Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Aksara Bening: Misteri Penunggu Perpustakaan Sekolah

Ilustrasi perpustakaan sekolah (Foto: StockSnap Via Pixabay)


Sosok siswi cantik keluar kelas ke arah kantin. Tangan kirinya menggenggam dompet mungil. Dan tangan kanan, memegangi hidung mancungnya sembari berlari kecil.   

"Cepat sekali, kau berlari?" Ulfa menyambut Ara di kedai mie ayam di ujung kantin. Dua mangkuk tersedia di meja. Mereka mengakrabkan diri, menikmati jam istirahat. 

Dan mentari, tiba-tiba bergeser di balik awan hitam. Mendung. Butiran air meluncur dari atap kantin. Dua siswi cantik, baru selesai menikmati mie ayam. Mereka memandang langit dengan mimik gelisah. 

"Ulfa, hujan. Kita balik kelas?" 

"Masih lama, Ara." 

Keduanya saling memandang, dan tersenyum. Melirik ke arah lorong menuju perpustakaan sekolah. Tak berlama-lama, mereka pun melangkah. Berlarian, dan tertawa genit di antara percik air hujan. 

Deretan rak buku membentang. Dua tiga siswa, memilih dan memilah di antara rak-rak usang. Meja baca di perpustakaan, lebih banyak jumlahnya daripada siswa yang datang. 


Tenang dan sunyi, perpustakaan sekolah menyerupai tempat menyepi. Ramai dikunjungi bila menjelang ujian. Dan hening di hari-hari biasa. 

"Ssst...," desis Ibeng, saat melihat Ulfa dan Ara masuk ruangan. 

Ibeng meletakkan novel Sayap-Sayap Patah milik Kahlil Gibran di meja. Perhatiannya kini teralihkan. Dua siswi cantik itu, tepat melintas di belakangnya. 

"Tumben," bisik Ulfa sembari mencubit lengan kanan Ibeng. 

"Ara, duduk sini?" pinta Ibeng. 

Ara hanya menggeleng. Ia mengekor Ulfa yang merangsek masuk ke lorong perpustakaan. Namun, mata beningnya tak dapat lepas dari Ibeng. Senyuman tertahan, Ara baru menyadari, kedua kuping Ibeng berwarna merah. Ibeng malah penasaran. 

Di deretan rak buku fiksi, Ulfa sibuk mencari novel favoritnya. Namun tak ditemukan. Mungkin sedang dipinjam siswa lain. Ia pun akhirnya meraih sebuah majalah, dan mengambil duduk di depan Ibeng. 

Ara tepat disebelah Ulfa. Seperti bayangan. Ia tak mau tertinggal. Buku pelajaran bahasa Indonesia, dibuka dari halaman tengah. Tatapan Ibeng masih membuatnya kikuk. Dan lirikan Ibeng kian disengaja. 

"Kalian tahu? Di perpustakaan ini, selain aturan yang ditempel di dinding. Ada aturan tak tertulis yang mesti dipatuhi." ujar Ibeng.

"Apa?" Ara merespon singkat. Namun saat ini, tatapannya jelas ke arah Ibeng. 

"Itu pasti bualan!" jawab Ulfa. 

Bunyi halilintar dan deru hujan semakin deras. Ulfa pun urung melanjutkan sanggahan. Kaget. Ia merapatkan duduknya pada Ara. 

"Beneran, dengarkan baik-baik." bisik Ibeng. 

Dahulu sekali, di sekolah ini pernah ada siswa pindahan dari kota. Ia masuk ke perpustakaan di hari pertamanya. Dan setelah itu, ia tak pernah terlihat lagi. 

Desas-desus berhembus, ia ditemukan tewas mengenaskan di deretan rak paling belakang. Rak khusus novel dan puisi. Namun ada juga yang bilang, ia menghilang di sana, tepat setelah membaca buku terlarang. 

Konon sejak kejadian itu, perpustakaan menjadi sepi. Penjaga perpustakaan hanya datang untuk merapihkan buku. Dan Siapapun yang datang, tak mau mendekati rak-rak di deretan belakang. 

Dan yang paling menakutkan, siswa baru itu akan menampakkan diri, bila ada yang berani pacaran di perpustakaan ini. 

"Masa sih," ucap Ara dengan wajah pucat. Meski tak percaya, ia cukup terpengaruh dengan cara Ibeng bercerita. Ditambah suasana hujan deras dan bunyi halilintar di luar sana. 

"Ibeng, jangan bikin isu hoaks," Ulfa memukul Ibeng dengan majalah di tangannya. 

"Aduh."

"Kau tahu, Ara. Dahulu si nakal ini pernah buat gaduh satu kampung. Ia bilang, peristiwa kecelakaan di jembatan kampung kami, karena ada hantu yang marah!" lanjut Ulfa. 

"Dan karena itu, kepala desa memperbaiki jembatan, bukan?" jawab Ibeng. 

Perdebatan pun berlanjut. Ulfa tak pernah mau kalah berbicara. Terlebih dengan Ibeng. Kata-kata disanggah kata-kata. Dan alasan, dibalas cubitan. Ara tertawa. Ibeng dan Ulfa tak berhenti berdebat. 

Di luar jendela perpustakaan, sepasang mata memperhatikan tingkah mereka. Menatap tajam bak harimau menguntit mangsa. Berdiri terpaku. Menunggu waktu yang tepat untuk masuk ke dalam sana. 

"Egi! Sedang apa di sini?" Oded datang dari arah belakang tiba-tiba. 

Egi tampak tenang. Ia sama sekali tak terkejut dengan kehadiran Oded. Dan malah balik bertanya, "Aku belum pernah melihat siswi itu sebelumnya, kau kenal?" 

"Matamu bisa melihat jelas tanpa kacamata?" ujar Oded. 

"Mataku minus bukan rabun!" 

Satu hentakan cukup untuk membuat Oded menelan ludah. Ia berkata pelan, "Aku tak tahu." 

"Kau mau masuk ke dalam?" tanya Egi.

"Aku mencari minyak anginku. Kuterka pasti diambil begundal itu." Telunjuk Oded mengarah pada sosok Ibeng. 

"Ya, mungkin kacamataku ada padanya." 

Halilintar kembali menggelegar. Ibeng dan Ulfa menghentikan perbedatan. Mereka berdua menatap Ara. Tingkahnya aneh dengan hidung yang kembang kempis. 

"Ada apa, Ara?" Ulfa bertanya. 

"Apa kalian tak mencium wangi bunga kenanga?" 

***

Indra Rahadian



Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "Aksara Bening: Misteri Penunggu Perpustakaan Sekolah"

DomaiNesia