“The Power of Ice Cream”
Sumber foto ; https://unsplash.com/@sadswim
“Eh, kamu tahu kan, es krim yang enak dekat sekolahmu itu? Mau gak? Kalau mau, nanti Daddy kasih uangnya tapi kamu yang beli ya?”
Aku mengangguk kegirangan. Tanpa pikir panjang lagi, setelah Daddy - begitu aku memanggil Ayahku - memberikan uang, aku langsung berlari ke luar rumah menuju arah sekolah. Satu tujuanku, membeli es krim!
****
Empat jam sebelumnya.
Daddy memberikan ultimatum kalau hari ini dan seterusnya aku harus belajar mandiri. Berangkat sekolah harus sendiri, tak boleh ada yang mengantar lagi. Ultimatum itu tetiba membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Tenggorokanku sakit. Batuk-batuk. Alasan yang cukup kuat untuk tidak masuk sekolah hari itu.
Alasan tersebut tentu saja harus aku dukung dengan berleyeh-leyeh di tempat tidur dan pandangan mata yang sayu.
“Kamu tidak berangkat sekolah hari ini, Nak?” Tanya Ibuku.
“Kepalaku pusing, Bu!” jawabku dengan nada yang sengaja kulemahkan.
Ibu kemudian meraba keningku. Sambil tersenyum beliau berkata, “Kalau begitu istirahat saja ya Nak!”
Satu jam pertama aku menikmati bermalas-malasan di tempat tidur. Tapi kemudian mulai memikirkan bagaimana aku harus bersikap di depan teman-teman besok? Setiap anak di kelasku semua di antar ke sekolah oleh seseorang. Bahkan beberapa pengantarnya menunggu di luar kelas hingga sekolah usai.
Sementara Daddy menginginkan aku pergi sekolah sendiri? Mana mungkin itu bisa kulakukan. Umurku baru lima setengah tahun, ini tahun pertama aku bersekolah. Tidakkah mereka pikirkan itu? Sayangkah mereka padaku?
Tiga jam telah berlalu, aku mulai bosan berbaring.Teringat akan coklat ayam di meja makan sisa semalam. Menonton TV sambil menikmati coklat ayam adalah ide yang menyenangkan.
Tanpa berpikir dua kali, aku beranjak dari tempat tidur, mengambil coklat dan duduk di depan TV.
Coklat sudah habis kulahap saat Daddy menghampiri, “siang-siang begini, paling enak makan es krim, nih!”
****
Aku pulang dengan perasaan bangga, jumlah es krim dan uang kembalian semua benar adanya. Aku telah berhasil menjalankan tugas yang diberikan Daddy dengan baik. Dan itu semua kulakukan seorang diri.
Setelah mendapat tepukan di bahu dari Daddy, aku kembali duduk menonton TV sambil menikmati sebatang es krim. Tak lama kemudian Daddy turut bergabung denganku menikmati siaran TV dan es krim yang kubeli tadi.
“Enak sekali es krimnya ya?” komentar Daddy setelah melumat habis es krim di tangannya.
Tanpa menunggu respon dariku beliau bertanya lagi, “Penjualnya dekat sekolahmu, kan?”
Aku mengangguk sambil terus menjilati es krim yang tersisa sedikit di tanganku.
“Wah, kamu pintar sekali sudah bisa jalan dan beli es krim yang di dekat sekolah itu sendirian, berarti mulai besok kamu sudah pintar juga berangkat sekolah sendiri ya?”
Aku cuma mengangguk, keesokan harinya aku pergi ke sekolah seorang diri. Aku ingat guru kelasku sempat memuji keberanianku. Hari-hari setelahnya, kulihat beberapa anak juga mengikuti jejakku. Datang ke sekolah sendirian. Aku bangga telah memberi contoh yang baik untuk mereka.
Moral di balik cerita masa kecilku ini adalah, jangan pernah menganggap remeh “the power of ice cream” he..he...
Selamat ulang tahun Mba Dinni, sehat dan bahagia selalu yaa.
Widz Stoops, PC- USA 12.01.2021
Posting Komentar untuk "“The Power of Ice Cream”"