Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Ini Kisah Toleransi Kami

sambil cari ta'jil, mampir di sudut GKJ Joding dan Masjid Al-Hikmah | potrek punya aye


Berbicara tentang toleransi, hampir seperti kata yang makin hilang makna. Terlebih di masa yang semakin bergulat dengan perkembangan teknologi yang hampir setiap hari mengalami progres tingkat tinggi.

Ah, begitulah. Berbincang tentang toleransi antar umat beragama, saya kembali teringat sebuah masa. Ketika itu, kota Solo lagi-lagi menjadi sorotan media nasional.

Saya masih ingat betul, Natal kami pernah terjebak dalam sebuah ketakutan yang luar biasa. Kembali tangan jahil oknum pemecah belah kerukunan umat saat itu berulah.

Minggu, 25 Desember 2011. GBIS Kepunton, di mana saya beribadah biasanya mengadakan ibadah pada 3 sesi. Pukul 07.00 WIB, 09.00 WIB, dan 17.00 WIB.

Karena jumlah jemaat cukup banyak, maka pintu masuk dan tempat parkir gereja dibagi menjadi dua tempat yang berbeda. Sebelah halaman depan dan samping gereja.

Kami tidak pernah mengerti mengapa pelaku bom bunuh diri pada saat itu memilih melakukan aksinya pada sesi ibadah kedua. Yang pasti peristiwa mengerikan itu membuat kami merasa digantungi perasaan takut.

Bom bunuh diri yang menelan 1 korban meninggal (pelaku) dan 10 orang luka-luka tersebut segera viral. Sebuah insiden yang bagi saya masih menyisakan gambaran kelam.

suasana di luar GBIS Kepunton Natal tahun 2020 | dokpri


Semenjak terjadinya peristiwa kelam tersebut, setiap ibadah umum hari Minggu semua gereja di Solo selalu dijaga ketat oleh pasukan pengamanan. Baik dari pihak kepolisian maupun dari keamanan sipil setempat.

Pdt. Jonatan Jap Setiawan sebagai Gembala Sidang GBIS Kepunton selalu menekankan kepada semua jemaat untuk senantiasa mau mengampuni. Namun, bagi kami warga kristiani kota Solo pada umumnya masih mengingat kisah kelam tersebut.

Perlahan namun pasti, kami membangun kembali tembok kasih yang hampir saja runtuh. Kami semua jemaat GBIS Kepunton memulainya dengan gerakan mengampuni.

Pernah di suatu ibadah, kami bersepakat mengikat kain putih pada lengan kami sebagai aksi pernyataan pengampunan kami. Baik kepada pelaku bom maupun pada peristiwa kelam tersebut.

Kasih Kristus yang luar biasa seakan mengaliri kami tiada putus.

Kini kami bangkit dari ketakutan. Membangun kembali rasa percaya kami pada makna toleransi. Sebuah keutuhan yang datang dari kasih Tuhan.

Ah, lilin adven masih menyala, bukan? Izinkan saya membagikan keindahan lain di kota Solo.

Gambar yang saya pakai sebagai image di atas adalah keunikan di sudut Jalan Gasu (Jalan Gatot Subroto). Berdiri dua tempat ibadah yang begitu anggun. Simbol keunikan toleransi yang terbangun kokoh di ruang kota Solo.

Ada Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan dan Masjid Al-Hikmah yang bersanding bagai sebuah kemewahan langka. Hidup di antara riuh  rasa intoleransi di masa kini.

Saya mengambil gambar tersebut pada bulan Ramadhan tahun 2021. Adakah yang unik dalam tata ibadah dua kepercayaan tersebut? Tentu saja.

Misalnya saja, pada saat diadakannya ibadah Kenaikan Yesus Kristus pada tahun ini yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Momentum yang luar biasa.

Bagi kaum muslim sholat Ied diadakan pukul 05.00 - 07.00 WIB. Sedangkan ibadah peringatan Kenaikan Yesus diadakan mulai pukul 17.00-18.00 WIB. Indah bukan?

Apakah pada setiap ibadah hari Minggu jemaat tidak terganggu? Menurut pengakuan teman-teman yang beribadah di sana, mendengar adzan di tengah berjalannya ibadah adalah hal yang biasa. Dan bukan menjadi persoalan. 

Bahkan pada beberapa kesempatan, GKJ Joding (Joyodiningratan) dan Masjid Al-Hikmah mengadakan acara pengumpulan dana untuk kepentingan  sosial, atau juga mengadakan acara bakti sosial bersama-sama.

Koordinasinya? Wah, karena hanya berjarak dinding tebal setinggi kurang lebih 2-3 meter saja, maka koordinasi biasanya dilakukan dalam pertemuan bersama. Bertemu, berbincang lepas wa wi wu... dan tercipta acara bersama. Ga usah pakai surat menyurat, hehehe. 

Semudah itu? Iya. Pada kenyataannya, tata laksana kerukunan tersebut telah terbalut semenjak berdirinya gereja (1939) dan masjid (1947).

Pernahkah ada pihak yang ingin menggoncang kerukunan mereka? Ya jelas ada. Tapi, selalu gagal. Itu pun menurut pengakuan umat dari kedua belah pihak. 

Indah ya? Ternyata filosofi jawa di bawah ini masih berlaku. 

"Pager mangkok luwih kuat tinimbang pager tembok" (pagar mangkok lebih kuat dibanding dengan  pagar tembok). 

Okay, sampai jumpa lagi dalam kisah unik kami selanjutnya. 

Selamat Natal untuk setiap Sahabat yang merayakannya. Salam toleransi antar umat beragama. 

Jangan takut, sebab Dia Imanuel, Allah menyertai kita. 

Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "Ini Kisah Toleransi Kami"

DomaiNesia