Aksara Bening: Pemilik Kartu Hitam
Bulan semakin dekat. Kakiku ingin melangkah jauh.
Dua kalimat itu, menjadi pelengkap sketsa setangkai bunga mawar dengan arsiran tinta hitam. Pulpen hitam itu pun berhenti bergerak, dari lembaran paling belakang buku catatan pelajaran Matematika.
Langkah tergesa melewati pintu. Dan, Braaak!
"Oh, maaf!"
Ibeng segera merunduk, tangan kirinya meraih buku tulis dan pulpen yang terjatuh ke lantai. Matanya kembali menatap sepasang mata yang bersembunyi di balik kacamata.
"Maaf, ya? Aku Ibeng!"
Satu tangan terulur. Tak ada sambutan. Tangan Ibeng menggantung di udara. Sesaat, empat mata bertukar pandang. Mata Ibeng, dan mata milik sosok tinggi menjulang, yang sekarang berdiri di belakang meja. Namun, sorot mata lelaki itu beralih pada tangan kiri Ibeng.
"Eh? Oh, maaf lagi!"
Ibeng tersadar. Terburu melempar senyum. Sekilas memandang sampul, lalu memindahkan buku itu dari tangan kiri ke tangan kanan. Kemudian meletakkannya di atas meja.
Tak ada perubahan reaksi, juga suara dari si kacamata.
"Tiga kali, kata maaf kuujarkan. Bagiku, itu terlalu banyak untuk satu ketidaksengajaan."
Jika ada orang ketiga di kelas, pasti mengingat nada suara itu. Nada yang nyaris sama dengan ucapan Ibeng, ketika membela Ara pada jam pelajaran pertama tadi pagi.
Ibeng berjalan pelan menuju mejanya di barisan belakang. Namun, segera berbalik badan dengan wajah waspada, ketika telinganya mendengar suara langkah kaki yang mengikuti dari belakang punggung.
"Kenapa kau..."
Kalimat Ibeng terhenti. Matanya melihat segaris senyuman hadir. Milik anak laki-laki berkacamata dengan tubuh tinggi menjulang. Kemudian memandang satu telapak tangan kanan yang diarahkan padanya.
"Tak perlu lagi basa-basi! Tak usah kenalan atau salaman. Aku sudah tahu namamu!"
Ibeng berbalik badan. Melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Ujung sepatunya menggeser kursi, sebelum melabuhkan tubuhnya di balik meja. Namun, kembali berdiri. Anak laki-laki berkacamata itu sudah berada tepat di hadapannya.
Naluri lelaki Ibeng mulai hadir di kepala, mengalir melewati mata, mulut, kemudian bermuara pada jemari di kedua tangan yang berbentuk kepalan. Membeku kaku, bersiap dilontarkan.
"Kau mau meminjam pulpenku?"
Ibeng terkesiap. Satu pertanyaan pelan meluluhlantakkan naluri lelaki miliknya. Ibeng terpana menatap raut wajah yang berusaha keras menahan tawa.
"Kalau mau pinjam, bilang dulu! Jangan main ambil aja!"
Situasi berbalik. Kali ini, Ibeng seperti seorang pemburu yang disandera oleh seekor hewan buruan. Nada kalimat yang terlontar datar, tapi menusuk. Lirikan mata lelaki berkacamata itu mengarah ke saku baju Ibeng.
Dua tawa dengan nada berbeda memenuhi ruang kelas. Usai mengembalikan pulpen, Ibeng menutupi rasa malu dengan menepuk pelan bahu si kaca mata.
"Maaf lagi, ya?"
"Empat kali? Bukannya bertambah banyak?"
"Jika lima kali, dapat sepeda!"
Kembali, suara tawa menghiasi kelas yang kosong. Ibeng membatin, untung gak ada yang lihat!
Di balik pintu, sepasang mata menyimpan kejadian itu secara lengkap.
Suara bel kembali berbunyi. Langkah-langkah bergegas kembali menjejaki lantai kelas. Termasuk kaki milik sepasang mata yang sejak tadi bersembunyi di balik pintu.
"Jangan bodoh! Egi punya kartu hitam. Kartumu masih coklat!"
Satu bisikan terdengar. Ibeng menatap Oded yang tersenyum, sambil meletakkan ujung jari telunjuk ke jidatnya, kemudian beralih ke barisan meja paling depan. Meja Egi.
Ibeng sudah tahu si kacamata itu bernama Egi. Karena, sebelum mengembalikan buku tadi, sempat membaca nama yang tertulis di sampulnya.
Namun, Ibeng tergagap mendengar kata "Kartu Hitam". Dan semakin gugup, saat tahu Egi memiliki kartu itu. Kartu Hitam adalah Istilah yang biasa digunakan Ibeng dan Oded serta kawan-kawan di dojo.
"Terkejut?"
Seperti burung pelatuk yang mematuk pohon jati. Kepala Ibeng naik-turun dua kali. Tanpa aba-aba, kedua telinganya terasa panas. Reaksi Ibeng selalu tertinggal selangkah dari aksi Oded. Kali ini pun sama. Perlawanan akan berujung sia-sia.
"Itu pembalasan untuk baksoku!"
Oded segera melepaskan dua jempol dan dua jari telunjuk dari telinga Ibeng, ketika melihat satu sosok berjalan pelan mendekat. Ara.
Ibeng langsung berdiri. Memamerkan senyum yang tersisa, seraya memberi ruang, agar Ara leluasa duduk di sebelahnya.
"Eh, kenapa..."
Ara tiba-tiba berdiri. Hidungnya mencium aroma yang tak lagi asing. Tatapannya tertuju pada tas warna biru yang tersimpan di laci meja. Ibeng melihat dengan cemas, ketika tangan Ara bergerak ke bawah meja.
Dan, semakin cemas, setelah menyadari ada rasa dingin yang hadir di sekitar saku sebelah kanan celana abu-abu miliknya. Botol minyak angin milik Oded telah menghadirkan basah.
"Siaaaal! Kenapa tak tertutup?"
Curup, 03.11.2021
Zaldy Chan
Posting Komentar untuk "Aksara Bening: Pemilik Kartu Hitam"