Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

BAB 32 : Pertemuan dengan Geni

 

Sumber Gambar: pxhere.com


<< sebelumnya

Udara siang itu bercampur aroma mesiu. Desing letupan senjata api terdengar menjemput kesunyian di tanah Singasari hampir lima detik sekali. Peluru tak henti-hentinya menyerbu mobil yang dinaiki Geni dan Korrie.

“Semuanya akan baik-baik saja,” kata Geni lagi. Suaranya mengeram. Bagian bawah sepatunya masih menginjak pedal gas hingga nyaris ke dasar, membuat knalpot jenis header 4-1 yang terpasang di mobil itu meraung cukup keras. Tangan kiri Geni memegang setir dengan erat, memutar benda melingkar itu ke kiri dan kanan. Di tangan kanannya, moncong Baretta bertipe pistol semi-otomatis menghadap ke atas.

Korrie masih memandangnya keheranan. Batinnya berkecamuk. Belum hilang betul dari benaknya kengerian dan rasa dingin pucuk besi senjata api yang tertempel di kepala, sekarang muncul lagi seseorang asing yang tengah bersiap menarik pelatuk pistol, duduk di sebelahnya.

“Apa yang terjadi? Kau siapa?” tanya Korrie. Tubuhnya agak gemetar dan sedikit terlempar ke kanan dan ke kiri mengikuti arah zig zag dari mobil yang kemudikan Geni.

“Menunduk!” sergah Geni.

Duaarrr! satu tembakan mendarat di kap mobil.

Tangan kanan Geni yang masih memegang senjata api melempar penuh setir mobilnya ke arah kanan, kemudian memutarnya kembali ke kiri dengan cepat. Tangan kirinya dengan mahir memainkan persneling. Toyota Avanza bertipe G itu kini tidak lagi berjalan mundur.

“Begini lebih baik,” ucapnya.

“Ini gila!” Korrie histeris.

Sementara di dalam Jeep merah bercorak hitam yang mengejar mereka, Daeng mengumpat, “Keparat! Siapa orang itu!?”

Nyaris seluruh pasukannya gugur. Tujuh tewas dari sembilan anak buah yang mengisi dua mobil Jeep. Kini hanya tersisa dirinya dan dua anak buahnya.

“Mereka tidak akan bisa lari,” seorang anak buah Daeng yang berada di balik kemudi berujar.

“Tentu. Tidak ada yang bisa lari dari kita.” Daeng tidak sedetik pun melepaskan matanya dari mobil putih yang berajarak sekitar seratusan meter di depan mereka.

“Aku akan menggunakan itu,” kata seorang anak buahnya yang lain.

“Kau yakin bisa menggunakannya di dalam mobil yang sedang melaju?”

“Aku akan mencobanya.” Lelaki berambut cepak dengan tato kalajengking di lehernya itu menunduk sambil merogoh tas kulit panjang di bawah kakinya. Ia mengambi sebuah AWM,  senjata bidik terbaik di kelas Arctic Warfer. Ia memecah kaca bagian depan mobil dengan palu kecil agar bisa meletakkan ujung senjata.

Geni memaksa mobilnya untuk melaju lebih cepat. Speedometermenunjukkan bahwa kecepatan pacuannya itu tidak kurang dari seratus kilometer per jam. Wajah Korrie nampak cemas kendati suara teriakannya tidak senyaring teriakan pertama.

“Kau tegang?” tanya Geni dengan nada sedikit menggoda.

“Bodoh!” Tangan Korrie berusaha meraih sabuk pengaman.

“Apa yang kau lakukan?” selidik Geni. Fokusnya ke depan tidak hilang meski sesekali ia mencuri pandang ke arah Korrie yang berada di sisi kirinya dan spion yang ada di sebelah kanannya.

“Tentu saja memasang sabuk pengaman!” jawab Korrie kesal.

“Kau tidak memerlukan itu. Kita tidak memerlukannya sekarang.”

“Apa!?”

“Percayalah kepadaku kalau kau ingin selamat. Aku akan membawa kita ke tempat yang aman.”

Duaarr! Seketika mobil yang mereka tumpangi oleng. Geni berusaha mengontrol keseimbangan mobil yang masih melaju kencang itu. Percikan api muncul di jalanan. Asap menguar di atas aspal. Gesekan roda yang pecah dengan kerasnya lintasan menghasilkan suara yang cukup keras. Anak buah Daeng berhasil menembak roda belakang sebelah kiri mobil Geni.

“Kena kau!” seru Daeng.

Tembakan itu membuat mobil Geni kehilangan kendali dan nyaris menabrak pembatas jalan. Beruntung, ia sempat menghentikan laju mobilnya. Ia dan Korrie terlempar ke arah depan.

“Kau bilang kita tidak memerlukan sabuk pengaman, hah?” ujar Korrie seraya memegang dahinya.

“Memang,” jawab Geni sekenanya. “Pada hitungan ketiga, kita harus segera keluar dari mobil dan berlindung di bagian depan. Mengerti?”

“Hah!?”

“Tiga!” Geni keluar dari mobil dengan cepat. Meninggalkan Korrie yang masih kebingungan beberapa saat. Tangannya masih menenteng Baretta.

“Tunggu!” teriak Korrie yang segera turut keluar.

“Dengar, kita akan keluar dari kekacauan ini dengan selamat. Aku bisa menjamin kalau kau akan baik-baik saja. Seperti pesan yang dikirimkannya kepadamu melaluiku.”

“Ia siapa?” tanya Korrie dengan napas tersengal.

“Nanti akan kujelaskan,” Geni berusaha menenangkan. “Mereka akan mengepung kita. Kita harus berlindung di balik mobil ini. Kau jangan melakukan apa pun. Tetaplah berada di belakangku. Paham?”

Korrie mengangguk.

Mobil Jeep yang dikendarai Daeng serta anak buahnya semakin mendekat. Jarak kurang lebih seratus meter sudah terpangkas. Sekitar dua puluh meter dari Avanza putih itu, Daeng meminta anak buahnya menghentikan laju mobil. Mereka bertiga mendaratkan kaki dengan agak ragu, sebab mereka masih buta terhadap kemampuan sosok asing yang berhasil mengakhiri riwayat Baron serta menyapu dua penembak jitunya. Sosok misterius yang tetiba muncul di tengah kekacauan kubu mereka dengan kubu Yakuza.

Daeng mengangkat kedua tangannya, mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah, memberi isyarat kepada kedua anak buahnya untuk mengepung lelaki yang membawa Korrie itu dengan berhati-hati. Ia membiarkan pintu mobil terbuka. Menjadikannya sebagai perisai. Sementara kedua anak buahnya terus melangkah perlahan ke arah Geni dan Korrie yang bersembunyi.

“Siapa pun kau, kami tidak memiliki urusan denganmu. Serahkan wanita itu, dan kami akan membebaskanmu,” teriak Daeng mencoba bernegosiasi. “Keluarlah!”

Pria cepak yang memiliki tato kalajengking di lehernya menyisir bagian kiri, sedangkan anak buah Daeng yang menyetir mobil berjalan di sebelah kanan.

Geni mendengar lamat-lamat suara gesekan sepatu mereka. “Ada dua orang yang mengepung kita,” katanya pelan. Telunjuknya sedari tadi menempel di pelatuk. Ia menatap wajah Korrie. Membuat ancang-ancang, gerakan sedikit menungging.

“Apa yang ingin kau lakukan?” Korrie keheranan.

“Tentu saja menyelamatkan kita.”

“Bagaimana caranya?”

“Mungkin kau akan terpukau. Daya pikatku ketika beraksi meningkat berpuluh-puluh kali lipat.” Geni tersenyum. Dari bawah mobil, ia melihat dua pasang kaki semakin mendekati mereka. Sedangkan Korrie sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Tanpa aba-aba, Geni melakukan lompatan salto akrobatik. Kedua anak buah Daeng yang masing-masing memegang senjata nampak kaget. Respon lambat mereka memberi Geni waktu yang cukup untuk berputar di udara dan menanamkan timah panas di kepala keduanya. Geni terjatuh dan terempas di atap mobilnya. Daeng yang sempat terpana akan aksi Geni langsung menujukan tembakan ke arahnya. “Kurang ajar! Orang itu!” Daeng semakin kesal.

Geni segera menjatuhkan tubuhnya dari atap mobil ke atas aspal sambil meringis kesakitan. Ia berguling ke depan dan kembali menghapiri Korrie. “Ah, rusukku!”

“Itu gila!” ucap Korrie yang terkejut.

“Bedebah!” teriak Daeng terdengar dari kejauhan.

Duaarr! duaarr! duaarr! rentetan tembakan mengarah ke tempat persembunyian mereka. Daeng menghujani Geni dan Korrie dengan tembakan beruntun hingga pelurunya habis.

“Ini kesempatan kita. Lari!” seru Geni seraya mengambil tangan Korrie. Mereka berlari melompati pembatas jalan dan menuju ke arah pepohonan.

“Hei! Berhenti!” teriak Daeng. Tangan kirinya menggasak peluru cadangan di saku jaket. Setelah senjatanya kembali memiliki amunisi, ia menembak ke arah Geni dan Korrie yang semakin menghilang ke dalam hutan. Namun, tidak satupun dari peluru-peluru itu mengenai mereka.

Daeng mematung. Bibir bagian bawahnya ia gigit. Tangan kanannya memegang revolver. Tangan kirinya menggenggam kegagalan. Ia merasa disengat listrik bertegangan tinggi. Ia merasa seseorang meludahinya, tepat di wajahnya.

Ia berteriak kencang. Ia merasa sangat murka dengan apa yang telah terjadi. Ia meletupkan pistol ke udara dan berlari ke dalam hutan untuk membawa kembali Korrie. Sekaligus memburu Geni.


***

Matahari semakin tenggelam. Birunya langit telah berganti oranye kemerahan. Senja di dalam hutan menghapus segala keramaian: kicau burung, dentuman tembakan, dan gesekan dahan-dahan, reranting, juga dedaunan.

“Apa ia masih mencari kita?” tanya Korrie berbisik.

“Aku pikir begitu. Sepertinya ia bukan orang yang mudah menyerah.”

Geni dan Korrie bersembunyi di balik sebuah pohon besar.

“Apa rencanamu selanjutnya?”

“Kita akan kembali ke jalan dengan mengitari hutan ini saat malam.”

Ketika hari sudah gelap, Geni dan Korrie menyusuri hutan. Keduanya berjalan dengan sangat berhati-hati, tanpa menyisakan percakapan satu kata pun. Korrie menuruti segala rencana yang sudah dikatakan oleh Geni sebelumnya: mereka akan menyusuri hutan saat malam untuk kembali ke jalan tol, kemudian membajak sebuah mobil bermodalkan senjata api milik Geni. Sekitar pukul sembilan malam, mereka berhasil kembali ke jalan.

Dikejauhan, terlihat cahaya sepasang lampu mobil. Setelah berjalan membungkuk di tepian, Geni melompat ke arah mobil itu untuk menghentikannya. Mobil yang hanya diisi satu orang itu berhenti. Geni berdiri tepat di atas kap mobil tersebut seraya mengacungkan pistol, memberi kode dengan gerakan tangannya agar si pemilik keluar.

Lelaki empat puluhan keluar dari kursi kemudi. Ia mengangkat kedua tangannya tanpa berani melawan.

“Maafkan aku, Tuan. Aku harus mengambil mobilmu,” ucap Geni. “Aku tidak akan menyakitimu. Letakkan tanganmu di belakang kepala, lalu berbaliklah.”

Ketika Geni akan memasuki mobil tersebut, suara letupan kembali terdengar. Sebuah peluru mengenai bumper. Dalam kegelapan, Daeng kembali melayangkan sebuah tembakan.

“Lekas masuk!” teriak Geni memanggil Korrie.

Keduanya bergegas masuk. Geni memacu mobil itu secepat mungkin. Mereka berhasil selamat dari kejaran Daeng yang berlari dan tertinggal jauh di belakang. Ia kembali kehabisan amunisi.

“Kau sungguh nekat!”

“Akhirnya kita bisa bercakap, Korrie Banimasse. Kita sudah aman”

“Kau siapa? Darimana tahu namaku? Dan, kenapa kau menyelamatkanku?”

“Kau bisa menyebutku Lelaki Terpilih,” jawab Geni sembari melirik ke arah Korrie, ia tertawa kecil. Matanya agak memicing.

“Apa?” Korrie menaikkan sebelah alisnya.

“Baiklah, namaku Geni. Ya, setidaknya kau bisa memanggilku begitu.”

“Geni?”

Yes.”

“Kenapa kau menyelamatkanku?”

“Kenapa? Aku sendiri tidak tahu. Seseorang hanya memberitahuku bahwa aku harus menyampaikan pesan itu kepadamu.”

“Pesan apa?”

“Pesan yang berbunyi: semuanya akan baik-baik saja. Ya, itu tugasku.”

“Hanya itu?”

“Iya.”

“Siapa yang menyuruhmu?”

“Hmm, ia menyebut dirinya Sherlick. Kau mengenalnya?”

“Aku tidak begitu yakin. Siapa dia? Dan lagi, untuk apa ia menyuruhmu menyelamatkanku?”

“Kita akan mencari tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaanmu dan kebenaran di balik misiku ini.”

“Maksudmu?”

“Kita akan menemuinya.” 

 Bersambung

Cerita ini fiktif belaka.  Kesamaan nama, tokoh, dan tempat kejadian hanyalah kebetulan semata.

Bab berikutnya akan ditulis oleh Zaldy Chan 

 

 


Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "BAB 32 : Pertemuan dengan Geni"

DomaiNesia