AIRA
Masa Kecil Aira
Aira adalah putri dari pasangan Supandi dan Kasmiati yang tinggal di sebuah desa di wilayah Kabupaten Blitar. Ia anak bungsu yang mempunyai 6 kakak laki-laki.
Pak Supandi berprofesi sebagai guru, sedangkan Bu Kasmiati adalah ibu rumah tangga yang ulet, karena ia sangat rajin mencari penghasilan tambahan dengan cara apa saja yang penting halal. Mengapa Bu Kasmiati sampai bersusah payah mencari tambahan penghasilan, karena Pak Supandi adalah guru PNS dengan golongan rendah, memiliki 7 anak, bagi Pak Supandi merupakan beban yang lumayan berat.
Untuk menghidupi istri dan ketujuh anaknya Pak Supandi harus berhutang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari pada beberapa toko yang ada di dekat tempat tinggalnya. Hutang itu sampai menumpuk. Hampir seluruh gaji tiap bulannya hanya untuk membayar hutang, itupun belum bisa lunas. Keadaan ini berlangsung puluhan tahun lamanya.
Meskipun hidup serba dalam keterbatasan, Bapak dan Ibunya Aira tak pernah mengeluh. Semua dijalani dengan ikhlas. Ada hambatan kecil dalam rumah tangga itu sudah biasa, mereka bisa menghadapinya.
Setiap hari mereka menjalani kehidupan dengan penuh semangat dan keyakinan, bahwa suatu saat kehidupan akan berubah. Bahwa semangat dan kemauan yang besar akan mengalahkan aura-aura negatif yang ada.
Pada suatu pagi, matahari tampak gagah memperlihatkan senyuman indahnya untuk semesta. Kicauan burung di dahan-dahan pohon, mulai terdengar. Burung-burung itu baru saja bangun dan bersiap-siap terbang mencari makanan, kicauannya bersahutan membuat suasana pagi itu cukup indah. Di dapur keluarga Pak Supandi terdengar percakapan antara Bu Kasmiati dengan putrinya. Rupanya mereka sedang memasak.
“Aira, tolong bantu ibu memasak di dapur!”
“Iya, Bu. Aira bagian apa?”
“Kamu mengupas bawang merah, bawang putih dan membersihkan cabe rawitnya ya, Ibu akan memasak Bobor Bayam dan Kecambah.”
“Siap, Bu.”
Begitulah keseharian Aira kecil, di rumah. Sebagai anak perempuan satu-satunya yang dimiliki Bu Kasmiati, ia tidak pernah dimanjakan oleh ibunya. Justru Aira sering mendapatkan tugas yang lebih banyak dibanding keenam kakak laki-lakinya. Maksudnya pekerjaan yang lazim dilakukan oleh anak perempuan. Membantu ibu memasak, mencuci piring, menyapu halaman dan sebagainya.
Sejak kecil Aira sudah terbiasa melakukan keperluannya sendiri. Mencuci baju sendiri, menyeterika sendiri. Disuruh ke warung untuk beli keperluan apa saja, sesuai perintah Bapak dan Ibunya.
Aira tergolong gadis yang rajin. Bilamana ibu Aira dimintai tolong tetangga atau famili yang punya hajatan, Aira selalu ikut. Aira tidak hanya diam namun ia selalu melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh anak seusianya.
Salah satunya dari situlah bakat Aira memasak mulai tumbuh. Ia selalu memperhatikan juru masak yang sedang bekerja. Atau ia kadang membantu orang yang membuat kue. Pokoknya apa saja yang bisa ia kerjakan ya ia kerjakan. Meskipun Aira anak yang pemalu, tapi kemampuannya dalam hal memasak selalu dipupuk oleh ibunya.
Aira, Gadis Kecil yang Suka Berpetualang
Masa kecil Aira sebenarnya cukup menyenangkan. Di desa tempat ia tinggal, di tahun 80 an merupakan desa yang masih asri dan nyaman. Tentunya pada tahun itu alat komunikasi dan teknologi belum maju. Namun justru itulah yang membuat Aira dan teman-teman seumurannya menikmati masa anak-anak dengan penuh keceriaan.
“Aira, yuk kita main bekel!” Seru Mimah teman bermain Aira.
“Ayuk, siapa takut. Mainnya di rumahku saja ya, nanti sewaktu-waktu ibuku memanggil, beliau tidak bingung”. Jawab Aira.
Begitulah, hampir tiap hari Aira bermain dengan teman-temannya. Banyak permainan masa kecilnya yang mengasyikkan yang sekarang tidak akan pernah dilakukan oleh anak zaman now. Seperti bekelan, gobak sodor, dakon, loncat tali, kecikan dan lain-lain. Dalam permainan itu Aira sering mendapatkan kemenangan, kecuali permainan loncat tali dan lomba lari. Secara tubuh Aira itu kecil dan tidak tinggi.
Selain permainan yang saya sebutkan di atas, Aira juga sering berpetualang dengan teman-teman kampungnya. Ada saja yang dilakukan. Menyusuri sungai sambil membawa jala sederhana, menjaring ikan kecil dan udang.
Lalu menyusuri pematang sawang sambil bernyanyi-nyanyi riang. Terkadang mencari sisa-sisa kacang tanah hasil panen petani yang masih tertinggal dalam tanah. Ia ambil satu demi satu dikumpulkan untuk dibawa pulang dan direbus untuk cemilan bersama keluarga.
Kadang mencari buah ceplukan pada sawah yang habis panen dan belum akan ditanam lagi. Ada banyak pohon ceplukan yang tumbuh liar, merupakan sasaran petualangan Aira dan teman-temannya.
Tak jarang Aira dan teman-temannya bermain rumah-rumahan. Rumah-rumahan yang dibangun dengan kayu-kayu bakar yang masih belum kering, laksana membangun rumah beneran. Kayu-kayu itu disusun sedemikian rupa hingga membentuk kerangka bangunan segiempat, bagian atas juga ada kayu-kayu yang berukuran lebih kecil dibanding kerangka segiempat tadi. Bagian dinding dan atap, ditutup dengan pelepah daun pisang, bagian lantai digelar tikar yang sudah agak lusuh, atau bekas karung beras.
Setelah rumah-rumahan berdiri, permainan masih terus berlanjut. Yaitu masak-masakan. Masak-masakan namun yang dijadikan obyek adalah makanan beneran. Jadi, mereka menyusun beberapa batu bata yang ditumpuk-tumpuk yang berfungsi sebagai tungku. Sementara untuk kayu bakar, dengan mudahnya dicari. Masak apa mereka? Terkadang merebus singkong, terkadang merebus katak (semacam umbi-umbian tapi merambat dan umbinya menggelantung).
Setelah matang, maka singkong rebusnya dinikmati bersama dalam rumah-rumahan tadi. Sungguh mengasyikkan sekali ya. Pingin rasanya mengulang masa-masa kecil.
Keindahan masa kecil yang sampai sekarang masih terus teringat. Terkadang Aira dan teman-temanya mencari kayu bakar, masuk dalam pekarangan orang. Tak ada yang melarang asal tidak mengambil kayu yang masih di pohon. Silakan saja mengambil kayu yang berserakan di tanah, dulu hal tersebut sudah biasa dilakukan. Pemilik pekarangan tidak akan marah.
Sambil mencari kayu bakar terkadang ada biji kopi yang dijatuhkan kelelawar pada malam sebelumnya, biji kopi dikumpulkan sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi banyak dan bisa ditumbuk, digoreng. Jadilah bubuk kopi yang siap diseduh. Terkadang juga, saat mencari kayu bakar, Aira menemukan jamur yang tumbuh liar. Biasanya jamur itu adalah jamur barat dan jamur trucuk. Sesampainya di rumah, jamur itu akan dimasak oleh ibunya.
“Aira! Ditunggu Nisa, diajak mencari buah jatuh di pekarangan Pak Sudin, sekarang kan musim manggis. Ayuk, nanti keburu diambil teman laki-laki lo!” ajak Ifa.
“Sebentar, aku pamit ibuku dulu ya.”
Kalau musim buah. Aira dan teman-temannya selalu menunggu-nunggu saat itu. Karena petualangannya akan semakin seru. Menyusuri pekarangan orang, terutama pekarangan orang kaya yang banyak ditanami buah-buahan. Ada buah manggis, buah rambutan, buah duku, buah kedondong, buah jambu, buah sawo dan buah kepel.
Mencari buah yang jatuh dari pohon, berebut saling mendahului, dan memakannya bareng-bareng, sungguh petualangan yang mengasyikkan. Padahal tak jarang buah yang mereka makan adalah sisa kelelawar, tetap saja dimakan. Dan mereka baik-baik saja, paling-paling hanya sakit perut. Hahahaha. Jangan ditiru lo ya.
Aira Pandai Mengaji dan Berselawat
Aira mengaji Al-Qur’an pada keluarga Kyai Bajuri. Demi keamanan anak-anak perempuan yang mengaji padanya, maka anak-anak perempuan dihimbau untuk menginap.
Jadi Aira dan teman-temannya berangkat mengaji setelah salat asar, sesampainya di tempat kyai, Aira dan teman-temannya mempunyai tugas rutin menimba, mengisi bak kamar mandi yang berukuran sangat besar. Di mana bak kamar mandi itu milik Kyai Bajuri yang merupakan keluarga besar, memiliki 12 anak, jadi bisa dibayangkan, bak kamar mandi itu pastilah sering kosong.
Anak-anak ngajilah yang bertanggungjawab memenuhi bak mandi tersebut. Sementara menimbanya memakai alat yang masih sederhana. Timba senggot namanya. Bambu besar dan panjang diikatkan pada sebuah pohon. Bagian pangkalnya diberi bandul batu besar, sementara pada bagian ujungnya diberi timba.
Saat menurunkan timba ke dalam sumur, akan terasa berat. Sedangkan saat timba sudah terisi air dan diulur ke atas, akan terasa ringan. Ini membutuhkan keseimbangan dan kehati-hatian dari penimbanya. Kalau tidak hati-hati bakal celaka. Lha, celakanya lagi, anak-anak menimba dalam posisi berdiri di atas bibir sumur. Bisa dibayangkan kengeriannya bila terpeleset, akan jatuh ke dalam sumur deh.
Betapa ekstrimnya ya, awal-awal melakukan aksi tersebut, Aira juga merasakan kekhawatiran, dalam hatinya bagaimana nanti kalau terpeleset. Tapi lama-kelamaan Airapun terbiasa menimba pakai timba senggot tersebut. Mengingat hal itu, tersembul rasa ngeri di benak Aira.
Setelah memenuhi bak kamar mandi, Aira dan teman-temannya berjamaah salat maghrib di masjid. Setelah berjamaah salat maghrib, Aira dan teman-temannya kembali ke kamar untuk mengaji Al-Qur’an. Perlu diketahui, Aira dan teman-temannya diberi satu kamar khusus untuk mengaji dan sekaligus untuk tidur. Satu kamar ukuran 4x5 meter, hanya beralaskan tikar, ada satu bangku dan lampu teplok.
Pada saat Aira usia Sekolah Dasar, di desanya belum ada penerangan dari PLN. Untuk penerangan masih menggunakan lampu teplok. Saat mengaji, Aira sudah menunjukkan kepandainnya dibanding dengan teman-temannya. Bukti yang sampai saat ini masih diingat oleh Aira adalah, percakapan antara Lek Mimah putri kyai Bajuri dengan Umi, salah satu teman Aira mengaji.
“Sampean kuwi mbok yo koyo Aira lek moco Qur’an, pinter”. (kamu itu seharusnya seperti Aira, pandai baca Qur’an). Tegur Lek Mimah.
“Yo mesti, Aira kan putrane Pak Guru, Mase yo guru”. (ya pastilah, Aira kan anaknya Pak Guru, kakaknya juga guru) Jawab Umi membela diri.
“Mase sampean lakyo guru?”. (kakakmu kan seorang guru juga). Kejar Lek Mimah.
“He he he.” Umi hanya tertawa malu-malu.
Usai ngaji, Aira salat Isya berjamaah. Lalu kembali ke kamar untuk tidur. Satu kamar diisi oleh sekitar 10 anak, berjejer tidur di lantai beralaskan tikar, tak ada kasur sama sekali. Namun Aira dan teman-temannya tak pernah mengeluh sedikitpun. Begitulah suasana di tempat mengaji Aira dan teman-temannya.
Setiap malam Sabtu, Aira dan teman-teman ngajinya mengikuti kegiatan baca selawat nabi yang dilaksanakan secara keliling. Sabtu ini di rumah si A, sabtu depan dirumah si B, begitu seterusnya. Kegiatan diadakan pada malam hari setelah salat maghrib sampai selesai, biasanya selesai jam 21.00. Untuk penerangan, mereka membawa obor.
Dalam hal membaca selawat nabi, Aira lumayan jago. Pandai memilih lagu dan suaranya juga merdu. Maka tak heran saat ada lomba baca selawat tingkat desa, Airapun didapuk sebagai vokal utama. Meskipun belum meraih juara, namun Aira sudah bisa tampil dengan baik.
Selalu Rangking I
Sebagai anak seorang guru tentunya Aira mendapatkan bimbingan belajar yang baik dari bapaknya. Maka tak heran jika prestasi di sekolah, cukup bagus. Tak pernah tinggal kelas, bahkan di setiap kelasnya Aira selalu menyandang rangking I.
Aira sangat menguasai pelajaran agama, seperti Al-Qur’an Hadist, Aqidah Akhlaq, Fiqih dan Sejarah Islam. Untuk pelajaran umum juga lumayan dikuasai, hanya pelajaran matematika saja yang tidak kuasainya.
Saat mengerjakan soal agama, Aira begitu cepat menyelesaikan. Sedangkan untuk pelajaran matematika, Aira agak kesulitan, dan siasatpun direncanakan. Teman sebangku Aira ada yang jago matematika, namanya Indah. Saat pelajaran agama, Aira membantu Indah, sementara bila saat pelajaran matematika, Indah membantu Aira.
“Ndah, nanti waktunya agama, pekerjaanku boleh kau contek, namun besuk pas matematika, gantian kamu yang ngasih contekan ya.” Kata Aira pada Indah.
“Oke, dengan senang hati, Aira.” Jawab Indah.
Duh, ternyata konspirasi sudah ada sejak kecil ya. Simbiosis mutualisme gitu deh, saling menguntungkan. Wkwkwk.
Selalu Masuk Kelas Pilihan
Tanpa terasa Aira sudah menamatkan belajarnya di bangku sekolah dasar. Aira dan sebagian teman-temannya melanjutkan ke MTs Ikhlas Beramal. Ada 10 anak yang berasal dari sekolah yang sama. Setiap hari mereka berangkat dan pulang bersama. Bersepeda ria, bersenda gurau di jalan, sambil melepas setir dan teriak kegirangan jika jalanan menurun.
Di MTs, Aira sudah tidak menduduki rangking I lagi, tersebab persaingannya sangat ketat. Satu angkatan Aira ada 5 kelas, masing-masing minimal 30 siswa, berarti ada 150 siswa saingan Aira yang berasal dari siswa dan siswi terbaik di lembaganya.
Namun demikian, Aira masih masuk 10 besar umum. Dan setiap tahunnya selalu masuk kelas pilihan, yaitu kelas A. lagi-lagi, Aira tersandung pada pelajaran matematika. Tingkat MTs tentu pelajarannya semakin sulit. Kalau zaman sekarang ada banyak bimbingan belajar. Anak zaman dulu mah, nggak ada. Bapaknya Aira juga mengajar matematika, tapi mungkin Airanya saja yang kurang sungguh-sungguh belajarnya.
Aira melakukan konspirasi lagi dengan teman sebangkunya. Adalah Alika dan Tiar, teman sebangku Aira yang jago matematika. Aira cukup mengandalkan pelajaran agamanya untuk barter contekan dengan Alika dan Tiar. Cerdiknya Aira. Eh tapi tidak boleh ditiru lo ya. Aira juga menyesali perbuatannya kok.
Selalu masuk kelas pilihan itu pertanda bahwa Aira sebenarnya anak yang pandai, namun kadang malas belajar. Sehingga untuk pelajaran matematika angka raportnya jelek. Tapi untuk pelajaran yang sifatnya hafalan, akan dilahapnya dengan baik.
***
"Bu, Bu Aira, dipanggil Ibu Kepala Sekolah!" Tegur Bu Hindun mengagetkan. Aira tersentak dari lamunannya. Sambil senyum-senyum sendiri Aira meninggalkan ruang perpustakaan menuju ruang Kepala Sekolah.
Bu Hindun geleng-geleng kepala. "Ada-ada saja, Bu Aira ini. Dipanggil berulangkali kok nggak dengar, ternyata melamun. Apa ya yang dilamunkan Bu Aira tadi, sampai segitunya, nggak dengar ada orang mendekat. Padahal suara sepatuku cukup keras."
Sekitar 30 menit, Aira menghadap Kepala Sekolah, ada tugas tambahan yang harus segera diselesaikannya. Aira beranjak dari ruang Kepala Sekolah menuju ke ruang guru. Di situ sudah ada Bu Hindun yang sudah siap menyambut Aira.
Belum sempat meletakkan pantatnya di kursi, Bu Hindun sudah menyerang dengan rentetan pertanyaan.
"Ada apa Bu Aira, Ibu Kepala Sekolah kok memanggil? Apa ada tugas baru? Lalu sewaktu saya panggil tadi, Bu Aira kok diam saja, melamunkan apa sih?"
"Begini Bu Hindun, saya diberi tugas untuk mendampingi anak-anak latihan selawatan persiapan lomba tingkat Kabupaten. Anak-anak kemarin kan jadi juara I lomba Selawatan Tingkat Kecamatan, jadi otomatis bagi yang juara I tingkat kecamatan, akan mewakili kecamatan ikut lomba tingkat Kabupaten." Jelas Aira.
"Terus, tadi Bu Aira ngelamunin apa, kok senyum-senyum sendiri? Kejar Bu Hindun kepo.
"Oh, itu. Saya mengenang masa-masa kecil, Bu. Masa-masa kecil yang indah. Penuh keceriaan, bercanda dan bermain dengan teman-teman. Berpetualang dan menyatu dengan alam. Dan banyak kenangan indah lainnya yang sangat mengesankan." Jawab Aira.
"Jika dibandingkan dengan anak sekarang, sangat jauh berbeda. Anak sekarang banyak yang tak mengenal alam sekitar. Sepanjang waktu dihabiskan untuk bermain ponsel dan berselancar di dunia maya. Semakin jarang berkomunikasi langsung. Semua kegiatan dilakukan secara online. Sehingga hubungan satu sama lainnya kurang akrab." Lanjut Aira.
"Kasihan juga anak-anak sekarang ya Bu, masa-masa kecilnya kurang mengenali dunia sekelilingnya. Ini mungkin salah satu penyebab anak sekarang kurang memiliki kepekaan terhadap peristiwa yang terjadi di sekelilingnya." Sahut Bu Hindun.
***
Begitulah, setiap masa yang dialami pasti ada konsekwensi masing-masing. Selalu ada efek positif dan negatifnya.
Masa lampau, dimana teknologi belum berkembang, kita kesulitan mengakses informasi. Namun di sisi lain, komunikasi langsung (tatap muka) membuat suasana akrab dan nyaman. Saling mengenal satu sama lain.
Zaman sekarang, teknologi semakin canggih, kita sangat mudah mencari informasi apapun yang kita butuhkan. Bahkan bisa dibilang, kita tinggal telpun, maka semua yang kita butuhkan akan segera datang. Namun komunikasi langsung, jarang dilakukan.
Ilustrasi Gambar: Pinterest.com |
Semoga kita dan anak-anak kita, bisa menghadapi apapun dan kondisi bagaimanapun dengan bijak. Aamiin.
***
Posting Komentar untuk "AIRA"