Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Toleransi, Antara Teori dan Praktik

Toleransi, kata itu sudah familier sejak saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Guru Mata Pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) kala itu selalu menjelaskan kepada kami tentang apa itu toleransi. 

Berlanjut di Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, kata toleransi sudah saya fahami bahkan sampai hafal di luar kepala kala ada soal-soal ujian yang membahasnya. 

Lanjut di perguruan tinggi, sama saja. Hanya lebih luas pembahasannya. Kata toleransi sudah saya fahami sebatas teori saja. 

Toleransi Beragama Masih Sekadar Teori Saja

Yang menjadi permasalahan adalah ketika kata toleransi dihadapkan pada praktik dalam kehidupan sehari-hari. Tersebab sejak kecil hingga di perguruan tinggi, saya berada pada lingkungan yang homogen. Baik dari suku maupun agamanya.  

Mulai belajar mengerti arti perbedaan ketika di bangku kuliah. Itupun bukan perbedaan agama. Namun lebih kepada perbedaan suku dan bahasa saja. Karena banyak mahasiswa yang berasal dari luar daerah dan beda suku serta bahasa. 

Hobi yang Sama Menghapus Perbedaan yang Ada 

Namun tentang toleransi beragama baru benar-benar saya rasakan ketika saya bergabung menulis di Blog Kompasiana dan di Secangkir Kopi Bersama. Dimana di Blog Kompasiana dan Secangkir Kopi Bersama, saya kenal banyak penulis dari berbagai belahan daerah, pulau, suku bahkan agama yang berbeda. Di situlah saya benar-benar merasakan nuansa toleransi yang indah. 

Hobi yang sama, telah menghilangkan sekat perbedaan yang ada. Saya merasakan persahabatan yang indah. Seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Rasulullah hidup berdampingan dengan orang Yahudi dan Nasrani dengan baik. Bahkan Rasulullah melindungi penganut agama non islam tersebut. 

Di Indonesia sendiri ada tokoh nasional yang dijuluki sebagai Bapak Pluralisme, siapa lagi kalau bukan Gus Dur (KH. abdurahman Wahid). Beliau diberi julukan demikian karena keberpihakannya pada kelompok kaum minoritas, baik dalam kalangan muslim maupun karena kedekatannya dengan kalangan non-muslim seperti umat Kristen, katolik dan etnis tionghoa. 

Bukan hanya Indonesia saja namun ternyata dunia pun mengakuinya 


Ari Budiyanti, Sahabat Literasi yang Menginspirasi 


Dalam grup perpesanan yang saya ikuti, saya cukup akrab dengan hampir semua anggotanya. Setiap hari ngobrol, baik obrolan tentang kepenulisan maupun obrolan ringan lainnya. Bahkan bercanda ria hampir kami lakukan setiap harinya. Saya bilang, grup perpesanan itu adalah miniatur Indonesia. Ada banyak perbedaan di sana. Namun perbedaan tersebut tidak menyebabkan hubungan kami tersumbat. Bahkan bisa terjalin indah dan akrab. 

Salah satu dari anggota grup tersebut, yang lumayan akrab dengan saya adalah Mbak Ari. Yang saya tahu, Mbak Ari beragama Kristen. Kami berdua tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Kami berdua sering japrian. Dari sekadar tanya kabar, membicarakan tentang tulisan, tentang kegiatan masing-masing ketika di rumah maupun di sekolah. Karena kebetulan kami mempunyai profesi yang sama, yaitu guru. 

Hubungan kami sudah lama terjalin. Sekitar awal tahun 2020. Sampai saat ini hubungan kami masih baik-baik saja. Harapan saya, selamanya kami menjadi sahabat yang baik. Saling support satu sama lainnya. Sungguh perbedaan agama, tidak menjadi soal bagi kami untuk menjalin persahabatan. 

Justru di sinilah saya benar-benar mempraktikkannya, nilai toleransi dalam kehidupan nyata, meskipun kami berhubungan lewat dunia maya, kami belum pernah bersua. Namun seakan kami sudah kenal lama dan akrab. 

Kami tidak akan membahas masalah akidah. Bagi kami hal itu adalah urusan pribadi masing-masing. Seperti dijelaskan dalam QS. A-Kafirun 6 yang artinya: "Bagimu agamamu dan bagiku agamaku" Terjemah ayat di atas mengandung makna bahwa dalam masalah akidah kita tidak boleh bekerja sama. 

Nah, sehari lagi kaum Nasrani akan merayakan Natal. Isu yang bergulir tiap tahunnya adalah tentang pengucapan selamat natal. Mengenai boleh nggaknya mengucapkan Selamat Natal bagi kaum islam kepada kaum Nasrani, sebenarnya ada dua pendapat dari ulama'. Ada yang melarang dan ada pula yang membolehkan. Sesuai dengan keyakinan masing-masing dalam menyikapi hal ini. 

Namun bagi saya pribadi, mengucapkan Selamat Natal, boleh-boleh saja. Hal ini dilakukan semata-mata hanya untuk menghormati kaum Nasrani. Dan bukan berarti kalau sudah mengucapkan selamat natal akan merubah keyakinan bagi yang mengucapkannya. 

Jadi, dalam pergaulan dengan pemeluk agama yang berbeda, prinsip saya adalah sepanjang itu bukan urusan akidah, kita diperbolehkan menjalin hubungan dengan orang non islam Justru menurut saya, praktik toleransi bisa sebagai ajang untuk menunjukkan pribadi saya sebagai muslim, untuk saling mengenal, berkomunikasi yang baik, saling berbagi ilmu dan saling menyayangi. Dan itu sudah dijelaskan dalam Al-Quran. Bahkan tidak hanya satu ayat atau satu surat saja. 

Akhir kata, semoga toleransi beragama di Indonesia semakin baik dan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Salam toleransi. Selamat merayakan Hari Natal bagi kaum Nasrani. Semoga sehat selalu. 

Siti Nazarotin Blitar, 24 Desember 2021
Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "Toleransi, Antara Teori dan Praktik"

DomaiNesia