SMA, Aku Juga Punya Cerita
Bertahun lamanya. Banyak yang sudah lupa, ada juga yang tak ingin aku mengingatnya. Tentang kawan, guru, pelajaran sekolah; cinta, mungkin.
Ini cerita tentang masa-masa di SMA.
Aku bersekolah di SMA 30, di kawasan Rawasari, Jakarta Pusat. Aku sendiri tinggal di daerah Cempaka Putih. Pergi sekolah naik bus PPD no. 41. Bus ini jurusan Pasar Baru -- Cililitan, dan memang lewat daerah Cempaka Putih.
Setiap hari begitu. Aku ingat, walau bus ini beroperasi dalam kota, setiap orang diberi karcis sebagai bukti tanda pembayaran. Waktu itu ongkosnya Rp50,00, sedang pelajar hanya Rp30,00. Ingat, ini harga tahun awal 80-an (ketahuan umurku, ya).
Dulu ada Polsus ('polisi' khusus), yaitu petugas yang memeriksa para penumpang. Kalau kedapatan ada yang tidak membayar langsung diturunkan di tengah jalan. Yang sering memang para pelajar, terutama pelajar lelaki.
Aku juga pernah diturunkan, karena ikut-ikutan teman. Hehehe. Makanya bus PPD jarang mau berhenti kalau ada rombongan pelajar lelaki. Resikonya akhirnya telat masuk sekolah. Alasannya, "Macet!" Dan kita baru boleh mengikuti pelajaran pada mata pelajaran kedua.
Soal guru.
Guru yang paling kuingat adalah Guru Matematika. Kami memanggilnya, Pak Dongoran. Tubuhnya pendek bulat. Setiap mengajar ia selalu duduk di atas meja.
Anak-anak takut dengan guru satu ini. Bukan karena sering marah, tapi setiap anak - ini paling horor - harus ke depan mengerjakan soal. Semuanya pasti kebagian. Jadi setiap ada pelajaran matematika, anak-anak sudah belajar dulu di rumah.
Aku sendiri pernah waktu kelas satu sampai keluar keringat dingin. Waktu itu aku dipanggil ke depan. Aku pikir disuruh mengerjakan soal, tapi disuruh membaca. Mungkin hanya satu paragraf, itu dibaca berulang-ulang.
Aku nggak siap. Gemetar waktu membacanya. Ditambah suaraku sering pecah, seperti tercekik, karena peralihan masa aqil balig. Satu kelas mentertawakanku. Saat itu rasanya ingin tenggelam ke dasar bumi. Bajuku basah karena keluar keringat dingin.
Sejak itu aku selalu giat belajar matematika. Makanya tak heran nilai tertinggi di raporku adalah pelajaran matematika.
Walaupun begitu teman-teman yang lain tetap segan terhadap Pak Dongoran. Dia termasuk salah seorang guru yang tak mau menjual-jual diktat, rangkuman soal-soal, kepada murid-muridnya (zaman itu begitu lazim guru menjual-jual diktat).
Anak-anak semakin menaruh hormat kepada Pak Dongoran, ketika mereka tahu bahwa Pak Dongoran untuk menambah biaya hidup, ia ngompreng, menarik penumpang setiap malam. Mobil pickupnya dimodifikasi. Diberi bangku panjang berhadap-hadapan, dan diberi tutup terpal.
Seingatku sekolah kami nggak pernah terlibat tawuran antarsekolah. Memang di jalur menuju sekolah takada sekolah lain (SMA atau STM) yang berdekatan. Jadi kemungkinan bentrok kecil sekali.
Soal cewek, harus cerita juga?
Baiklah.
Tentu ada cewek yang membuat aku tertarik. Ini waktu kelas satu. Dia tipikal cewek-cewek yang jadi tokoh dalam cerpen-cerpen remaja. Cantik, pintar, dan sering menjadi pembicaraan teman-teman di kelas, bahkan mungkin juga satu sekolah.
Mengungkapkan secara langsung nggak ada keberanian. Aku siswa yang nggak terlalu menonjol. Prestasi akademik biasa-biasa saja. Tampang di bawah biasa-biasa saja.
Jadi aku cuma cindaha - cinta dalam hati.
Beruntung initial namanya dalam daftar absensi berdekatan dengan namaku. Jadi kalau ada pembagian kelompok belajar aku selalu bergabung dengannya. Dia sebagai ketua kelompok. Jadi kalau tugas kelompok, menyerahkan kepadanya.
Sekadar bertugas sapa, pura-pura menanyakan pelajaran, itu menjadi sesuatu. Kalau tidak mana mungkin aku bisa menulis hari ini.
Kelas dua dan tiga aku tak sekelas lagi dengan dia. Tapi aku masih bisa memandangnya dari jauh. Masih bisa berdebar-debar.
Udah, ah!
***
Lebakwana, Desember 2021
Posting Komentar untuk "SMA, Aku Juga Punya Cerita "