Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Time After Time




Kulihat jam digital berkedip begitu awet di angka 22:38. Sementara kursor pun enggan bergerak. Hanya berkedip. 

Sedangkan musik digitalku meretas seuntai petikan Iron & Wine meluruskan Time After Time langsung ke dalam ingatan yang kuperas habis malam ini. Ingatan tentang masa sekolah yang hampir hilang. 

Layaknya kabut yang malam ini terbang merendah menutupi badan atas jalanan kota yang basah oleh hujan seharian. Kucoba lagi menelusuri membran korteks abu-abuku. Ealaaa, ga ketemu juga. 

Okay,ada selembar masa TK. Takada yang kudapat selain aku kecil begitu mengganggu sarapan si kuda penarik andong yang sedang menikmati kudapannya. 

Wow... pelan namun pasti ingatan saya pun terbang saat Ayu yang 4 tahun ini setiap jam istirahat selalu memilih ayunan di depan kelas. Mengayunkannya sekencang mungkin, hingga serasa terbang setinggi atap sekolah. Atap sekolah? Well, iyha!! 

Padahal atap tersebut jika saja kukira setinggi 3 m di atas tanah. Yang pasti tak ada hari tanpa para guru berteriak histeris, bahkan ada yang panik mencoba menghentikan ayunanku. 

Kalian tahu, tubuh mungilku ini serasa terbang. Begitu tinggi. Dan adrenalin si kecil Ayu akan memuncak diiringi dopamin yang segera membuatku terbahak. 

Lying in my bed, I hear the clock tick and think of you/ Caught up in circles/ Confusion is nothing new/ Flashback, warm nights/ Almost left behind/ Suitcase of memories/ Time after 

Lagu ini masih memutari malamku, Kawan. Membawakan kembali ingatan jauh ke saat seorang Ayu di tingkat 6 SD. Ayu kecil begitu tengil membuat skenario. Sebuah kejutan untuk ibu Guru wali kelas. Duh, ingataaan... kau renggut lagi nama ibu Guru yang begitu baik. Yang salah satu anaknya bernama Paska. 

Ah, entahlah. Aku membagi tugas. Sidiq dan Kusno yang memiliki tangan selayaknya tangan Basuki Abdullah melukiskan sebuah grafiti indah di papan tulis. 

Dan mereka hanya butuh waktu 5 menit menyelesaikan grafiti indah bertulis ucapan ulang tahun untuk Guru tercinta kami. 

Sayang, aku tak punya kamera canggih untuk memotret grafiti itu layaknya para pemotret profesional yang memajang potret indah mereka di blog atau media sosial mereka. 

Aku hanya punya ingatan yang kadang rapuh ini untuk mengingat indahnya grafiti dengan perpaduan kapur tulis berwarna di atas papan tulis hitam. 

Oh iyha, aku ingat Mba Danik. Murid paling manis, paling disukai oleh semua murid laki-laki sekelas. Mbak Danik, ya aku memanggilnya seperti itu (bukankah usiaku paling muda?). 

Oh pagi itu dia sudah berdandan cantik. Dan suara emasnya kudaulat untuk menyanyikan lagu selamat ulang tahun. 

Yang lain? Urusanku!! 

Begitulah. Saat suara sepatu bu Guru yang baik itu terdengar, Didit sang kepala suku segera mengatur semua murid duduk maha teratur. 

Ajib, sungguh ajaib!! Siswa kelas 6 yang biasanya sangat gaduh dan sukar diatur, dalam hitungan detik telah duduk begitu rapi bak kelas Upin Ipin. 

Seperti biasa ibu Guru yang baik berjalan tanpa menyadari apa yang sedang terjadi. Sesaat kemudian di samping meja Guru, beliau bersiap untuk diberi salam. 

Saya ingat betul bagaimana ibu Guru baik itu mengernyitkan keningnya. Matanya berputar ke kanan, lalu ke kiri. Seakan sedang mencurigai bahwa ada yang salah dengan sikap teratur siswa kelas 6 saat itu. 

Akhirnya, Mba Danik maju ke depan. Murid cantik pujaan hati seluruh kelas pagi itu benar-benar cantik dengan jepit rambut kecil yang menempel di kanan dan kiri rambutnya. Ia berdiri di depan ibu guru. 

Happy birthday to you
Happy birthday to you 
Happy birthday Ibu Guru 
Happy birthday to you 

Suara cantik lagi merdu melantun memenuhi ruang kelas kami. Segera dua orang teman yang bertugas membawa kue kecil hasil iuran kas kelas memberikan kue yang aksesoris kembangnya sudah agak miring ga jelas. 

Aku ingat, ibu Guru yang baik itu menangis. Iya. Belum reda tangisnya, aku membuatnya bertambah haru. 


Aku berdiri di depan kelas, bak Rendra sang penyair, aku membacakan sederet kata-kata pujaan yang kutulis di sebuah puisi untuk ibu Guru. 

Sungguh, meski ingatan ini buruk, Kawan. Paling tidak, aku masih mengingat judul puisi itu. "Untukmu, Ibu Guruku". 

Ya... Bahu ibu Guru baik itu terguncang. Ia menangis. Dan epiknya, kami siswa kelas 6 hanya terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Aku masih mengingatnya. 

Entah rasa senang atau bahagia atau entah apa yang dirasakan ibu Guru baik itu, yang jelas murid tengilnya yang berjuluk penyair tengil ini, telah berhasil membujuk hatinya pagi itu. Ya, paling tidak ulangan bahasa Indonesia kami ditunda. Hehehe.... 

Aku ingat hangat pelukannya. Penyair tengilnya ini, murid kebanggannya yang telah menyabet juara lomba baca puisi se-kotamadya Surakarta telah berhasil menyabet hatinya kala itu. 

Bu Warsi. Ya, terima kasih. Paling tidak, sekarang nama ibu Guru baik itu muncul bersamaan dengan munculnya mentari pagi saat seutas pesan kusampaikan lewat WAG untuk dia, Teteh cantik yang tepat hari ini berulang tahun. 

If you're lost you can look and you will find me 
Time after time 
If you fall, I will catch you, I'll be waiting Time after time 

**** 
HAPPY BIRTHDAY, Teteh cantek Apriani Dinni. Thank you wat kesempatan baik ini ya. Kisah ini untukmu.









Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "Time After Time"

DomaiNesia