Dua Kisah Kecil Semasa di SMP Seminari
Seminari Menengah Pematang Siantar (Foto: Kalderanews.com) |
Tahun 1974, setelah lulus SD, saya masuk sebuah seminari, sekolah calon pastor, di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Seminari itu sekolah asrama, tempat anak-anak laki yang terpanggil dari berbagai pelosok Sumatera dididik dengan disiplin ketat untuk menjadi pastor. Tentu saja, tidak semua berakhir menjadi pastor. Rumus seminari adalah 10 : 1, artinya terpanggil 10 orang tapi terpilih jadi pastor hanya 1 orang.
Terlalu banyak kisah menarik semasa sekolah di SMP Seminari. Tak sedikit yang masuk bilangan kenthir. Saya kisahkan dua saja di sini.
***
Makan di asrama seminari dilakukan di ruang makan besar. Di situ terdapat sejumlah meja besar seperti di sekolah sihir Hoghward-nya Harry Potter.
Tiap meja diisi oleh delapan orang secara tetap. Namanya kelompok meja makan, yang secara bergiliran juga bertugas mencuci piring seluruh ruang makan sehabis acara makan.
Acara makan itu ada etikanya. Antara lain, dan ini yang jadi inti kisah, berlaku norma "Yang paling akhir selesai makan mendapatkan buah (pencuci mulut) yang terbaik". Sebaliknya, "Yang pertama selesai makan harus mengambil buah yang paling jelek". Norma ini sangat efektif membuat para seminaris berlama-lama makan, supaya menjadi yang terakhir, lalu mendapat buah terbaik.
Nah, kejadiannya pada suatu makan siang, di kelompok meja saya. Mungkin karena sudah kelaparan hingga ke dasar lambung, Si Bonar teman semejaku melahap tuntas makanannya dalam sekejap.
Dia menjadi orang yang pertama selesai makan. Lalu, dengan cepat pula, pisang ambon yang terbesar dan termulus di meja makan juga langsung dihajar dalam empat gigitan.
Aksi Bonar tidak luput dari pelototanku yang hari itu lambat makan. Dan siang itu aku memang menjadi yang terakhir menghabiskan makanan.
Ketika aku akan mengambil buah pisang bagianku, ternyata yang tersisa adalah pisang yang paling kecil, lecet-lecet, burikan, dan sudah agak busuk di pangkalnya. "Dasar gak tau aturan di meja makan!", semburku sambil melotot ke arah Bonar.
Bonar rupanya merasa tersindir dan langsung menukas. "Heh, kalau tadi menjadi yang pertama selesai makan, kau ambil pisang yang mana?"
"Ya, jelas pisang yang terjelek inilah!" jawabku sengit.
"Nah, sekarang kau sudah dapat pisang yang sama, kan? Kenapa pula kau protes!" sentaknya tak kalah sengit. Saya langsung terdiamlah, tak tahu mau bilang apa lagi.
***
Di Seminari itu ada seorang pastor Belanda, namanya Pastor Thijmen (samaran), dipanggil Pastor Thij. Yang khas dari pastor ini adalah cerutu yang selalu terselip dibibirnya saat mengajar.
Saya sangat takjub menyaksikan Pastor Thij menyedot asap cerutunya dan kemudian menyemburkannya ke udara, hingga seluruh ruang kelas beraroma cerutu.
“Nikmat sekali,” pikirku, sambil membayangkan diri mengisap cerutu dan menyemburkan asapnya ke udara. Pikiran itu menggodaku untuk mencuri kesempatan mengisap cerutu Pastor Thij.
Setan memang tak pernah tidur.Ia selalu bermurah hati kepada anak kecil yang tak kuasa melawan godaan. Kesempatan itu tiba, saat suatu sore seusai mengajar, Pastor Thij meninggalkan puntung cerutu yang masih menyala di asbak meja guru.
Tentu saja saya tak menyia-nyiakan kesempatan. Segera kuambil puntung cerutu itu dan di depan kelas, di hadapan teman-teman, saya bergaya layaknya Pastor Thij.
Saya mengisap cerutu itu dan menyemburkan asapnya ke udara.Teman-teman tertawa riuh. Saya semakin bersemangat mengisap puntung cerutunya.
Tapi Tuhan tak pernah tidur pula. Ia mengirim kembali Pastor Thij ke dalam ruang kelas, yang rupanya teringat belum mematikan api puntung cerutunya.
“Nee nee nee.Itu tidak boleh, ya. Kamu nakal, ya?” tegur Pastor Thij yang mendadak muncul di pintu kelas, dengan mata melotot ke arahku.
Bak disambar petir rasanya. Saya kaget tak alang kepalang, sampai-sampai terbatuk dahsyat karena tersedak asap cerutu. Wajahku pucat-pasi ketakutan. Teman-temannya langsung terdiam.
“Kamu harus dihukum, ya? Sore ini, saat kegiatan olahraga, kamu dihukum main golf dengan pastor.Nanti kamu tunggu pastor di teater terbuka,” vonis Pastor Thij dingin, sambil mengambil puntung cerutu dari jepitan jariku, lalu berbalik pergi ke arah pastoran.
Sorenya, saat kegiatan olahraga, saya sudah siap menunggu di teater terbuka, berupa lapangan rumput berundak berbentuk setengah lingkaran. Teman-teman sekelasku berkerumun memandangiku dengan tatapan iri.
Ya, siapa tak iri, sudah bersalah isap cerutu, eh, dapat hukuman enak bermain golf dengan Pastor Thij. Perasaanku sendiri serba tak menentu. Apakah harus malu, sedih, atau senang dengan hukuman mewah itu.
“Ini stik golfnya.Ayo, mainkan!” Pastor Thij tiba-tiba saja muncul menyeruak kerumunan dan mengangsurkan “stik golf” ke tanganku.
“Huaaaahahahaaaa……!” Kontan teman-temanku koor tawa terbahak-bahak sambil bubar jalan, meninggalkanku dengan “stik golf” di tangan.
Tercenung, saya memandangi “stik golf” di genggaman. Jelas itu bukan stik golf sungguhan, tapi parang babat rumput bergagang panjang yang bentuk dasarnya memang persis stik golf.Cara penggunaannya juga sama: diayunkan membabat rumput, seperti stik golf diayunkan memukul bola golf.
“Saatnya babat rumput.Mulai!” perintah Pastor Thij. Sungguh, tak ada kemewahan untukku. Sesorean saya mengayunkan “stik golf” membabat rumput di teater terbuka, sementara teman-temanku asyik bermain sepak bola dan volli.
***
Dua kisah konyol itu kuceritakan di sini sebagai kenangan akan sosialisasi norma dan sanksi sosial selama sekolah di SMP Seminari.
Dalam kisah pertama saya menjadi korban atas ketakpatuhan teman pada norma sosial di lingkungan asrama. Begitulah, norma disepakati, tetapi selalu ada pelanggaran terhadapnya, dengan dalih yang berketiak-ular.
Dalam kisah kedua saya menjadi korban atas ulah sendiri. Waktu itu ada larangan merokok bagi murid SMP Seminari. Bahwa saya sempat gembira karena dihukum main golf, itu semata karena saya belum tahu itu istilah untuk membabat rumput.
Dua kisah itu melekat dalam ingatanku, dan memberi pelajaran tentang pentingnya norma sosial dan kepatuhan terhadapnya. Juga pemahaman bahwa sanksi, seperti “main golf” itu, adalah bentuk resiliensi untuk menjamin harmoni sosial. (eFTe)
Posting Komentar untuk "Dua Kisah Kecil Semasa di SMP Seminari"