Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Nilai Ijazah Kebakaran

Nilai Ijazah Kebakaran
Sumber gambar
https://pin.it/4QNMIpf


Nilai Ijazah Kebakar

Matahari bersinar cerah pagi itu, tetapi hatiku mendung, mata sembab karena menangis terlalu lama. Tiada harapan lagi untuk melanjutkan sekolah. Penyebabnya adalah gagal tes masuk SMK Negeri Siantar. Sebenarnya nilai NEM memadai sayang harus tes. Sebelumnya sudah mendaftar di SMA Negeri Panei Tongah, tetapi karena polu (nama panggilan untuk saudara perempuan bapak (tante). 

“Les, kamu kan tidak ada orang tua lagi, lebih baik melanjutkan ke SMK kan kasihan Tua (nama panggilan nenek) tidak sanggup membayar uang sekolah kalau kamu melanjutkan kuliah. Nah, kalau kamu sekolah SMK siap kerja.”

“Tapi kan Polu, aku sudah mendaftar di SMA Negeri Panei Tongah, sudah diterima malah. Ijazah sudah ditahan lagi.”

“Tidak apa-apa, nanti kita suruh minta tolong Polu Sarifah mengambilnya, dia kan mengajar di sana. Jadi sekalian dia mengambil berkasmu.”

“Ya udah Polu kalau memang bisa begitu, biarlah Polu  Sarifah mengambil berkas itu. Tapi masih bukakah pendaftaran? “ ujarku lagi.

“Masih,” ujar Polu Ana biasa aku panggil sesuai dengan nama anaknya paling besar.

Setelah berkas berhasil diambil dengan alasan mau disekolahkan ke Jakarta agar mempermudah prosesnya. Keesokan harinya aku membawa berkas lagi mendaftar ke SMK negeri terletak di jalan Bali Siantar. Aku masih bingung selama hidup tidak pernah mengetahui apa saja jurusan yang terdapat di SMK. Cuma pengalaman Polu si bungsu, mengambil jurusan sekretaris. Aku juga mengikuti langkahnya. Tenyata itu pilihan yang salah. 

Kenapa pilihan yang salah? Karena sektretaris harus bisa mengerti Bahasa Inggris. Sedangkan aku tidak bisa sama sekali. Belajar Bahasa Inggris hanya di SMP itupun sering kena hukuman gara-gara tidak bisa menghapal pastten apalah itu  istilahnya, hingga kini pun aku tidak tahu. Gurunya juga galak, akhirnya pelajaran Bahasa Inggris sangat kubenci dan hasilnya ketidaktahuan alias bodoh.
Setelah mendaftar, aku menunggu dipanggil untuk wawancara. Terjadi hal lucu pada saat diwawacara atau dites.

“Mau ngapain ke sini nak? ”Ujar salah satu guru yang bertugas untuk memberikan tes masuk SMK negeri.
“Mau diperiksa, “ ujarku dengan tampang polos.

“Ha! mau diperiksa?” ujar guru itu lagi dengan tampang mesem-mesem.
“Emang rumah sakit mau diperiksa.”
“Eh i. . tu, mau tes untuk jurusan,” ujarku lagi dengan wajah malu dan mungkin sudah memerah.

“Oh mau diwawancarai sekalian tes ya nak.” Kata Ibu guru itu lagi.
“Iya bu.” Sambil aku mempersiapkan alat tulis untuk mengerjakan beberapa soal yang diberikan. Setelah mengerjakan soal kemudian baru masuk wawacara. Soal menggunakan  Bahasa Inggris yang membuatku kelabakan tidak bisa menjawab. 

“Senin pengumuan ya!” ujar bu guru lagi.
“Iya bu, terima kasih infonya.

Sebenarnya berat juga bersekolah di SMK Negeri karena ongkosnya dua kali lipat dari sekolah sebelumnya. Kasihan Tua harus membanting tulang lagi untuk biaya sekolah. Walaupun negeri masih bayar SPP dan uang Gedung . SPP Negeri lumayan murah dibandingkan dengan swasta. Sekolah Negeri SPP hanya Rp 3000,” sedangkan swasta lima kali lipat dari negeri. Makanya orang tua berharap anak-anaknya bisa sekolah di negeri.

Tibalah pengumuman hasil seleksi, aku tidak lolos seleksi. Gagal. Aku murung, kesempatan bersekolah di negeri tidak kesampaian. Berkas di SMA Negeri sudah dicabut, tiada harapan lagi untuk melanjutkan sekolah. 

Apakah aku harus putus sekolah? Hati tersayat-sayat rasanya bila melihat teman-teman sudah pada mendaftar. Tinggallah aku sendiri merapati nasib bakal putus sekolah.

“Tua tidak sanggup menyekolahkan kamu ke swasta.” Tua keberatan menyekolahkan aku melanjutkan sekolah swasta karena biaya mahal.
Hari-hariku menjadi murung, pagi-pagi sekali berangkat ke ladang, pulang pun matahari sudah tenggelam. Malu rasanya apabila tidak sekolah. Ternyata perkataan itu hanya di mulut Tua saja. Tua mengijinkan aku sekolah di swasta dan memberikan uang untuk mendaftar. 

Berhubung sekolah swasta yang biasa saja jadi pendaftaran pun lama, sehingga sekolah pada masuk masih bisa mendaftar. Akhirnya aku bisa melanjutkan sekolah. Tetapi sangat prihatin berhubung uang sekolah mahal. 

Aku terdaftar di SMK .KE GKPS Pamatang Raya. Ongkos sehari-hari pulang pergi Rp 400,- . Tua memberikan uang setiap minggu Rp 10.000,- tidak mau tahu harus bisa dikelola sampai ketemu lagi hari pekan. Setiap hari pekan jatuh hari Selasa. Termasuk lumayan besar tapi aku tidak bisa mengelola. Akhirnya sering menipis di akhir pekan. 

Yang paling menyedihkan baju hanya satu pasang untuk 3 tahun, untung saja ada saudara yang memberikan baju lungsuran. Sepatu dibelikan paman. Merknya Spotec, lumayan awet sampai 3 tahun. Malah sepatu itu masih ada yang minta setelah tamat sekolah, begitu juga baju siap dilungsurkan.
Yang paling menyedihkan ketika wakil kepala sekolah datang ke kelas. Berhubung Tua tidak bisa tepat waktu membayar SPP akhirnya tunggakan sampai 3 bulan. 

Maklumlah terkadang harga kopi turun, hanya ada jualan kecil-kecilan seperti cabe, pepaya, kincung dan lain-lain. Harganya lumayan murah tapi masih bisa biaya makan untuk semimggu. Saat itu kami bertiga tinggal di rumah Oppung termasuk aku dan Tua. Oppung doli saat itu sakit-sakitan. Pulang  dari sekolah , masih memasak dan memberikan oppung makan kemudian langsung ke ladang membantu Tua. Setiap hari seperti itu. Hanya hari Minggu bebas istirahat berhubung ke gereja. 
Suata hari, alasannya kenapa saya bolos sekolah.

“Lesterina, ke kantor dulu sebentar!” ujar wakil kepala sekolah merangkap guru akutansi.
“Iya Pak,” aku sambil berdiri dan mengikuti bapak wakil kepala sekolah ke kantornya.

“Bagaimana kabar oppung?” ujarnya lagi.

“Baik Pak,” Aku duduk sambil menunduk ada rasa malu dipanggil karena tunggakan. 

“Besok ingatkan Oppungnya agar membayar uang sekolah!”

“Baik Pak,” aku pergi dari kantor dengan wajah murung. 

Sebelumnya setiap mau bayar SPP pasti mengingatkan, tetapi uang Tua masih kurang untuk membayar SPP sehingga  menunggak sampai tiga bulan. Karena malu dipanggil melulu. Aku memutuskan setiap pembelajaran Bapak SP (nama panggilan singkatan dari namanya, pantang menyebutkan nama di desa kami. Beliau guru utama di jurusanku karena beliau mengajar akutansi. Setiap pelajarannya terpaksa selalu bolos sekolah. 

Pagi-pagi sekali aku berangkat ke ladang. Pelajaran akutansi 3 kali pertemuan dalam seminggu berhubung itu jurasan. Beberapa minggu berturut-turut hal itu terjadi. Sehingga aku ketinggalan jauh pembelajaran akuntansi. Nilai otomatis menurun drastis dan aku menuai hasilnya. Nilai paling jelek terpampang di ijazah. Nilai jurusan merah alias 5. Sungguh menyebalkan. Padahal seandainya aku masuk terus tidak bakalan ada merah di daftar nilai. Pengalaman terburuk akibat uang sekolah terlambat terus. 
Sungguh membuat malu dan akhirnya merasa rendah diri.


Erina Purba

Catatan : apa yang dulu saya alami merupakan pembelajaran bagiku untuk anak didik yang sekarang saya bimbing. Walaupun atasan selalu menganjurkan agar diingatkan anak-anak masalah tunggakan, sebisa mungkin saya lakukan pendekatan dengan orang tua agar anak tetap semangat belajar tanpa memikirkan masalah tunggakan
Bekasi, 29112021
Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "Nilai Ijazah Kebakaran"

DomaiNesia