Bab 33 Jejak Rahasia
<< Sebelumnya
Geni mematikan ponsel, kemudian menyerahkan kembali benda rampasan itu pada pemiliknya. Cukup dengan satu ayunan pelan tangan kanan yang menggenggam beretta, anak perempuan berseragam abu-abu itu tergesa menjauh.
Geni bergerak cepat menghampiri Corrie. Tanpa suara, mengacungkan ujung baretta tepat di antara kedua matanya. Dingin! Corrie tercekat menahan nafas, lantas memilih memejamkan mata.
Tak ada bunyi letusan. Corrie membuka mata, usai mendengar tawa kecil dari Geni yang sudah berada di balik kemudi.
Corrie tak menjawab. Itu bukan pertanyaan yang butuh jawaban. Bagi corrie, tak lagi penting arti hidup atau mati, setelah melalui hari-hari kelam bersama anak buah Craen Mark. Termasuk peristiwa semalam, dan pagi ini. Ketika mendapati dirinya bersama lelaki yang bernama Geni.
Geni melempar benda kecil itu ke dasbord. Baretta itu sekarang tampak seperti pistol mainan, bukan lagi mesin pembunuh yang bekerja senyap sesuai keinginan pemiliknya. Mesin mobil dinyalakan, Geni menatap corrie yang betah membisu.
Delapan jam bersama Geni, lebih dari cukup bagi Corrie untuk mengerti kalimat itu. Tanpa menunggu, mobil bergerak pelan. Dalam bisu, Corrie melakukan yang diminta Geni.
Bahu jalan yang sepi. Mata Corrie menyapu pohon-pohon besar, rumah-rumah kayu beratap genteng, serta anak-anak berseragam sekolah yang mewarnai kedua sisi jalan.
“Tidurlah."
Kali ini, telinga Corrie menangkap nada suara yang berbeda. sudut matanya mengarah pada lelaki yang kini menjadi penyelamat sekaligus pelindungnya. Nada suara yang memicu rasa ingin tahu. Satu pertanyaan di kepala bergerak liar mencari jalan keluar.
“Aku harus membawamu ke Dwarapala!”
Satu pertanyaan yang baru saja hendak dilontarkan, tak sempat mengudar di udara. Kalimat Geni memacu detak jantung Corrie. Menciptakan aliran panas melalui pembuluh darah, membujuk paru-paru meredakan butiran debu yang memenuhi isi kepala. Dwarapala bukan kata asing bagi Corrie.
Sia-sia!
Corrie memejamkan mata. Berharap segera tertidur. Tanpa perlu menunggu.
***
Perempuan itu tersenyum. Meletakkan ponselnya di atas meja. Jemari tangan kirinya, bergerak lincah mengayunkan ujung sendok yang sejak tadi terbenam di dalam segelas lemon tea hangat. Sebelum menyesap sedikit isinya.
Senyuman itu langsung menghilang. Dahinya berkerut menatap gelas di hadapannya. Terlalu pahit!
Sherlick mengalihkan rasa tak nyaman di lidah, dengan menatap tubuh besar berperawakan gemuk dengan posisi tubuh setengah berlutut. Tak jauh dari tempat duduknya.
Layar laptop yang sejak tadi kosong, segera dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang saling berpacu untuk dituliskan. Sepuluh jari Sherlick bergerak ringan, bergantian menyentuh barisan huruf yang terpampang di atas meja.
Kenapa patung Dwarapala milik kerajaan Ayutthaya, bertubuh langsing dengan posisi tubuh tegak lurus serta memegang gada? Atau Dwarapala hanyalah kesamaan nama?
Sherlick kembali mengarahkan pandangan pada patung berbahan batu andesit itu. Namun, tak tertarik membahas tentang perbedaan bahan dasar pembuatan patung raksasa itu. Letak geografis tentu saja menjadi jawaban sekaligus alasan, patung Dwarapala di negeri Gajah Putih itu berbahan tembikar tanah liat.
Jelang makan siang. Pengunjung Kafe mulai ramai. Mata Sherlick melihat deret angka yang berada sudut kanan bawah layar laptop. Limabelas menit lagi!
Satu regukan panjang nyaris mengosongkan isi gelas. Lidah Sherlick mulai terbiasa dengan rasa pahit. Memilih maklum, kualitas rasa minuman di hotel berbintang di Jakarta, tentu saja berbeda dengan rasa segelas lemon tea dari sebuah kafe di Singosari.
“Di mana Craen Mark?”
Satu suara. Tegas dan sangat jelas menyusup ke liang telinga Sherlick. Matanya menatap wajah laki-laki yang sekarang baru saja duduk persis di seberang meja.
“Kau tak mengenalku?”
Sorot mata lelaki itu begitu dalam. Sherlick tahu, apapun usaha yang dilakukan saat ini, akan berujung sia-sia. Lukisan ekor naga yang mencuat di balik kerah baju putih lelaki itu mengembalikan ingatannya. Tanpa sengaja, tangan kanan Sherlick bergerak meraih ponsel di atas meja. Tapi terlambat.
“Kau masih menyimpan fotoku, kan?”
Tanpa perlawanan. Ponsel itu sudah berpindah tangan. Lelaki itu dengan tenang membuka ponsel. Tak butuh waktu lama. Satu senyuman menemani ponsel yang sekarang dibiarkan tergeletak di samping laptop. Sherlick tak lagi membutuhkan ponsel itu.
“Kau Kylian?”
Sherlick menatap Kylian. Lagi, satu senyuman terlihat. Sherlick merasakan keanehan di tubuhnya. Hawa panas perlahan hadir mulai dari dada sebelah kiri. Kemudian menyeruak bebas, menerabas batang-batang nadi di sekujur tubuhnya.
“Nona! Sejarah tak sepenuhnya dongeng pengantar tidur!”
Kylian berusaha memberikan senyuman terbaik.
“Kau…”
Kylian tak perlu menunggu. Kalimat Sherlick tak akan pernah selesai. Dua tetes cairan bening dalam segelas lemon tea, telah lebih dulu mengambil alih sebagai penyelesai.
Kylian baru saja melintasi tugu selamat jalan dari Kecamatan Singosari. Jalur terdekat menuju alur pendakian Gunung Arjuno, ketika berpapasan dengan Iringan mobil ambulan dan mobil polisi yang melaju kencang.
“Dua jam, Mas!”
“Bisa lebih cepat?”
Tak ada sahutan. Kylian tertawa mendengar deru mesin dan knalpot yang melengking. Kemudian tertawa untuk kebodohannya, usai menyadari jenis motor yang ditumpangi. Namun, tak ada pilihan!
Beberapa menit yang lalu, Kylian menyaksikan tubuh yang perlahan jatuh, kemudian tergeletak diam di pintu masuk kafe. Dua ayunan pelan jari telunjuk di pelatuk revolver dalam genggamannya, singgah sempurna tanpa suara. Menciptakan dua titik hitam di dahi dan dada, sebelum memancarkan cairan kental berwarna merah. Darah Geni.
Teriakan histeris Corrie Banimasse berubah menjadi jeritan massal pengunjung kafe. Ketika menemukan tubuh Sherlick membeku sambil memangku laptop. Hanya pemilik motor yang dilihat Kylian, satu-satunya orang yang tak berlari ke arah kafe.
Kylian mengingat ulang pesan yang dibacanya di ponsel milik Sherlick. Kata Daeng menjadi petunjuk, jika pesan itu ditujukan kepada Craen Mark. Orang yang menggunakan jasa Sherlick. Perempuan cantik yang membungkus rapi sepak terjangnya di dunia hitam dengan berperan sebagai penulis kisah horor dan sejarah.
Namun, kenapa ada Corrie Banimasse di kafe itu? Jika benar, lelaki yang bersama Corrie itu yang bernama Geni. Artinya, Sherlick bermain dua kaki. Terus, siapa pihak lain yang membayar Sherlick selain Craen Mark?
Setengah berteriak, suara lelaki separuh baya, pengendara motor itu mengusik susunan kisah yang ada di kepala Kylian. Sedikit enggan, wajah Kylian diarahkan ke sisi kanan jalan. Gunung Arjuno hanya terlihat separuh. Puncaknya menghilang tertutup awan tebal.
“Tidak! Aku hanya mau ke Air terjun Kakek Bodo.”
Hening sesaat, kemudian terdengar suara tawa dari arah depan. Kylian hanya bisa menggerutu, dan terlambat untuk menyesali jawabannya. Menyebut tujuan perjalanannya, bisa jadi berujung kematian. Termasuk keteledorannya, lupa mengantongi ponsel milik Sherlick.
“Belum!”
“Oh! Pantas.”
Lagi. Terdengar suara tawa dari arah depan. Kylian tetap diam. Memilih mengikuti alur cerita pemilik motor. Setidaknya, pengisi kebisuan selama dua jam perjalanan.
“Belum tahu, Mas. Tapi di Lawang, banyak!”
‘Kita ke Lawang!”
“Tapi, kalau…”
“Berapapun, aku bayar!”
Kylian meraih ponsel di saku bajunya. Dua jemarinya bergerak cepat di layar ponsel.
***
Di restoran Aux Portes de l’Orient. Paris.
Flora baru saja meletakkan tasnya di atas meja. Ketika satu suara halus terdengar dari ponsel miliknya. Nada dering pilihan, yang dipasang khusus untuk sosok lelaki istimewa di dalam hidupnya.
Aku harus mencari penginapan di Lawang.
Flora sudah terbiasa dengan cara Kylian menghubunginya. Singkat, jauh dari kesan bertele-tele.
Seorang pelayan mendekat, dengan sopan dan terlatih meletakkan segelas teh hijau di hadapan Flora. Satu anggukan pelan, cukup sebagai pertanda. Pelayan harus segera menjauh dari meja Flora.
Nada yang sama, kembali terdengar. Hanya satu kali. Tanpa membuang waktu, Flora membaca pesan di ponselnya.
Flora tersenyum. Seharusnya, hanya Segara yang berhak memanggilnya dengan sapaan Peri Bermata Hijau. Sebelum Ayahnya menghancurkan segalanya.
Saat tangan kirinya bergerak meraih gelas yang berisi teh hijau. Untuk ketiga kalinya, ponsel Flora berbunyi. Masih dengan nada yang sama. Namun, kali ini bukan hanya tulisan. Sebuah foto dengan tulisan; Arjuno.
Flora menggerakkan jari telunjuknya ke layar ponsel. Ibu jari dan telunjuknya bergerak pelan mengusap layar untuk memperbesar tampilan foto. Wajahnya terkejut, matanya menatap dengan jelas isi foto. Sebuah kapak.
Flora mengingat benda itu. Benda yang dicuri dari Museum Markisches puluhan tahun lalu. Dari Segara, Flora tahu. Ayahnya adalah pelaku pencurian itu.
Belum hilang rasa terkejutnya. Nada pesan masuk kembali hadir. Flora membaca satu kalimat tertera di bawah foto yang dikirim pemilik pesan. Craen Mark.
Aku bukan ayahmu!
Curup, 05.11.2021
Zaldy Chan
catatan:
Cerita ini sepenuhnya fiktif. Bab selanjutnya akan ditulis oleh Khrisna Pabhicara
Posting Komentar untuk "Bab 33 Jejak Rahasia"