Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Narasi Toleransi dan Telorasin di Negeri Pelangi


Dari sejak Tahun Gajah, dan mungkin hingga Era Kuda Gigit Besi serta para Kucing memiliki tanduk, isu agama bisa jadi akan tetap menjadi bahan perselisihan dan perdebatan. 

Apapun motif di balik itu, aku gak akan ikutan!

Kebenaran hari ini, mungkin saja merupakan kekeliruan pada masa lalu. Atau sebaliknya, kekeliruan pada masa kini, ternyata kebenaran pada masa yang akan datang.

Kok bisa?

Lah,,wong jika itu berpijak pada kebenaran manusia. Namun, agama tidak saja tentang kebenaran, kan? Tapi juga keyakinan. Dan hematku, tak akan ada yang bisa mengalahkan keyakinan. 

Jika masih sibuk menggali kebenaran, artinya belum hadir keyakinan. Atawa, jika sibuk menyigi keyakinan, artinya belum menemukan kebenaran. Versi siapa? Karena agama adalah hak setiap pribadi, maka itu ukurannya adalah pribadi. 

Jadi?

Bila kebenaran dan keyakinan itu disepakati oleh seseorang, maka hal itu akan mengikat diri yang bersangkutan pada kebenaran dan keyakinan tersebut.

Menjadi salah adalah ketika mengikat diri, namun mengingkari. Dan menjadi parah kaprah, ketika ikut-ikutan mengulik hal yang dianggap salah, namun tidak dikuasai. 

Yo wes, alur berpikirku yo ngono thok!

Nah, yang menjadi pertanyaan, hidup terus berlanjut, kan? So, bagaimana kita meniti kehidupan di tengah-tengah kelindan dan sengkarut tentang perbedaan agama, kebenaran dan keyakinan?

Narasi Toleransi dan Telorasin

Aku beruntung lahir dan besar di Curup. Kota kecil, yang juga sebagai ibukota Kabupaten Rejang Lebong, Propinsi Bengkulu.

Sejak menjadi Propinsi ke-27, Etalase masyarakat Curup tak hanya dihuni masyarakat pribumi Rejang. Namun juga etnis Jawa, Minang, Sunda, Batak, Palembang dan Keturunan Tionghoa. 

Kemajemukan tersebut, tak hanya menampilkan perbedaan adat, budaya dan bahasa. Namun, juga agama, tah?

Kondisi heterogen ini, kemudian secara tak langsung mengajariku untuk melihat dan menerima keberagaman agama yang ada di sekitarku. Bergaul dan memiliki teman berbeda etnis dan agama bukan hal yang aneh! 

Kotaku tak hanya memiliki Masjid bagi kaum muslim, Gereja bagi jamaat Nasrani, Namun juga Pura dan Vihara untuk teman-teman yang beragama Hindu dan Budha. 

Teranggaku? Selain muslim, ada juga yang Nasrani, Budha bahkan Hindu. Kehidupan dalam keseharian, damai-damai aja. Saat merayakan hari besar keagamaannya? Yo monggo! 

Kalo gak mau ikut, gak bisa bantu, atau gak diajak, yo ojo diusik. Logika sederhananya, tak akan berisik jika tak diusik!

Bila menyigi kata toleransi, idealnya berwujud kesadaran dari dalam diri terhadap batas nilai dari sebuah perbedaan! 

Berbeda halnya dengan narasi Telorasin. Tak akan ada rasa asin pada sebutir telor, tanpa intervensi dari pihak luar. Pada alur sejarahnya, telor asin tak akan pernah mampu mengasinkan dirinya sendiri.

Sama halnya dengan ikan asin, walau seumur hidup di lautan, tak akan pernah menjadi ikan asin, kan? Silakan liat tutorial cara membuat ikan asin di kanal-kanal youtube!

Kesimpulan?

Jika caramu berpikir dan bersikap untuk menerima perbedaan, berdasarkan kesadaran dari dalam diri, maka itu adalah toleransi. 

Namun, jika hal itu berpijak dari dorongan orang lain atau dominasi pihak lain, dirimu bukan sedang bertoleransi. Tapi, sekadar sebutir telor asin!

Dalam tahap hidup bersama (living together), perbedaan malah menjadi pelangi. Indah dengan multi warna yang dipamerkan.

Bagiku, kita beruntung menjalani hidup di Negeri Pelangi. Dengan berbagai keberagaman yang tersaji.

So, mari menikmati keberagaman dengan mengikat diri dan menyigi nilai-nilai kebersamaan dan persamaan. Bukan pada poin-poin perbedaan yang menuai perpecahan dan kerusakan.

Jika perbedaan itu memang harus dan tetap ada. Solusi terbaik adalah, bagaimana caranya menjalani hidup dalam kebersamaan di antara perbedaan yang ada. Begitu, tah?


Curup, 23.12.2021

Zaldy Chan

Foto oleh Brett Sayles dari Pexels


Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "Narasi Toleransi dan Telorasin di Negeri Pelangi"

DomaiNesia