Bab 28. Secangkir Kopi Hitam di Amsterdam Central Station
Ilustrasi Foto by Rail.cc |
01/
Siang itu Stasiun Kereta Api Amsterdam Centraal begitu sibuk dengan keramaian para penumpang Kereta Cepat Thalys. Mereka yang sudah memiliki tiket, mulai bergegas memasuki gerbong yang sudah tersedia di jalurnya.
Sementara penumpang yang belum memiliki tiket masih mengantri dengan sabar di depan loket pelayanan penjualan tiket.
Thalys adalah kereta cepat dengan rute Amsterdam, Brussels, Paris. Dengan kecepatan 300 km per jam, jarak antara kota Amsterdam dan Paris hanya ditempuh dalam waktu sekitar tiga jam saja.
Craen Mark baru saja memenuhi undangan mantan rekan bisnisnya di Amsterdam Belanda, Frankie Manuhutu.
Frankie adalah rekan saat dulu Mark aktif melakukan jual beli senjata gelap untuk kaum pemberontak di Chehnya. Frankie ini adalah perantara sebagai pemasok senjata gelap dari Amerika.
Perang pembebasan Chehnya dari Rusia dari tahun 1994 sampai 1996. Hasil akhirnya adalah kemerdekaan secara de facto Negara Chechnya.
Craenk Mark dan Frankie Mauhutu hanya sekedar bernostalgia mengenang masa-masa itu. Bagaimana mereka mendapatkan pasokan dari pasar gelap senjata buatan Amerika Serikat dan dijualnya kepada para militant tentara pemberontakan Chehnya.
Frankie adalah sosok berdarah Maluku, anak dari mantan Tentara KNIL yang pada tahun 1951 itu berbondong-bondong pergi ke Belanda.
Saat itu sekitar 12 ribu orang Maluku pindah ke Belanda. Mereka adalah bekas Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang saat itu diburu pasukan Indonesia ketika pemberontakan Republik Maluku Selatan berkobar.
Frankie sendiri lahir di Rotterdam. Sejak kecil dibesarkan di sana. Meski sudah lama bermukim di Belanda, namun Frankie masih mendapat didikan budaya Indonesia.
Mendiang kedua orang tuanya meninggalkan sifat dan karakter ke Indonesia an mereka pada diri Frankie.
Namun sangat disayangkan dunia kegelapan selalu bersamanya sejak dia mengenal seorang Craen Mark. Pria Makasar ini telah banyak berpengaruh dalam kehidupan dan kepribadian Frankie.
Dunia hitam di Eropa dari mulai dunia narkotika, bisnis pelacuran sampai dengan bisnis senjata merupakan pekerjaan yang sangat menarik dia tekuni.
Bisnis gelap itu bagi mereka adalah penghasilan utama dengan keuntungan berlimpah. Beberapa kali pula mereka lolos dari kejaran pihak berwajib karena jaringan relasi mereka yang sangat kuat.
Craen Mark dan Frankie masih bercengkerama sambil menikmati panasnya secangkir kopi dan kudapan ringan di salah satu Food court di ruang tunggu stasiun itu.
Mereka begitu akrab bercerita diselingi tawa meriah keduanya ketika ada hal-hal yang lucu di masa lalu.
Reuni berdua ini hanya sekedar mengulang cerita cerita masa lalu. Suka duka yang sudah mereka lalui bersama.
Namun seperti hukum alam jika ada pertemuan maka pasti ada perpisahan. Reuni berkesan itu harus berakhir. Dua karib itu masih sempat menyelesaikan tegukkan kopi terakhir di cangkir mereka.
Craen Mark harus pergi ketika ada pemberitahuan bahwa Kereta Cepat Thalys akan segera diberangkatkan. Frankie sempat mengantarkan Mark hingga depan peron diiringi senyum penuh arti.
Craen Mark selama ini lebih suka menggunakan transportasi kereta api pada setiap perjalanan bisnisnya dari Paris ke tujuan kota lain di Eropa termasuk Amsterdam ini.
Kereta ini dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap dan nyaman dengan harga tiket yang relatif jauh lebih murah ketimbang tiket pesawat terbang.
Berangkat dari Amsterdam pukul 12.25 waktu setempat melewati dua kota di Belanda yaitu Den Haag dan Rotterdam. Masuk ke Brussel Belgia dan berakhir di Paris.
Ketika kereta berangkat ada senyum kepuasan dari seorang Frankie Manuhutu. Kemudian Pria 60 tahun ini yang masih terlihat sehat dan kekar, mengambil ponsel dari sakunya. Memutar sebuah nomor.
Ketika terdengar sambutan dari ponsel di seberang, Frankie hanya berkata: “Tugas sudah dijalankan. Tolong segera transfer kekurangannya!”
Frankie lalu mendengar suara berat dari seberang sana yang mengiyakan permintaannya. Itu adalah suara Kylian.
02/
Flora Aurora Bunga masih termangu duduk sendiri di Café Maizona, Dago Pakar. Udara dingin Bandung Utara itu sangat menyengat tubuhnya.
Flora tampak gelisah menunggu seseorang. Berkali-kali pula matanya menyapu pintu masuk yang ada di depannya. Gadis cantik yang sering dipanggil Peri bermata hjau ini menghela nafas panjang.
Kali ini matanya di arahkan pada pemandangan indah Bumi Priangan dari puncak bukit itu.
“Flora!” Sebuah panggilan dari seorang lelaki yang sangat dikenalnya.
Seorang lelaki ganteng sudah berdiri di depannya. Segara Ananda Sangguraja dengan senyum khasnya menatap gadis yang selalu dirindukannya.
“Kamu sudah lama menunggu? Maaf perjalanan macet, biasa akhir pekan Bandung selalu macet.”
Flora hanya tersenyum manis memaklumi dengan keterlambatan Segara. Bagi Flora, Bandung penuh dengan kenangan ketika dirinya pernah kuliah di Seni Rupa ITB.
Di sini pula dirinya bertemu dengan Segara saling jatuh cinta dan mengucapkan janji suci.
Pertemuan ini bukan hanya kebetulan tapi memang direncanakan sejak awal. Mereka memiliki agenda untuk berziarah ke Bumi Turatea, tempat dimana leluhur mereka dimakamkan.
Flora Aurora Bunga dan Segara Ananda Sangguraja sama-sama mendarat di Jakarta. Namun Flora ingin mengunjungi tantenya di Bandung sedangkan Segara tetap di Jakarta.
Tadi pagi Segara mendapat telpon dari Flora yang ingin bertemu karena ada berita sangat penting. Untuk itulah mereka bertemu di Café puncak bukit Dago Pakar ini.
“Flora, ada apa? Kamu kelihatan murung.”
“Tidak ada apap-apa.” Ujar Flora pelan sambil melepaskan senyum yang tampak terpaksa.
Segara melihat gadis itu dengan seksama. Di sudut matanya yang indah itu ada setitik air mata.
“Flo! Kamu menangis?” Segara menyodorkan selembar tisu yang diterima Flora untuk mengusap air mata yang di pipinya.
“Ada apa Flo? Ini aku sudah di sini sudah siap mendengar ceritamu,“ kata Segara dengan suara menenteramkan.
“Tadi malam aku menerima berita bahwa Ayah meninggal diracun sepulang dari Amsterdam. Bahkan Ayah sudah meninggal saat masih dalam kereta Thalys.” Suara Flora terdengan seperti sebuah desahan di tengah isaknya.
Sosok Craen Mark bagi Flora adalah sosok ayah yang telah membesarkan dirinya sejak kecil. Craen Mark juga adalah sosok pelindung bagi dirinya.
Pasti kejadian ini sangat besar pengaruhnya bagi perasaan batin Flora. Gadis ini merasa kehilangan orang yang paling dihormati dan dibanggakannya selama hidupnya.
Flora masih ingat terakhir dirinya berdialog dengan Craen Mark yaitu ketika Sang Ayah berpamitan akan memenuhi undangan reuni dari mantan kawan bisnisnya di Amsterdam.
“Siapa yang memberikan kabar ini Flo?” Segara masih penasaran dengan kabar mengejutkan ini.
“Kylian.” Jawab Flora tegas. “Saat itu Kylian memang ada dalam kereta yang sama. Namun dia tidak tahu siapa pelaku yang meracuni ayah.” Flora menambahkan.
“Kylian juga yang mengurus jenazah Ayah untuk diautopsi di Bichat-Claude Bernard Hospital.” Flora kembali menjelaskan kejadian yang diterima dari Kylian.
Segara termenung mendengar penjelasan yang gamblang ini. Maka hal yang tidak masuk akal jika Kylian yang mengurus semua keperluan Craen Mark dari tempat kejadian di atas Kereta Api itu hingga Rumah Sakit. Apalagi hingga pemakaman jenazahnya.
Pihak kepolisian tentu akan menanyakan ada hubungan keterkaitan apa dengan korban? Hubungan keluarga? Risikonya juga sangat besar baginya karena selama ini Kylian selalu mengincar Craen Mark.
Segara kembali teringat Kylian yang pernah bercerita tentang pembunuhan ayahnya, Daeng Sewang, dengan racun mematikan
Saat itu Kylian yang nama aslinya adalah Kamaluddin menduga pelakunya adalah Karraeng Marradia alis Craen Mark.
Namun pengaruh keluarga besar mereka sangat kuat di tengah masyarakat adat. Sehingga perkara pembunuhan itu akhirnya terbelangkai begitu saja tidak ada tindak lanjutnya.
Namun dendam Kylian tidak pernah padam hingga kapanpun. Baginya Craen Mark adalah dendam masa lalu yang belum tuntas. Kenangan kelam itu tak pernah bisa hilang dari hati terdalamnya.
Terbunuhnya Daeng Sewang, ayahanda Kylian beserta kakaknya, Saparuddin yang konon diracun, seakan masih terbayang di depan mata Kylian.
03/
Apakah benar kini Craen Mark sudah tewas? Setidaknya kini bagi Segara tewasnya Craen Mark sudah bukan lagi hal yang penting. Sudah bukan urusannya. Cukup sudah ayah dan pamannya yang menjadi korban.
Segara tidak mau lagi ada darah mengalir karena dendam yang turun temurun. Bahkan demi Flora, dendamnya kepada Craen Mark sudah padam.
Segara menduga Kylian lah yang menjadi pelaku pembunuhan Craen Mark tersebut di kereta cepat Thalys itu.
Namun Segara masih belum percaya. Apakah benar Craen Mark sudah tewas? Lelaki tangguh ini terlalu mudah jika hanya tewas akibat keracunan bubuk sianida.
Segara tidak percaya dengan kabar dari Kylian yang diterima Flora. Bagi Segara yang tahu benar sifat Kylian yang usianya hanya terpaut dua tahun lebih tua darinya, sangat humanis.
Segara masih teringat masa kecil bersama Kylian di Jeneponto. Kylian atau masa kecilnya bernama Kamaluddin adalah teman sparingnya bermain silat. Kylian sangat sportif meski berkali-kali Segara selalu kalah dalam bermain silat tersebut.
Namun andai benar Kylian adalah pembunuh Karaeng Marradia alias Craen Mark, ini sangat masuk akal karena diapun memiliki dendam turunan.
Musuh dalam hidup Segara sama dengan musuh hidup Kylian yaitu Craen Mark yang menewaskan ayah mereka.
04/
Segara mengantar kepergian Flora yang harus pulang ke Paris. Dia baru saja keluar dari area parkir Bandara Soekarno Hatta Jakarta ketika ponselnya berbunyi nada panggil. Nomor tak dikenal terlihat di layar ponsel. Nomor awal kode Prancis.
"Hallo!" Jawab Segara menerima panggilan itu.
"Segara! Kamu. Jangan mau coba-coba meracuniku. Pengecut!" Terdengar suara berat bernada ancaman. Segara hafal benar dengan suara itu. Suara Craen Mark sangat jelas terdengar di telinga Segara.
BERSAMBUNG
Cerita ini sepenuhnya fiktif. Oleh karena itu andaikata ada kesamaan nama, tokoh dan tempat kejadian hanya kebetulan semata.
Bab selanjutnya akan ditulis oleh Muthiah Alhasany.
Posting Komentar untuk "Bab 28. Secangkir Kopi Hitam di Amsterdam Central Station"