Lupa Lirik !
Sumber foto : depositphotos
Membuka kembali lembaran kisah lama, sebenarnya adalah hal yang mengasyikkan. Menyibak kenangan-kenangan yang menetap di ingatan, rasanya seperti memutar ulang film lawas. Dan kita adalah salah satu tokoh utama di antara deretan pemeran pembantu dan figuran yang mengisi di dalamnya.
Hari ini, aku ingin mengenang kisahku semasa berseragam merah putih. Kalau tak salah ingat, saat itu aku masih duduk di kelas 4 (empat) Sekolah Dasar. Bukan anak baru lagi di sekolah, tapi juga masih lama dari kata "alumni" siswa Sekolah Dasar.
Kala itu, ada acara Porseni SD (Pekan Olah Raga dan Seni tingkat Sekolah Dasar). Selama sepekan, diadakan lomba dan pertandingan di bidang olah raga dan seni. Macam-macam yang dilombakan dan dipertandingkan.
Yang aku ingat, di bidang seni ada lomba menyanyi, lomba melukis, lomba baca puisi dan lomba mengarang. Sedangkan di bidang olah raga ada lomba senam, lomba lari, .... dan sepertinya ada lomba tarik tambang juga, deh. Lupa-lupa ingat, hehehe...
Tahun-tahun sebelumnya, aku sangat antusias menyongsong acara Porseni ini. Bukan karena aku menjadi salah satu perwakilan sekolah untuk mengikuti acara ini. Tetapi justru karena tidak terpilih mewakili sekolah, maka bisa menonton acara Porseni ini. Apalagi tempat pelaksanaan lomba Porseni sering diselenggarakan di sekolahku. Satu kompleks sekolah yang terdiri dari 4 (empat) SD Negeri. Memiliki lapangan atau halaman sekolah yang luas dan juga memiliki banyak ruangan kelas.
Aku bisa menonton lomba menyanyi atau lomba baca puisi dari balik jendela atau di depan pintu ruangan. Dengan catatan, tidak boleh ramai, agar tak mengganggu jalannya lomba. Atau aku bisa menonton lomba tarik tambang dan lomba lari di tepi arena lomba. Berteriak-teriak memberikan semangat tidak dilarang di sini. Hehehe...
Nah, Porseni kali itu berbeda. Aku ditunjuk untuk mewakili sekolah mengikuti lomba menyanyi. Aku ingin menolak, tapi guruku terus memaksa aku. Sebagai murid yang baik, apalagi yang bisa diperbuat, selain menuruti perintah guru.
Sebenarnya suaraku itu tidak merdu-merdu amat. Bermodal power suara yang cukup keras, aku sering mendapatkan nilai lumayan di pelajaran menyanyi. Apalagi kalau menyanyi lagu-lagu nasional, semacam Garuda Pancasila, Halo-Halo Bandung dan Sorak-Sorak Bergembira. Lagu-lagu yang menyalakan semangat 45. Hahaha...
Singkat cerita, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, dimulailah persiapan untuk mengikuti lomba menyanyi di acara Porseni itu. Aku dilatih oleh bu Widasih, guru wali kelasku yang memang pandai menyanyi. Beliau adalah anggota paduan suara gereja. Makanya suaranya merdu dan memiliki teknik menyanyi yang baik.
Berlatih menyanyi untuk acara Porseni itu sangat berbeda dibandingkan saat pelajaran menyanyi di kelas. Tekanannya lebih terasa. Tidak bisa enjoy seperti saat menyanyikan lagu Sorak-Sorak Bergembira.
Apalagi, salah satu lagu yang dipilih untuk dinyanyikan saat itu adalah lagu yang benar- benar baru untukku. Lagu daerah Madura yang berjudul Tanduk Majeng. Lagu daerah yang bahasanya asing di telingaku. Baru sekali itu aku mendengarnya.
Berikut ini adalah lirik lagu Tanduk Majeng beserta terjemahan artinya :
"Ngapote wak lajereh etangaleh
(Layar putihnya mulai kelihatan)
Reng majeng tantona lah pade mole
(Pencari ikan tentulah sudah pada pulang)
Mon e tengguh deri abid pajelennah
(Kalau dilihat dari lamanya perjalanan)
Mase benyak’ah onggu le ollenah
(Tentu hasil ikannya sangat banyak)
Duuh mon ajelling odiknah oreng majengan
(Duuh kalau dilihat hidupnya orang pencari ikan)
Abental ombek asapok angin salanjenggah
(Berbantal ombak berselimut angin selamanya)
Ole…olang, Paraonah alajereh
(Ole… olang, perahunya mau berlayar)
Ole…olang, Alajereh ka Madureh
(Ole… olang, berlayar ke madura)"
Lagu Tanduk Majeng ini sebenarnya merupakan lagu khas dari daerah Madura yang dinyanyikan dengan nada riang, karena lagu ini berisi sukacita dan harapan.
Lagu ini bermakna bahwa perjuangan orang Madura yang mayoritas nelayan. Orang Madura tidak peduli malam-malam, terik matahari, musim hujan, musim kemarau, angin kencang, dan ombak yg besar. Mereka terus berjuang menangkap ikan untuk menghidupi keluarga mereka meskipun nyawa taruhannya.
Hanya saja lidahku yang medhok dengan bahasa Jawa, tidak fasih menyanyikan logat Madura. Entah berapa kali saja, lafal pengucapanku dikoreksi oleh bu Widasih. Berulangkali menyanyikan lagu Tanduk Majeng, bukannya membuat menyanyiku tambah lancar. Justru membuat lidahku jadi kram. Hehehe.
Untuk menutupi kekurangan pelafalanku yang tidak sempurna, sehari sebelum lomba menyanyi, bu Widasih punya satu ide baru. Idenya adalah aku menyanyi dengan diiringi alat musik. Alat musik yang sederhana yang terpikirkan saat itu adalah gitar. Dan yang kebagian sampur memetik gitar saat itu adalah pak Wakanu, salah satu guru di sekolahku yang ganteng dan keren pada masa itu. Aihh... Senengnya... Hehehe
Dan H-1 menjelang acara yang terasa menegangkan itu, aku berlatih sungguh-sungguh. Beradaptasi. Yang awalnya menyanyi garingan, tanpa iringan alat musik. Lalu berubah menjadi dengan iringan gitar. Mengklopkan suara dan gitar. Kapan harus masuk mengawali menyanyi, kapan ada jeda, dan seterusnya.
Di tengah latihan, seorang teman sekelasku mencoba memberikan dukungan dan semangat. Dia ikut menari saat aku menyanyi. Melihat hal itu, timbul ide baru lagi dari bu Widasih.
"Eh, sini kamu. Besok kamu ikut menemani Dewi menyanyi ya. Kamu bertugas jadi penari latar. Jadi kamu menari di samping belakangnya Dewi ya !" perintah bu Widasih pada temanku.
Aku tertawa melihat temanku yang garuk-garuk kepala mendengar perintah bu Widasih. Sekali lagi, the power of perintah guru yang tak bisa dibantah ! Hehehe.
Singkat cerita, keesokan harinya, acara lomba menyanyi yang ditunggu itu pun tiba juga. Perwakilan masing-masing sekolah telah bersiap dengan penampilan terbaiknya. Demikian juga aku, pak Wakanu dan temanku yang menjadi penari latar. Seingatku, satu-satunya penampilan dengan membawa penari latar, hanya dilakukan oleh sekolahku. Keren, kan !!!
Tapi, untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Di saat giliranku menyanyi, terjadi insiden yang tak diinginkan. Di tengah-tengah lagu, tiba-tiba saja, plasss...!!! Aku lupa liriknya. Aku mencoba mengingat-ingat, tapi tetap lupa. Aduh... bagaimana ini ? Keringat dingin mulai terasa di kening dan di punggungku. Mati gaya deh, rasanya...
Di saat seperti itu, temanku yang menjadi penari latar maju menjajari aku dan memberi kode, mengajak aku menari bersamanya. Spontan aku mengikuti gerak tari temanku dengan iringan gitar pak Wakanu. Sambil mataku mencari pertolongan. Kucari sosok bu Widasih yang duduk di bangku sebelahku saat menunggu giliran tampil tadi.
Benar saja, bu Widasih berusaha menolongku. Bibirnya tampak komat kamit. Bukan membaca mantra lho ya. Hahaha... Beliau komat kamit menyanyikan lagu Tanduk Majeng itu dengan setengah suara.... Eh, seperempat atau seperdelapan suara mungkin, ya. Karena aku tidak mendengar suaranya. Namun gerak bibirnya akhirnya mengembalikan ingatanku akan lirik lagu Tanduk Majeng yang sempat hilang sesaat dari ingatanku.
Dan demikianlah, akhirnya lagu Tanduk Majeng itu berhasil kuselesaikan juga, walau tidak sempurna. Hasilnya pun bisa ditebak. Aku berhasil tidak mendapatkan juara di acara Porseni itu. Hehehe...
Setidaknya, tak ada lemparan tomat ke arahku. Apalagi lemparan batu... Hahaha. Syukurlah, saat itu masih belum mengenal Engkong, yang suka melempar tomat dan juga belum mengenal Uda Zaldy, yang suka dilempari batu. Ehhh.... Ampun, Engkong dan Uda...
Ah, sungguh cerita di atas adalah kenangan masa sekolah yang tak terlupakan. Sejak saat itu, aku mengubur rasa malu atas kegagalanku menyanyi. Hingga tumbuhlah tunas keberanian berbicara dalam senyap lewat tulisan. Hahaha. Maksa ini, ceritanya.
Terima kasih untuk mbak Apriani Dinni yang membuatku menyibak kenangan masa sekolah dulu. Di hari yang berbahagia ini, tak ada lagu yang ingin kunyanyikan (daripada aku lupa lirik lagi, hehehe) dan tak ada kata yang bisa kuucapkan, selain doa tulus di penghujung malam ini.
"Selamat merayakan kehidupan, mbak Dinni.
Selamat memaknainya dengan hal-hal yang terpatri indah dalam kenangan.
Tuhan senantiasa menyertai. Amin"
Pare, 03.12.2021
Written by Dewi Leyly
Posting Komentar untuk "Lupa Lirik !"