. Sedangkan sekujur kaki dan tangan kanan tidak dapat dirasakan, mati rasa. Hanya tangan kiri yang mampu digerakkan, itupun sebatas menggerakkan jari-jarinya untuk hanya dapat sedikit terangkat. 

Tubuh segara terbaring lemah di ruang Central Clinical Building, Asahikawa Medical College Hospital. Rumah sakit terbaik kelima di seluruh dunia. Terletak di Provinsi Hokkaido, Jepang. Provinsi yang memiliki jarak 1.282 dari Tokyo.

Karaeng Matterangi yang mengetahui kabar dan keadaan Segara, sengaja melarikan ke Asahikawa Medical College Hospital dengan tujuan menghindari sejauh mungkin dari perburuan pembunuh-pembunuh bayaran Craen Mark. Lebih utama untuk segera mencarikan pengobatan medis terbaik mengingat dampak energi gelombang kejut ledakan bom telah menembus sebagian organ vital tubuh Segara.

Kerusakan struktur tulang, memaksa tim dokter mengamputasi kaki kanan Segara tepat di tengah tulang paha kaki kanan. Tidak hanya itu, retak tulang telapak tangan kanan yang cukup parah dan kerusakan jaringan otot menyebabkan tangan kanan Segara lumpuh.

Lebih fatal, serpihan benda dan panas api menghantam dan ada yang menembus kepala bagian belakang. Akibatnya, Segara mengalami gegar otak dan gangguan gerak saraf bicara.

Tim dokter telah memastikan Segara tidak dapat berbicara untuk kurun waktu yang tidak bisa diperkirakan. Meskipun masih mampu melihat dan mendengar, pendengarannyapun tidak lagi sempurna, sebab gendang telinga sebelah kanan telah pecah. Beruntung bagi Segara, dampak energi kinetik gelombang kejut bom yang sempat menghentikan detak jantungnya, masih mampu tertolong dengan bantuan CPR (cardiopulmonary resuscitation) oleh seseorang di tempat kejadian.   

***

Lampu kamar tiba-tiba menyala. Pintu terbuka perlahan dan muncul dua sosok lelaki. Keduanya memakai alat pelindung diri lengkap. Satu di antaranya Karaeng Matterangi yang bergegas mendekati Segara.

Mata Segara berusaha menangkap lebih jelas dua sosok di sampingnya, namun gagal. Perban menutupi mata kiri Segara, sedangkan mata kanan masih samar melihat sekeliling dan terasa pusing kalau dipaksakan.

“Sudahlah Segara. Jangan banyak bergerak. Istirahat dulu.” Bisik Karaeng Matterangi di telinga kiri Segara.

Karaeng Matterangi memandang lelaki yang berdiri di sampingnya.

"Doctor Miyajima. How is Segara doing?”

“Mr. Matterangi. He still need an intensive care for another month or so on his physical as well as trauma recovery.”

“Please give him your best.”

“Absolutely! We’ll do our best.”

“Thank you!”

Segara berusaha menangkap pembicaraan mereka. Tetap saja tidak jelas. Hanya pasrah berbaring dan terus menahan rasa sakit yang luar biasa di paha kanan dan hampir sekujur tubuhnya.

Karaeng Matterangi kembali memandang Segara. Matanya kembali berkaca-kaca dan hanya mampu melenguh pendek. Doctor Miyajima memberi isyarat untuk segera ke luar dari ruang isolasi.

***

Sesampai di ruang tunggu isolasi, seorang lelaki menyambut Karaeng Matterangi. Wajah dan gesturnya mirip Segara. Bahkan sangat mirip. Ibarat pinang dibelah dua.

“Dokter Miyajima, kenalkan anak saya, Matterangi Junior. Namun, mulai saat ini berganti Segara.” Karaeng Matterangi mengenalkan sosok lelaki muda di hadapannya.

“Miyajima.”

“Junior.”

Setelah berkenalan dengan Segara yang sebenarnya Matterangi Junior, Dokter Miyajima pamit ke ruang kerjanya. Karaeng Matterangi memandangi sahabatnya yang telah ia kenal cukup lama. Persahabatan mereka terjadi saat Miyajima menempuh ilmu kedokteran di Harvard Medical School yang telah berdiri sejak tahun 1782 dan diakui kualitasnya oleh dunia internasional.

Karaeng Matterangi bergegas melangkah dan memberi kode ke sosok lelaki mirip Segara untuk mengikutinya. Mereka berdua sigap menuju Gedung Martial Arts. Gedung olahraga tempat menempa ilmu kanuragan yang menggabungkan teknik bela diri, kekuatan dan kelenturan fisik, serta entertainment.

Sesampainya di Gedung Martial Arts, mereka mencari tempat duduk yang cukup tenang sembari melihat pemandangan olah kanuragan ragam Muay Thai, Capoeira, Jiu-Jitsu, hingga Taekwondo. Kesemuanya sudah sangat dikuasai oleh Junior. Kemampuan mumpuni ilmu beladiri yang dimiliki Junior mengantarnya lolos menjadi anggota Green Berets, bahkan masuk dalam jajaran personil terbaik Secret Service.

Sepuluh tahun cukup bagi Junior menempa hidup di medan perang dan perisai orang nomor satu di The White House. Medan spionase Eropa sangat baik dikuasainya. Menyusup ke Cina, Rusia, bahkan Korea Utara pernah dilakukannya. Medan perang Afghanistan adalah ladang menempa kerasnya kehidupan. Penderitaan dan kematian begitu lekat dengan kesehariannya. 

“Kau lihat sendiri kondisi saudara sepupumu, Junior?”

“Ya, Ayah. Secara fisik jelas Segara tidak mungkin lagi membalas dendam dan membunuh Craen Mark.”

“Lantas, apa yang ada di pikiranmu?”

Junior hanya tersenyum tipis dan tidak segera menjawab pertanyaan ayahnya. Sorot matanya menusuk pandang Karaeng Matterangi yang tak kalah tajam. Berusaha membaca alam pikiran yang ada di dalam kepala ayahnya. Pengalaman di jagat spionase internasional memudahkan Junior membaca pikiran orang lain. Jangankan gerak bibir seseorang dari kejauhan, gestur tubuh mampu ia baca dengan cepat dan tepat.

“Apapun yang ayah inginkan, aku sanggupi. Di mana harus kutemui Flora?”

Matterangi diam sesaat. Memandang lekat anak kandungnya yang besar di Amerika Serikat dan hanya Matterangi yang tahu semua hal tentang Junior. Dikeluarkannya secarik kertas dari dompetnya. Junior membaca sekilas, lantas membasahi kertas dengan air mineral, meremas-remas hingga hancur menjadi bubur kertas kembali.

“Anakku, hanya kau harapan untuk menghentikan semua ini. Apapun alasannya, keluarga besar Turatea harus mampu mengubur kutukan Nikapasiri. Semua berawal dari Bumi Turatea dan harus berakhir pula di Bumi Turatea!  

“Ayah akan tetap menemani Segara di sini?”

“Ya, untuk sementara ini demi kesembuhan dan keselamatannya.”

“Perlu tenaga pengamanan?”

“Tidak perlu. Cukup Yakuza lokal yang aku kenal dan tahu betul loyalitasnya.”

***

Peri mata hijau baru saja menghapus pesan dari Karaeng Matterangi ketika sesosok yang sangat ia kenal mendekatinya. Mata Flora berkaca-kaca, sedangkan degup jantungnya seakan ingin meledak. Kabar Segara luka parah akibat ledakan bom di gereja Kota Ruteng membuatnya begitu gundah. Tetapi, lelaki yang sempat dekat dan begitu saja menghilang membuat Flora ingin menumpahkan kemarahannya yang sudah di ubun-ubun. Namun semua berusaha ditahan, semampu Flora.

Segara segera menggenggam tangan Flora. Tidak ada sedikitpun kata sapa dan sekedar basa-basi. Untuk lebih tidak memancing perhatian orang di Lobby Hotel Bulevar Tanjung Duren, pinggang indah Flora segera digamitnya. Segara paham, mengapa Karaeng Matterangi mempertemukannya dengan Flora di Hotel ini. Semata untuk menghindari endusan anak buah Craen Mark.

Flora hanya terdiam saat Segara menggamit pinggang indahnya dan membawakan tas bermerk Calvin Clein milik Flora. Namun, saat genggaman Segara yang hangat mengaliri darah dan menuju otaknya, tak pelak kembali memercikkan kenangan saat pertama kali Flora melenguh dan menggelinjang diantara dengusan napas memburu Segara.

“Mau kemana?” Tanya Flora. Singkat.

“Kamar Deluxe. Malam ini kita harus menginap di hotel ini.”

Flora berhenti dan melepas tangan Segara di pinggangnya. Ditatapnya mata Segara cukup tajam. Bibirnya yang basah bergerak ingin mengutarakan sesuatu. Tetapi, refleks telunjuk Segara tegak lurus menyentuh bibir sensual Flora. Kehangatan menjalar di sekujur tubuh Flora, mampu membuat Flora sesaat terdiam dan menuruti keinginan Segara.

Sesampai di dalam kamar hotel, Segara segera mengunci pintu. Dipandanginnya setiap sudut kamar hotel untuk memastikan tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Flora hanya berdiri terdiam.

“Istirahatlah, Flora. Besok kita ke Jeneponto.”

Flora terdiam mematung. Dilihatnya Segara ke kamar mandi, lantas ke luar kembali dalam balutan handuk putih nan tebal. Melewati Flora yang masih tetap mematung dan mengambil pakaian dari dalam tasnya.

Saat ingin kembali ke kamar mandi, tatapan mata Segara kembali berserobok dengan mata hijau nan indah Flora. Segara paham betul apa yang ada di pikiran Flora. Dia mendekati Flora dan memeluknya dengan mesra. Saat itulah tangis Flora pecah. Mendekap erat pinggang Segara yang sebenarnya Matterangi Junior.


Oleh: Arif.R.S. Probolinggo, 20 Oktober 2021

* Cerita ini hanya fiktif belaka dan akan dilanjutkan oleh Hensa

Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "Bab 27. Matterangi Junior"

DomaiNesia